Suara.com - Industri farmasi Indonesia tidak akan bisa diandalkan dalam situasi darurat, terutama saat pandemi melanda seperti Covid-19 sekarang. Pasalnya, ketergantungannya pada impor bahan baku tinggi betul; hal yang membuat pengadaan obat-obatan niscaya serba terhambat.
Keadaan tidak terlalu mengkhawatirkan kalau saja kondisi normal. "Ketika terjadi pandemi, globalisasi menjadi deglobalisasi. Maka, industri farmasi Indonesia pun kesulitan mendapatkan bahan baku," kata mantan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Sampurno, kepadaRin Hindryati, kontributor Suara.com.
Sebagai catatan, 90-95% bahan baku untuk obat harus kita impor. Sumber utamanya China; sesudah itu baru India. Dengan struktur industri seperti itu, kata Sampurno, jika kedua negara tersebut mengembargo, maka dalam tempo 6 bulan saja industri farmasi Indonesia pasti bakal lumpuh.
Ketergantungan pada bahan impor ini telah sangat lama berlangsung. Sarjana Farmasi dan Apoteker lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini pun geram karena sampai sekarang pemerintah seolah tidak memiliki kebijakan yang jelas terhadap pengembangan industri farmasi dalam negeri.
Baca Juga: Mengenal Marissa Hutabarat WNI yang Jadi Hakim di Pengadilan AS
"Kalau ditanya ke mana industri farmasi Indonesia akan dikembangkan... [pemerintah] agak gagap menjawab," ujarnya.
Dalam percakapan eksklusif sejam via Zoom dengan kontributor Suara.com, Rin Hindryati, Sampurno blak-blakan membeberkan apa yang seharusnya dilakukan semua pihak, termasuk pemerintah, untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor. Juga strategi mengembangkan potensi obat yang berbasis herbal dan bioteknologi.
Doktor lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu juga menyahuti dengan nada keras silang pendapat soal penelitian obat kombinasi untuk Covid-19 yang dilakukan Universitas Airlangga, Surabaya, dan yang disponsori TNI-AD dan BIN.
Berikut petikan lengkap wawancaranya:
Sibuk apa Pak Sampurno sekarang?
Baca Juga: Kepala BPOM Ungkap Alasan Kosmetik Bermerkuri Sulit Dibasmi
Ya, saya (menjadi pembicara) di webinar, kuliah online. Di rumah saja, lockdown.
Masih tetap ngajar ya, Pak?
Masih, tapi ngajarnya sekarang online. Tidak bisa face to face. Di Gajah Mada [Universitas Gadjah Mada --Red] juga hampir 5 bulan lebih nggak bisa ke sana. Di Jakarta juga ngasih kuliahnya lewat online. Tapi ada sisi positifnya juga lewat online, jadi lebih interaktif.
Ini medianya apa? Beda dengan yang dulu ya?
Iya, beda Pak. Ini media online namanya Suara.com. Baik, kita mulai saja percakapannya ya, Pak.
Boleh. Santai aja ya, Bu.
Pertanyaan saya soal industri farmasi kita. Bagaimana sebenarnya kesiapan industri kita, khususnya saat menghadapi pandemi?
Pertanyaan Ibu itu maksudnya kesiapan dalam menghadapi pandemi dalam pengertian menyediakan, memproduksi obat-obat untuk Covid-19, atau kesiapan ketika menghadapi krisis (dengan) adanya pandemi ini? Apa ini yang Ibu maksudkan tadi?
Bisa mulai dulu dari struktur industri farmasi kita secara umum, kemudian dikaitkan dengan keadaan saat ini. Jadi umum dulu, baru secara spesifik membahas Covid-19.
Baik. Ya, sebetulnya industri farmasi kita ini karakteristik yang paling dominan itu adalah ketergantungan dari impor bahan baku obat. Jadi sekitar 90-95% itu bahan bakunya diimpor dari luar negeri.
Ketika kondisi normal, sebetulnya ini tidak terlalu masalah, karena bahan baku itu bisa dengan mudah didapatkan di pasar internasional. Tetapi ketika terjadi pandemi di mana globalisasi menjadi deglobalisasi, maka industri farmasi Indonesia agak kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, karena RRC sendiri sebagai pemasok utama bahan baku kita mengalami problem. Dia konsentrasi pada kondisi industri di dalam negerinya.
Demikian juga India. Ternyata India itu juga ada ketergantungan dengan China; yang namanya intermediate substance, bahan baku obat, itu mereka impor dari China... Selain itu kurs dolar (AS) juga meningkat menjadi Rp 15.000.
Perusahaan farmasi memang melihat fenomena ini. Mereka melakukan pembelian cukup banyak, tetapi itu tidak lebih dari 4-5 perusahaan. Selebihnya tidak menyangka akan terjadi kasus seperti ini. Jadi selain dia kesulitan, harganya mahal, juga availabilitas, ketersediaannya juga nggak ada.
Nah, dengan struktur seperti ini, industri farmasi Indonesia sebetulnya rentan. Ini pembelajaran bagi kita. Betapa pun Indonesia itu ke depan harus mempunyai suatu strategic plan atau action plan, bagaimana bisa mengembangkan bahan baku.
Tidak ada negara di dunia ini yang 100 persen mandiri bahan baku. Jepang juga impor, tapi juga ekspor. China, produksinya lebih banyak, tapi dia beberapa juga impor.
Paling tidak, ada beberapa persen yang harus bisa kita produksi di dalam negeri. Tetapi ini tidak mudah. Kan banyak orang mengatakan, "Kita harus mandiri untuk bahan baku sendiri. Harus bisa memproduksi bahan baku sendiri."
Indonesia ini... ini kan kalo bahan baku farmasi dalam pengertian kimia sintetik, itu kan harus bahan dasarnya, intermedia substance-nya itu dari industri petrokimia, Bu.
Nah, Indonesia nggak ada industri petrokimia yang kuat. Beda dengan China. China mempunyai industri petrokimia, sehingga untuk memproduksinya itu dia dari bahan dasar di dalam negeri. Indonesia nggak ada.
Nah ini... ini yang menyebabkan basis industri farmasi di Indonesia itu tidak kuat. Harus ada strategi ke depan mengembangkan bahan baku, tidak harus bertumpu kepada obat kimia sintetik, tetapi juga bisa ke arah biotechnology, ke arah juga produk-produk yang berbasis bahan alam. Tetapi basis bahan alam ini juga harus menggunakan teknologi, apa yang dikenal dengan teknologi refraksinasi.
Inilah struktur industri farmasi kita. Sebetulnya bisa dikatakan industri farmasi Indonesia itu adalah industri substitusi impor, di mana komponen impornya, komponen bahan baku produksi dalam negeri, (itu) komponen impornya masih besar.
Saya beberapa bulan yang lalu, hampir setahun yang lalu, (ikut) diskusi terbatas. Saya tidak... saya hanya mengatakan bahwa kalau misalnya Indonesia itu terembargo oleh China dan India, maka industri farmasi akan lumpuh dalam waktu enam bulan. Karena apa? Persediaan bahan baku stok yang ada di industri itu paling-paling 6 bulan. Jadi setelah 6 bulan. nggak bisa ngapa-ngapain. Nah, itulah fungsi strategis industri farmasi.
Tapi nanti bisa kita bahas kenapa industri farmasi tidak bisa tumbuh di Indonesia.
Itu juga yang menjadi pertanyaan saya. Ketergantungan bahan baku kita begitu tinggi, padahal industri farmasi kan sudah ada sejak zaman dulu. Tapi impor bahan baku tetap tinggi. Bagaimana Bapak menjelaskan ini?
Pertama, seperti tadi saya katakan kalau industri obat kimia sintetik itu tidak ada bahan dasarnya. Intermediate substance-nya nggak ada.
Yang kedua, ini juga yang tidak kalah penting, profitabilitasnya. Marginnya industri bahan baku itu relatif kecil dibandingkan dengan industri formulasi obat jadi. Jadi para pengusaha itu tidak terlalu tertarik untuk memproduksi bahan baku di dalam negeri.
Karena apa? Selain kesulitan tadi, yang ketiga, tidak ada captive market. Tidak ada jaminan. Karena apa? Kalau kita impor bahan itu, kondisi normal ya, bea masuknya hanya 5 persen maksimum, bahkan ada yang 0 persen.
Nah, industri dalam negeri ketika menghadapi impor yang bea masuknya 5 persen, 0 persen, dia nggak bisa. Karena kalo produksi dalam negeri, penyusutannya itu pasti mahal. Harganya lebih mahal.
Ini beda semangat dengan Korea. Korea itu kalo ada produksi dalam negeri, disuruh atau tidak disuruh, produsen-produsen di dalam negeri membeli bahan baku dalam negeri. Itu semangat nasionalisme. Kalau kita, enggak. Mending beli barang impor.
Ini yang sudah menjadi budaya, lebih suka impor daripada susah-susah merintis industri bahan baku sendiri. Mindset ini yang harus diubah.
Bisakah pemerintah intervensi dengan "memaksa" para produsen obat-obatan untuk membeli bahan baku dalam negeri, supaya industrinya berkembang?
Menurut hemat saya ya, Bu, yang perlu smart, yang perlu cerdas itu tidak hanya para industrialis, para pengusaha, tapi pemerintah juga harus cerdas. Pemerintah juga harus memberikan bagaimana grand strategy-nya pengembangan bahan baku obat di Indonesia. Itu pemerintah juga harus punya ide. Pemerintah selama ini apa idenya, apa jalan keluarnya?
Sekarang, contoh ya Bu, ya, kalo perusahaan farmasi mendirikan manufaktur di China atau di India, itu menggunakan lahan industrial estate dia mendapatkan harga tanahnya itu jauh lebih murah dibandingkan tanah biasa. Ini ada fasilitas dari pemerintah.
Tapi kalau di Indonesia, tempat di industrial estate harganya mahal. Ini yang pemerintah sebetulnya secara langsung maupun tidak langsung sebetulnya ya, biar industri berkembang sendiri. Tidak ada grand strategy, tidak ada roadmap bagaimana ke depan mengembangkan industri bahan baku. Yang akhirnya ketika terjadi bencana seperti ini, nggak ada solusi.
Sekarang baru mau melakukan penelitian (bahwa) Indonesia harus mandiri untuk bahan baku. Itu tidak segampang diucapkan. Perlu langkah yang panjang.
Tadi Pak Sampurno menyebut industri petrokimia yang tidak berkembang menjadi salah satu faktor tidak berkembangnya industri bahan baku dan farmasi. Selama Bapak menjabat di BPOM, adakah pemikiran untuk membuat kebijakan yang komprehensif sehingga semua bisa berkembang?
Ketika itu kita mencoba mengembangkan bahan baku parasetamol, tapi bahan intermediate substance-nya tetap kita impor dari China. Kualitas kita pada waktu itu sudah bagus. Bahkan Schering, perusahaan multinasional, menggunakan produk branded-nya... itu mengambil bahan baku dari kita.
Kemudian China tahu. Setelah itu harga intermediate substance-nya dinaikkan yang lebih mahal dibandingkan dengan harga akhir dari produk paracetamol kita. Akhirnya industri farmasi kita mati.
Kemudian kita beralih pada pengembangan bahan baku. Pada waktu itu belum ada, kita belum mengenal refraksinasi. Kita pilih tanaman-tanaman obat unggulan, kita melakukan penelitian. Tetapi ketika itu saya terus terang ada konflik dengan Menteri Kesehatan. Menteri Kesehatan mengatakan itu bukan tugas Badan POM. Akhirnya diambil alih, termasuk kebun obatnya diambil alih. Tetapi tidak ada kelanjutannya dan mati.
Ini yang perlu ada... melihat jangka panjangnya. Kalau kita tidak mampu bersaing pada industri kimia sintetik, kita mempunyai keunggulan lain pada industri berbasis pada obat herbal.
Di China itu Bu, ada penelitian di Materia Medicia China, itu meneliti tanaman kita, nama Indonesia-nya saya lupa, nama latinnya Contella Asiatica (di Indonesia dikenal sebagai daun pegagan --Red). Itu bisa, ada penyumbatan, dia bisa menerobos.
Nah, ini kalau dikembangkan, itu bisa menjadi obat unggulan kita. Tetapi penelitian kita relatif tidak terlalu dalam. Tidak dalam gitu ya. Penelitian kita hanya mencari apa... di perguruan tinggi itu hanya untuk (nilai) KUM, untuk mencari gelar profesor, dan sebagainya. Sebetulnya kalo itu dilaksanakan betul-betul, itu bisa menjadi produk unggulan yang luar biasa.
Apalagi kita kan sudah mengenal jamu-jamu yang berasal dari tumbuhan yang dikenal berkhasiat menyembuhkan penyakit, seperti jahe merah, meniran, sambiloto. Ini bisa dikembangkan sebagai sumber bahan baku untuk industri farmadi kita.
Katakanlah sekarang jahe atau meniran atau sambiloto, ekstrak totalnya pengalaman kita empirik, itu sudah mengandung khasiat. Tetapi ini bisa dipertajam lagi dengan teknologi refraksinasi.
Saya contohkan, ada mahkota dewa. Ini yang pertama sekali mengembangkan teknologi ini dari Korea Selatan. Dia bisa mengembangkan teknologi ini... karena mahkota dewa itu dikembangkan dengan model teknologi refraksinasi, itu bisa menghasilkan paling tidak 6 zat aktif. Dan 6 zat aktif itu, kalo ini dikembangkan Indonesia dalam waktu sekian tahun, misalnya 2-3 tahun sudah bisa menemukan 6 zat aktif baru.
Ini memang perlu proses. Kalo sudah diisolasi menjadi zat tunggal seperti ini, kalau mau di... ini memang harus ada uji klinik. Tetapi uji klinik herbal itu relatif lebih cepat dan biayanya lebih murah dibandingkan kalo uji kimia sintetik.
Uji klinik kimia sintetik itu waktunya dari penemuan awal sampai dipasarkan itu rata-rata 10-13 tahun, dengan sekarang rata-rata biaya totalnya 1 miliar dolar AS. Kita nggak mampu. Tapi kalau dengan obat herbal ini, katakanlah bisa 20 miliar [Rupiah] atau 30 miliar bisa satu produk. Dan ini kita bisa bersaing di pasar dunia; tidak hanya dipasarkan di Indonesia, tapi juga pasar dunia.
Tetapi (ini) memerlukan keseriusan, memerlukan konsistensi, memerlukan dukungan dari semua pihak. Jadi tidak hanya jargon-jargon "kita harus menggunakan obat asli Indonesia", "kita harus ada keberpihakan kepada..." Tapi kita tanya, apakah di dalam list obat Askes, obat asuransi nasional BPJS, ada nggak itu yang namanya obat herbal? Nggak ada.
Di Jerman ada obat herbal masuk dalam list obat asuransi. Kalo Ibu ke Singapura, batuk, itu dikasih obat batuk herbal yang diimpor mereka dari Jerman. Jadi kita nggak konsisten, antara teriak-teriak kembali kita memanfaatkan obat asli, kita kaya dengan tanaman obat tadi, tapi implementasi nggak ada.
Tadi Pak Sampurno katakan sudah ditemukan 6 zat aktif dalam tanaman mahkota dewa. Artinya, manfaatnya itu kan riil. Untuk pengembangan ini, sebetulnya siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Kan kita juga punya Kementerian Ristek yang bisa menindaklanjuti penelitian, lalu hasilnya nanti bisa diproduksi oleh pelaku usaha. Jadi ada sinkronisasi antara lembaga penelitian dan industri.
Ya, penelitian kita nampaknya baru pada tahap... belum sampai kepada komersialisasi. Sekarang ada industri, saya tidak sebut perusahaannya, tapi sudah menghasilkan produk untuk obat anti diabetik. Itu yang berasal dari simplisia (bahan alam yang digunakan sebagai bahan obat --Red) herbal, kemudian direfraksinasi ketemu zatnya, terus digunakan sebagai obat anti diabetik. Dan itu sudah masuk... Sekali lagi, bahwa pengobatan ini kan tidak langsung digunakan oleh pasiennya, (namun) melalui mediasi dokter.
Nah, sekarang bagaimana dokter ini juga musti diajak bersama-sama mengembangkan obat kita, obat herbal kita. Ini yang di Indonesia tidak komprehensifnya.
Ketika dunia pendidikan di kedokteran itu hampir sama sekali tidak dikenal dengan obat herbal; dia hanya obat-obat kimia sintetik. Jadi ketika lulus, jangan dipaksa dokter untuk menuliskan obat herbal. Apa itu fitokimia (senyawa kimia yang terdapat dalam tanaman --Red), enggak ada. Karena mereka tidak mengenal dari dunia pendidikan. Ini yang harus disosialisasikan.
Jangan (soal) pengembangan obat herbal itu di tangan apoteker doang. Enggak, harus bersama-sama. Padahal China sudah banyak mematenkan obat herbal dan menjadi alternatif pengobatan.
Kalo di China Bu, pengobatan dilakukan, pasien dimungkinkan untuk bisa memilih. Pada penyakit tertentu, pasien diberi opsi "apakah Anda menggunakan obat barat, atau Anda menggunakan obat tradisional China?" Tapi untuk sakit tertentu, misalnya infeksi, kalo infeksi mereka tetap pilihannya adalah antibiotik. Tapi kalo untuk hipertensi, penyakit-penyakit degeneratif, dia punya alternatif lain.
Bahwa obat-obat tradisional China itu lahir 4.000 tahun yang lalu, lebih maju, lebih dulu dibandingkan dengan obat barat; ini yang mereka konsisten. Jadi di dalam formularium rumah sakit (formularium merupakan dokumen yang secara terus-menerus direvisi, memuat sediaan obat dan informasi penting lainnya yang merefleksikan keputusan klinik mutakhir dari staf medik rumah sakit --Red] itu selalu ada pilihan-pilihan itu.
Ya, kita enggak (begitu). Kalo kita menggunakan obat herbal dibilang "terkun" (dokter dukun).
Nah, ini yang kita harus konsisten. Kalau kita mau mengembangkan obat herbal itu, memang harus ada langkah yang konsisten.
Beberapa waktu lalu, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan ada mafia obat dan alat kesehatan sehingga kita (masih) terus-terusan impor bahan baku obat. Memang yang paling gampang itu bilang "ada mafia". Itu paling gampang kan, Bu.
Contohnya juga kalo di sektor lain: kenapa kita impor minyak dari Singapura, padahal Singapura nggak punya minyak; kita yang punya minyak. Kan sama juga. Memang ada orang-orang, pihak-pihak tertentu yang memetik keuntungan, menarik keuntungan dari ketidakteraturan ini, kekacauan ini.
Jadi misalnya kalo impor itu menguntungkan, kan kita cari titik-titiknya yang menyebabkan apa. Kalo misalnya dimungkinkan untuk biaya masuk di... kalo misalnya ada produk bahan baku di dalam negeri, kemudian produk yang diimpor itu ditingkatkan bea masuknya, itu harus fair. Jadi memberi peluang hidup, hak hidup pada produksi di dalam negeri.
Artinya memaksa pelaku industri farmasi untuk menggunakan bahan baku dalam negeri?
Iya, pada awalnya juga perlu ada pemaksaan. Tapi perlu dituntut juga satu strategi, Bu. Kan produksi bahan baku dalam negeri seperti itu, perlu ada pembelian yang... ada captive market. Nah, ini solusinya, kita musti mengembangkan bahan baku ini berbasis konsorsium.
Ini dulu saya gagas, membeli bahan baku sekaligus punya saham di perusahaan itu. Jadi perusahaan-perusahaan besar atau kecil bergabung untuk mendirikan perusahaan yang memproduksi bahan baku. Itu menjadi penting.
Jadi konsorsium BUMN, swasta nasional, itu harus diwujudkan. Kalo nggak gitu, susah. Karena ya, lebih baik beli di luar negeri, harganya murah, bea masuknya rendah. Itu mematikan produksi dalam negeri. Harus realistis.
Artinya, perusahaan yang memproduksi bahan baku dalam negeri harus dari lingkungan industri farmasi itu sendiri?
Iya, memang sebaiknya begitu. Dulu ada ketentuan zaman Pak Sunarto (Ditjen POM --Red), produsen farmasi di dalam negeri harus memproduksi setidaknya sekian bahan baku. Tapi sebetulnya memproduksi bahan baku itu sudah... kan ada rantai panjangnya. Kalo hanya rantai akhir yang diproduksi nggak ada maknanya; itu komponen impornya tetap tinggi.
Yang realistis menurut saya ada 3 pilihan, (pertama) mengembangkan kimia sintetik. Kalau kita mengembangkan kimia sintetik, kita harus punya akses dari mana intermediate substance, bahan dasarnya itu dari mana. Harus ada jaminan. Misalnya kalau kita impor, harus ada jaminan dari negara produsennya atau produksi di dalam negeri. Kalau produksi di dalam negeri, (itu) relatif langka.
Yang kedua, itu dengan biotechnology. Dengan biotechnolgy itu bisa dikembangkan produk-produk. Obat-obat baru sekarang ini lebih dari 50% itu berasal dari biotechnology, biosimilar. Harganya relatif sangat attractive. Itu kita bisa mengembangkan ke sana.
Yang ketiga, kita bisa mengembangkan (obat) yang berasal dari produk herbal, produk-produk alam. Tetapi dengan teknologi yang mutakhir, tidak bisa dengan teknologi yang lama. Seperti yang sekarang dikembangkan oleh sebuah perusahaan farmasi Indonesia, dia mengisolasi zat aktifnya, kemudian dijadikan obat antidiabetik.
Permasalahannya sekarang adalah bagaimana mensosialisasi kepada dokter agar menuliskan resep. Tapi uniqueness dari obat herbal ini, meskipun dia sebagai obat antidiabetik, dia tergolong masih obat bebas, tidak tergolong obat resep. Jadi konsumen bisa menggunakan.
Nah, ini mungkin ada loopholes dalam regulasi kita, (bahwa) meskipun tadi untuk obat antidiabetik, tapi dia diposisikan secara regulasinya sebagai obat bebas. Jadi pasien bisa minum obat ini. Ini tinggal bagaimana sosialisasi supaya ini digunakan secara lebih luas.
Berarti dokter punya peran penting?
Saya kebetulan mengajar mengenai marketing farmasi. Kalau marketing farmasi itu, dokter sebenarnya adalah customer, yang consumer-nya itu pasien. Jadi selama ini ujung tombak marketing dari industri farmasi itu adalah dokternya. Jadi, konsumen itu apa yang dikatakan dokter, ya, ngikut.
(Maka) Yang harus kita garap, dokter. Dokter juga harus kita garap, harus kita sertakan dalam penelitian.
Sekarang mengembangkan obat herbal dalam bentuk apa pun, apakah itu fitofarmaka (obat dari bahan alam --Red), itu harus bersama dokter. Kalo perlu benderanya itu yang membawa harus dokter, karena dialah yang memerintahkan, yang menulis resep supaya dikonsumsi oleh pasien. Nah, ini penting.
Struktur industri farmasi kita masih dominan obat kimia kan, Pak?
Kalo obat-obat sekarang, obat-obat yang konvensional, itu masih kimia sintetik. Tapi kalo obat-obat baru itu sudah dominasi obat biotechnology. Pengembangan obat baru sekarang sudah bertumpu pada biotechnolgy.
Nah yang sekarang masih ini... adalah yang berasal dari herbal. Ini menurut saya menjadikan peluang bagi Indonesia, karena Indonesia memiliki... (sumber daya). Teknologi kita bisa belajar. Perusahaan Indonesia bisa belajar dari Korea, dan bahkan teman saya yang ada di perusahaan lokal itu, dia mengatakan, "Kita sebetulnya bisa lebih mengembangkan daripada Korea. Tapi karena ya, ada gurunya gitu, kan kita nggak enak dengan gurunya." Tapi satu saat kita akan bisa mengembangkan, karena tanaman obat kita jauh lebih banyak dan peluang itu menjadi lebih besar.
Ini peluang bagi Indonesia untuk unggul dalam mengembangkan obat-obat yang berasal dari herbal. Tapi ini perlu ada komitmen juga dari pemerintah. Pemerintah juga perlu tahu. Kalo kita ketinggalan, ya, ketinggalan semuanya.
Artinya, dukungan kebijakan pemerintah perlu untuk mengembangkan produk herbal. Menurut Pak Sampurno, kebijakan seperti apa itu?
Saya amati ya Bu, sekarang ini ada policy pengembangan obat herbal itu disamakan dengan pengembangan obat-obat kimia, obat-obat modern. Kalau diposisikan seperti itu, obat herbal akan mati.
Kita bisa belajar dari Jepang. Jepang itu mengembangkan obat-obat bahan alam itu dengan kebijakan ada diskresi. Diskresi yang ada (adalah) keberpihakan kepada obat herbal. Jadi musti ada keberpihakan dari pemerintah. Bagaimana memberikan space yang luas kepada obat herbal ini, memasukkan obat-obat herbal ini ke sarana-sarana pelayanan kesehatan pemerintah yang formal, masuk Puskesmas, masuk rumah sakit. Mungkin tidak semua, tapi hanya untuk penyakit-penyakit tertentu misalnya.
Kalo ada penelitian untuk obat antidiabetik hasilnya cukup bagus, kenapa itu tidak dimasukkan ke dalam daftar obat Formularium BPJS misalnya. Ini gak ada satu pun. Ini harus ada keberpihakan dari pemerintah.
Tapi kadang-kadang, pemerintah sendiri nggak tahu mau ke mana. Sekarang coba tanya ke Kementerian Kesehatan, ke mana mau mengembangkan obat herbal di Indonesia yang katanya Indonesia itu nomor 2 di dunia (nomor 1 Brasil) dalam kekayaan keanekaragaman hayati tumbuh-tumbuhan obat. Bahkan menjadi nomor 1 kalau tanaman atau tumbuhan laut disertakan. Tapi dengan nomor 1 itu apa; nomor 2 itu apa yang dilakukan?
Vinkristin, Vinblastine, obat yang berasal dari tapak dara yang dikembangkan di Amerika, menjadi obat anti kanker, dan itu harganya sangat mahal. Itu ada di Indonesia, tapi kita nggak (bisa meraih manfaatnya).
Jadi harus ada strategi yang jelas, harus ada alokasi yang jelas, harus ada teamwork yang jelas. Penelitian itu bisa multicenter. Seperti apa yang dilakukan untuk satu tanaman, misalnya untuk antihipertensi, misalnya ada fase tertentu yang bisa dilakukan oleh UGM, dilakukan oleh ITB, oleh UI, ini terintegrasi. Sekarang kan bisa modelnya online koordinasinya.
Seperti Pfizer (perusahaan farmasi terkemuka berkantor pusat di New York, AS --Red), lembaga risetnya itu ada di banyak benua. Mereka bisa koordinasi lewat online. Nah, kita jalan sendiri-sendiri: ITB ke mana, UGM ke mana, UI ke mana, Menteri Kesehatan ke mana, nggak tau. Ini loopholes yang menurut saya perlu dibenahi dengan serius.
Dari 113 perusahaan farmasi, baik BUMN maupun swasta, adakah perusahaan yang menaruh perhatian besar untuk mengembangkan obat herbal?
Dari yang 200 sekian perusahaan, Bu?
Oh, sudah ada 200 ya?
Iya, 200-an lebih perusahaan. Tapi memang kalo perusahaan farmasi sendiri yang memproduksi herbal memang tidak banyak. Salah satu yang terbesar sekarang ini kan malah justru perusahaan yang khusus herbal yang cukup besar. Tetapi bagaimana mengembangkan ke depan, ke arah apa?
Misalkan obat herbal, itu ada tiga. Pertama, jamu. Jamu itu sudah dikenal berabad-abad. Empirik. Yang kedua, obat herbal terstandar; yang ketiga, fitofarmaka.
Nah, yang fitomarmaka ini mustinya bisa dikembangkan dengan lebih cepat. Tapi metodologi untuk mengembangkan ini harus ada guidance tersendiri. Jangan di copy-paste dari obat modern. Nanti ini nggak akan maju-maju. Kalo itu di-copy paste dari... harus ada uniqueness, harus ada special treatment mengenai obat herbal kita kalo memang mau maju. Ini yang arah ke depannya harus seperti itu.
Jadi Bapak melihat ini potensi besar untuk dikembangkan, mengimbangi peredaran obat-obat kimia?
Iya, peluang Indonesia justru mengembangkan obat herbal yang berbasis bahan baku, yang berbasis pada obat herbal ini; dan juga mengembangkan obat jadi berasal dari herbal ini.
Jerman bisa mengembangkan obat batuk yang berasal dari herbal. Kenapa kita tidak? Kita harus serius untuk melakukan penelitian itu, tidak hanya jargon aja "kita harus mengembangkan obat asli Indonesia", "kita harus meningkatkan bahan baku obat." Tapi kenyataan tidak ada.
Siapa menurut Pak Sampurno yang harus menjadi ujung tombak menggerakkan industri herbal ini?
Paling tidak inisiasi yang paling terdepan itu dari pihak industri, karena dia yang memiliki sarana dan prasarana dan modal. Yang tugas pemerintah adalah bagaimana memfasilitasi bagaimana memberikan kompensasi, bagaimana memberikan reward.
Reward itu tidak hanya berupa fiskal, tetapi juga berupa kemudahan-kemudahan. Misalnya, satu perusahaan yang bisa mengembangkan obat herbal, dia difasilitasi untuk perizinan dan sebagainya, lebih dipermudah supaya dia ada attractiveness untuk mengembangkan ini.
Dan juga setelah obat ini betul-betul teruji, dia harus masuk pada list obat-obatan BPJS, list obat-obat yang digunakan oleh rumah sakit, oleh sarana pelayanan kesehatan. Ini yang tidak...
Siapa yang memantau ini? Mestinya kan Kementerian Kesehatan. Tapi kalo Ibu tanya bagaimana kebijakan, ya, kebijakan yang dilakukan yang kebijakan formal tidak "how to implement it". Itu nggak bunyi.
Seharusnya saat ini kan menjadi momentum, seperti yang disampaikan Menteri Kesehatan, Pak Terawan, bahwa ini saatnya kita mengurangi impor, mendorong kemandirian industri farmasi. Harusnya ini menjadi momentum untuk mengeksplorasi bahan baku yang kita punya, supaya mengurangi ketergantungan.
Kalau diucapkan memang mudah ya. "Kita harus mandiri; kita harus mengembangkan produk dalam negeri!" Tapi bagaimana memproyeksikan itu dalam langkah nyata?
Lalu, sebaiknya kita mulai dari mana ya, Pak?
Jadi gini Bu. Kita membuat mapping. Katakanlah mapping tiga-tiga-nya: mapping kimia sintetik, biotechnology, dan herbal.
Jadi kalo kimia sintetik, the most essential product yang kita perlukan itu apa? Kita buat prioritasnya, skala prioritasnya. Lalu ketemu misalnya lima (bahan baku). Lima ini, mau tidak mau, apa pun harus kita produksi di Indonesia. Bagaimana caranya? Ini harus merupakan kerja sama lintas sektor pemerintah dan dunia usaha. Kalau bisa mengerjakan ini, fasilitas apa yang diberikan oleh pemerintah. Misalnya, ada sumber pendanaan yang tidak berat, (yang) ringan atau pinjaman lunak, atau ada grasp period, dan sebagainya.
Ini harus dibuat mapping. Tentu kemudian kita petakan dari mana kita mengambil intermediate substance-nya. Kita harus membina hubungan dengan... bisa dengan China, bisa dengan India, dengan Turki, bisa dengan negara lain. Itu harus jelas. Kita harus buat roadmap-nya, pathway ke depannya bagaimana.
Lalu biotechnology. Kita inventarisir apa kekuatan, skill apa yang kita miliki, knowledge apa yang kita miliki untuk mengembangkan biotechnology. Produk-produk apa yang bisa dengan biosimilar.
Kita sekarang ini ada aturan/regulasi mengenai biosimilar, tapi regulasi itu kita ambilkan dari FDA (Badan Pengawas Obat dan Makanan di AS --Red), kita ambil dari Eropa. Yang sulit-sulit, digabung, ya nggak akan jadi.
Harusnya seperti Jepang, (yaitu) dipermudah, diperlonggar, setelah bisa, baru diperketat. Ini yang strategi kita lebih sulit, aturan kita lebih sulit dari Amerika, lebih sulit dari Eropa, ya kita nggak akan berkembang. Kita nggak akan berkembang dengan kondisi yang sangat sulit itu.
Kemudian herbal. Herbal juga begitu, semua harus dipetakan.
Semua harus betul-betul dibikin strateginya apa, skala prioritasnya apa untuk mengembangkan bahan baku itu. Harus ada cetak birunya. Itu harus tergambar dengan jelas, tidak hanya sekadar omongan. Kemudian dialokasikan biayanya berapa, tahun ini berapa, tahun depan berapa. Jadi nggak semudah jargon.
Apakah Bapak pernah menyampaikan pemikiran ini ke pemangku kebijakan?
Ya, kira-kira dua atau tiga tahun lalu, saya menjadi semacam, apa ya, untuk menyusun initial paper untuk pengembangan bahan baku obat. Tetapi setelah itu ada pergantian. Dirjen-nya kemudian mengambil sendiri, dia jalan sendiri, ya, akhirnya nggak anu...
Tapi menurut saya ya, kalo ada suara-suara yang ada inovasi, yang mencari terobosan-terobosan, tidak bisa semua itu hanya dilakukan secara formal legalistik. Itu kan harus ada terobosan-terobosan.
Kemenristek di bawah Pak Bambang Brodjonegoro seharusnya bisa melakukan terobosan-terobosan itu kan, Pak?
Saya pengen mengomentari ya Bu, soal adanya penelitian untuk obat herbal dalam rangka pengobatan untuk COVID-19. Kalo obat herbal itu, arus utamanya adalah imunomodulator.
Imunomodulator itu memperbaiki, meningkatkan sistem imunitas. Nah ini kalo untuk pengobatan melawan misalnya orang yang terkena COVID-19, terpapar oleh COVID untuk diobati herbal itu, secara teoritis agak susah. Tetapi kalo digunakan untuk meningkatkan imunitas seseorang supaya dia tidak terserang, itu kemungkinan bisa. Dan ini masih memerlukan penelitian.
Jadi tidak semudah itu obat herbal. Obat herbal itu pada dasarnya...apalagi lagi yang berupa ekstrak.
Tidak ada obat herbal itu yang sifatnya quick yielding, minum terus sembuh. Itu tidak ada. Perlu waktu. Yang paling utama ada 2 keunggulan sebetulnya obat herbal: yang pertama imunomodulator. Jadi meningkatkan imunitas. Seperti obat meniran itu; yang kedua adalah anti oksidan. Dua ini sebetulnya kelebihannya. Nah, bagaimana kita mengeksploitir kelebihan ini menjadi satu produk.
Tapi kalo saya...saya tidak yakin kalo ini digunakan untuk obat anti COVID itu [menggeleng kepala]
Jadi dari herbal tidak bisa diciptakan vaksin [obat] untuk melawan COVID?
Oh ndak bisa. Vaksin itu bukan dari herbal. Itu hanya meningkatkan daya tahan yang bisa dilakukan.
Ini menjadi pertanyaan saya berikutnya soal penelitian di Unair [Universitas Airlangga] yang mengklaim sudah sampai pada uji klinis tahap 3. Tapi beberapa pihak meragukan. Apalagi ada keterlibatan TNI-AD dan BIN jadi dianggap tidak independen hanya mengejar kecepatan. Komentar Pak Sampurno?
Ini yang menonjol itu kegaduhan. Ya gaduh! Jadi berdebat tanpa ujung, tanpa data. Pokoknya berdebat memperlihatkan ego masing-masing.
Kita lihat secara objektif. Regimen yang digunakan oleh Airlangga [Unair] itu sebenarnya obat-obat yang sudah ada. Obat-obat yang beredar dan sudah mendapatkan NIE [Nomor Izin Edar] dari Badan POM. Jadi kalo misalnya ada dokter menuliskan resep yang isinya tuh kombinasi dari apa yang disarankan oleh Airlangga tadi itu boleh, seorang dokter menulis obat A, B, C...yang lima itu, terus digunakan menurut aturannya yang ditulis dokter dalam resep, itu sah, secara legal tidak ada yang dilawan, karena obat itu sudah beredar, obat itu sudah mendapatkan nomor izin edar, dan penggunaannya itu ya dokter yang tanggung jawab secara profesional.
Nah, sekarang kan ribut, dimasalahkan, kenapa ada BIN, kenapa ada TNI-AD. Sebetulnya dalam uji klinis siapapun berhak menjadi sponsor. Nah Airlangga gak punya dana, disponsori oleh BIN dan TNI-AD, gak salah. Boleh.
Nah sekarang yang dibantah itu bukannya substansinya.
Saya punya pengalaman yang hampir serupa. Ketika beberapa tahun yang lalu ada obat dari Jepang. Obatnya termasuk obat lama, obat untuk penyakit liver. Obat ini akan didatangkan oleh profesor, ahli liver di Indonesia. Itu ditentang habis-habisan oleh ahli farmatologi.
Kemudian saya undang mereka untuk diskusi. Terjadi diskusi bantah-bantahan seperti anak kecil. Ahli liver tadi mengatakan kepada profesor farmatologi: ‘Anda itu mengobati penyakit orang sakit, pasien liver berapa orang? Dijawab: ‘gak pernah.’ ‘Nah saya tiap hari mengobati itu. Bahkan efektivitas dari obat ini 25%.’ Ahli farmatologi mengatakan: ‘25%?’. Profesor liver tadi mengatakan: ‘25% untuk penyakit liver itu sudah luar biasa karena biasanya [pasien dengan] penyakit liver itu tidak ada yang tertolong.
Ini debat. Akhirnya saya boleh masukkan ke Indonesia. Malah digunakan melalui rumah sakit lewat pengawasan dokter, dievaluasi, dan dimonitor...dan tidak menjadi masalah.
Jadi analoginya seperti itu.
Sebetulnya obat yang dilakukan oleh Unair yang disponsori oleh BIN dan TNI-AD itu bisa diperlakukan seperti itu. Sekarang dipermasalahkan, bagaimana randomisasinya, dsb [rekaman tak terdengar jelas. Red].
Yang kedua, obat standar-nya apa. Jadi bisa dipilah-pilah itu. Jadi hasil yang dilakukan oleh Airlangga tadi kenapa harus mengkritisi secara terbuka. Badan POM sendiri juga mengkritik secara terbuka. Kenapa enggak dibicarakan secara interen, panel ahli di lingkungan itu kemudian yang mengkritisi itu bersama-sama membicarakan, saya yakin akan ada solusinya.
Dan dari pihak-pihak tiga tadi...tidak musti harus diproduksi sendiri. Itu siapa yang memproduksi A, B, C, ...yang lima itu, kumpulin kemudian dibeli oleh tim penanggulangan COVID ini, kemudian digunakan di unit-unit penanggulangan Covid. Tak ada masalah.
Tapi orang kan ribut, ngritik ini, ‘saya akan gugat di pengadilan!’. Ini apa-apaan. Kita ini sekarang hampir 200.000 loh penderita baru di Jakarta, Surabaya, sudah luar biasa. Sementara itu kita berdebat. Saya tanya kepada orang-orang yang mengkritik itu. Apa yang Anda lakukan, penelitian apa yang dilakukan? Enggak ada, katanya: saya hanya partisipasi mengkritik supaya ini sehat. Kalo itu, semua orang juga bisa tapi how to solve the problem, itu menjadi penting.
Jadi jangan mempermasalahkan apakah BIN atau TNI-AD. Itu sponsor doang. Boleh. Siapa pun boleh, perusahaan farmasi juga bisa [jadi] sponsor.
Mereka yang mempermasalahkan itu khawatir soal efektifitas obat. Bagaimana kombinasi obat itu juga belum terang betul.
Ya itu kan bisa dibicarakan dalam satu panel ahli. Kenapa pihak Airlangga dan teman-teman di sana bisa melakukan penelitian ini, dan kalau terbukti efektif, kenapa tidak. Kenapa gak ada semacam pilot project. Katakanlah untuk yang sakit dimana. Misalnya yang dirawat di Kemayoran, pasien yang dirawat dimana gitu.
Sekarang rumah sakit gak nampung loh Bu. Rumah sakti di Jakarta gak menampung, suruh pada di rumah isolasi mandiri karena rumah sakit gak menampung.
Saya ingin contohkan: Filipina itu impor vaksin dari Rusia yang dia baru [uji klinis] tahap kedua. Tapi dipake dan sekarang ternyata vaksin yang diimpor dari Rusia itu banyak dicatat, dimoniter, ternyata efektif.
Presiden Filipina mau ambil risiko: daripada rakyat saya mati, lebih baik saya impor ini. kalo kita ini kan sudah ada obat yang sudah digunakan, sudah beredar di pasaran, sudah ada izin, sudah dipake dokter.
Gak usah diproduksi kalo dokter nulis obat ini, obat itu, kan boleh. Gak salah, secara profesional dia bisa dipertanggungjawabkan. Secara legal dia bisa dipertanggungjawabkan. Kalo di-otak-atik otak-atik ya mustinya orang-orang itu duduk bersama. Jangan malah Badan POM: oh ini kurang itu, kurang ini. Sebetulnya ngerti gak sih...
Yang mengkritik termasuk dari UGM loh Pak.
Saya kasih warning. Anda kontribusi positifnya apa? Kenapa enggak join aja. Join untuk diskusi bersama, cari solusinya. Kalo hanya mengkritik aja, saya juga bisa. Tapi how to solve the problem.
Ini emergency nasional memerlukan semua pihak, tidak hanya sekedar mengkritik.
Hasilnya belum ketahuan tapi sudah diperdebatkan?
Iya, karena banyak kepentingan. Ini yang diobati sakit apa, parah atau tidak, OTG atau sedang atau moderat atau apa. Itu kan bisa dilihat kembali hasil penelitiannya. Bisa dipilah-pilah kembali, saya katakan begitu. Ada yang mengatakan, mantan anak buah saya: ‘Pak kalo datanya dipilah-pilah itu menjadi tidak berintegritas datanya.’ Saya bilang, kalo Anda menempuh pendidikan doktor dalam disertasi itu ada uji validitas.’
Uji validitas gak masalah. Biasa data peneliti itu diuji. Valid gak datanya dan ini juga bisa dilaksanakan seperti itu. Jadi kita harus fleksibel, harus ada diskresi Bu, tidak usah: oh gak bisa ini, gak bisa itu. Gak bener itu. Sementara itu orang udah 200.000, itu yang terperiksa, yang tidak terperiksa angka itu bisa menjadi lebih besar lagi.
WHO mengeluarkan statement katanya nasionalisme vaksin dapat menghambat penghentian pandemi. Bagaimana komentar Pak Sampurno?
Ya memang harus sadar ya Bu. Ini kan kita berpacu dengan waktu. Kita sekarang ini sedang mengembangkan vaksin yang berasal dari Cina. Tapi ada juga vaksin yang dikembangkan dari perusahaan, seperti Pfizer dan perusahaan lain. Menurut saya ya, siapa yang cepat siapa yang produknya efektif, bisa kita gunakan. Dan tidak harus terpaku kepada yang dari Cina. Kalo nanti ternyata dari Pfizer dan yang lain-lain itu bisa di-launching ya kita gunakan. Hanya masalahnya di sini mau tidak mau, meskipun ini ada substansinya itu kemanusiaan, tapi kan ada juga ada unsur bisnisnya.
Jangankan gitu, sekarang Biofarma melakukan penelitian mengenai vaksin ini, uji tahap tiga ya Bu, itu sahamnya di pasar sudah meningkat berkali-kali, lalu garga sahamnya Kimia Farma, Indofarma udah meningkat. Apa hubungannya? Ini kan banyak orang yang ndompleng.
Saya tidak yakin WHO mengeluarkan statement nasionalisme menyebabkan penghambatan pandemi, saya tidak membaca statement itu.
Tapi menurut saya kita harus bisa...sekarang ini kelihatannya Moskow, Rusia, sudah bisa ke depan meskipun belum selesai sampai uji tahap ke-3, baru tahap ke-2 kalo gak salah, tapi terbukti efektif. Banyak negara yang ambil risiko daripada rakyat saya mati, saya gunakan itu. Ini kan udah sampe pada keputusan politik.
Sementara kita berdebat terus, sekarang kita tanya dengan jujur: apa yang dilakuan supaya Covid ini terkendali? Supaya Covid ini tereliminasi, kan gak ada.
Dari Maret yang kasusnya hanya 2 orang, sekarang menjadi 170.000, apa yang dilakukan? Makannya ini harus ada terobosan. Saya dalam kontek itu khusus dalam ini, saya mendukung apa yang dilakukan BIN dan TNI-AD. Ini karena kegawatan nasional. Kita jangan ada kegenitan intelektual. Wah...[geleng-geleng].
Kita harus duduk bersama, menurut saya.
Karena situasi emergency?
Iya, ini emergency use, penggunaan emergency. Jadi harus bergerak ke sana.
Pertanyaan terakhir, nanti kalo vaksin ditemukan, apakah kita punya kapasitas cukup untuk memproduksi sendiri atau menjadi bagian dari dunia di bawah koordinasi WHO?
Dugaan saya Bu, bulk-nya itu kalo yang kerjasama dengan Cina, bulk-nya diimpor dari Cina kemudian diproses lebih lanjut, mungkin hanya pengemasan atau...jadi ini bentuk kerjasama yang paling mungkin dilakukan seperti itu.
Nah kalo kita bisa impor bahan baku dalam bulk, Biofarma mampu memproduksi kalo hanya dalam bentuk finalisasi itu. Tetapi kerjasama dalam penelitian sejak awal itu lama, kalo mau merintis sendiri sejak awal itu mungkin tahun 2023 baru selesai.
Namun menurut hemat saya, tidak hanya kita satu jalur. Kalo misalnya ada sumber-sumber lain seperti dari Pfizer atau dari Rusia, dari...ya sebaiknya akses itu dibuka luas. Mungkin ada kelompok masyarakat yang mampu membeli dari sumber-sumber itu, tidak harus pemerintah yang memberikan. Kalo ada segmen masyarakat yang mampu membeli produk-produk yang diproduksi oleh Pfizer, begitu juga Rusia. Jadi harus multisource, supaya bervariasi.
Jadi kita secara kapasitas mampu memproduksi, hanya persoalannya ketersediaan bahan baku?
Iya, jadi bahan baku dalam bentuk bulk. Jadi katakanlah Biofarma, nanti bulk itu diproses menjadi bentuk vaksin. Produk akhir dari vaksin. Jadi tidak ada penelitian.
Nah uji klinis tahap ke-3 itu mengambil salah satunya itu di Bandung, nah itu koordinasi Unpad dan Biofarma. Jadi produsen sebetulnya itu adalah perusahaan China. Kita adalah mendapatkan semacam apa ya, mungkin lisensi, lisensi tidak utuh. Lisensi pada tahap akhir. Ketika pengemasan dalam bentuk vaksin. itu yang mungkin dilakukan oleh Biofarma.
Itu untuk obat COVID-19 tapi ke depannya seperti harapan Pak Sampurno, ada 3 sumber bahan baku obat yang harus kita kembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku.
Iya, itu memerlukan satu tekad dan konsistensi dari kita semua. Tidak bisa hanya produsen, tidak bisa hanya pengusaha, industri, tapi juga pemerintah.
Pemerintah juga harus dituntut smart, harus bijak, pemerintah juga harus tahu arahnya kemana yang harus kita kembangkan.
Sekarang kalo ditanya ke mana industri farmasi Indonesia ke depan akan dikembangkan, bagaimana road mapnya, bagaimana blueprint-nya, agak gagap menjawab.
Baik, Pak Sampurno, menarik sekali percakapan kita hari ini, tapi saya harus akhiri dulu Pak. Terima kasih waktunya. Sehat selalu.
Iya Bu, terima kasih.
Kontributor : Rin Hindryati