Suara.com - Industri farmasi Indonesia tidak akan bisa diandalkan dalam situasi darurat, terutama saat pandemi melanda seperti Covid-19 sekarang. Pasalnya, ketergantungannya pada impor bahan baku tinggi betul; hal yang membuat pengadaan obat-obatan niscaya serba terhambat.
Keadaan tidak terlalu mengkhawatirkan kalau saja kondisi normal. "Ketika terjadi pandemi, globalisasi menjadi deglobalisasi. Maka, industri farmasi Indonesia pun kesulitan mendapatkan bahan baku," kata mantan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Sampurno, kepadaRin Hindryati, kontributor Suara.com.
Sebagai catatan, 90-95% bahan baku untuk obat harus kita impor. Sumber utamanya China; sesudah itu baru India. Dengan struktur industri seperti itu, kata Sampurno, jika kedua negara tersebut mengembargo, maka dalam tempo 6 bulan saja industri farmasi Indonesia pasti bakal lumpuh.
Ketergantungan pada bahan impor ini telah sangat lama berlangsung. Sarjana Farmasi dan Apoteker lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini pun geram karena sampai sekarang pemerintah seolah tidak memiliki kebijakan yang jelas terhadap pengembangan industri farmasi dalam negeri.
"Kalau ditanya ke mana industri farmasi Indonesia akan dikembangkan... [pemerintah] agak gagap menjawab," ujarnya.
Dalam percakapan eksklusif sejam via Zoom dengan kontributor Suara.com, Rin Hindryati, Sampurno blak-blakan membeberkan apa yang seharusnya dilakukan semua pihak, termasuk pemerintah, untuk mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor. Juga strategi mengembangkan potensi obat yang berbasis herbal dan bioteknologi.
Doktor lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu juga menyahuti dengan nada keras silang pendapat soal penelitian obat kombinasi untuk Covid-19 yang dilakukan Universitas Airlangga, Surabaya, dan yang disponsori TNI-AD dan BIN.
Berikut petikan lengkap wawancaranya:
Sibuk apa Pak Sampurno sekarang?
Baca Juga: Mengenal Marissa Hutabarat WNI yang Jadi Hakim di Pengadilan AS
Ya, saya (menjadi pembicara) di webinar, kuliah online. Di rumah saja, lockdown.