Suara.com - Belum lama ini, Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada Universitas Islam Indonesia (UII) mengeluarkan buku Islam Indonesia 2020. Di dalam buku tersebut, dimuat daftar dan sosok 8 Tokoh Muslim Indonesia.
Kedelapan tokoh yang masuk daftar itu adalah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Pendiri Maarif Institute Buya Syafii Ma'arif, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Habib Lutfhi bin Yahya, Gus Baha, serta Siti Ruhaini Dzuyahatin.
Siapa Siti Ruhaini Dzuhayatin? Masyarakat awam mungkin relatif belum akrab dengan namanya, tapi di kalangan aktivis HAM setidaknya, nama Ruhaini sudah tidak asing lagi.
Ruhaini merupakan juga orang Indonesia yang pertama menjadi Komisioner pada Independent Permanent Human Rights Commission of Organization of Islam Cooperation (IPHRC-OIC) atau Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Tidak saja sebagai Komisioner, Ruhaini bahkan sempat menjabat sebagai Ketua Komisi HAM OKI tersebut.
Baca Juga: Profil Munir, Pejuang HAM yang Dibunuh di Udara
Selain itu, Ruhaini juga dikenal sebagai ahli studi gender, aktivis perempuan, peneliti, akademisi dan pemerhati Islam, HAM dan demokrasi. Ruhaini juga diketahui sudah cukup sering mendapatkan penghargaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Berdasarkan keahlian dan prestasinya itu, Presiden Joko Widodo pun mengangkat Ruhaini sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional periode 2018-2019. Saat ini, Ruhaini menjabat sebagai Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP).
Ruhaini sendiri mengaku awalnya tidak tahu jika namanya masuk dalam daftar tokoh muslim Indonesia tersebut. Dia pun menuturkan bahwa belakangan baru tahu namanya ada dalam buku Islam Indonesia 2020 yang ditulis Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada Universitas Islam Indonesia itu.
"Itu sebetulnya satu tulisan yang ditulis oleh Embun Kalimasada dari UII dan saya sebetulnya tidak tahu-menahu. Jadi tiba-tiba saya sudah mendapatkan informasi dari seorang kawan, bahwa nama saya masuk tokoh muslim Indonesia," ujar Ruhaini saat berbincang dengan Suara.com di Kompleks Sekretariat Negara, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (3/9/2020).
Ruhaini pun mengaku tak pernah dihubungi penulis buku untuk melakukan sesi wawancara. Meski demikian, menurut dia tulisan tersebut merupakan tulisan yang objektif, dan masuknya namanya dalam daftar tokoh itu akhirnya ia anggap sebagai sebuah amanah.
Baca Juga: Dibungkam dengan Represi, WALHI Tuntut Jokowi Minta Maaf
"Jadi memang itu satu tulisan yang objektif. Saya sendiri tidak pernah dihubungi untuk wawancara, sehingga sudah, saya menerima itu sebagai amanah saja, bahwa (meskipun) saya belum melakukan banyak hal menurut saya," ucap wanita kelahiran 17 Mei 1963 itu.
"Kalau itu, nama-nama yang ada di situ, kan ada Buya Syafii, ada Prof Haedar Nasir, kemudian Ketua Umum PBNU kan. Menurut saya, saya masih belum terlalu banyak berbuat. Sehingga ketika nama saya masuk, saya menganggap itu sebagai sebuah amanah, bahwa ke depan tentu saja saya mempunyai amanah untuk bagaimana terus memberikan kontribusi terhadap persoalan-persoalan keagamaan," tuturnya.
Suara.com pun kemudian sempat berbincang lebih jauh dengan Siti Ruhaini Dzuhayatin mengenai sepak terjangnya, termasuk ketika menjadi bagian dari lingkungan Istana dan Presiden Jokowi, juga soal pandangannya di bidang keagamaan, HAM dan gender. Berikut petikan wawancara dengannya, baru-baru ini:
Bagaimana awal mula Anda masuk Istana, dari mulai jadi Stafsus Presiden bidang Keagamaan bidang Internasional sampai ditugaskan sebagai Tenaga Ahli Utama KSP?
Tahun 2018, saya dipanggil oleh Ketua Koordinator Stafsus, waktu itu Pak Teten, ke Istana untuk diminta bantuan membantu Presiden untuk komunikasi-komunikasi yang terkait dengan masalah keagamaan internasional. Waktu itu saya tanyakan, kenapa itu menjadi sesuatu yang penting untuk Bapak Presiden?
Beliau (Presiden) rupanya sering kali ditanya dan juga didorong oleh pemimpin-pemimpin dunia yang lain, (agar) Bapak Presiden untuk mengambil leadership yang lebih kuat di tingkat internasional, terutama yang terkait dengan moderasi beragama.
Karena kita tahu, bahwa pada saat ini kan masalah konfliknya dan masalah krisis kemanusiaan itu banyak dipengaruhi --saya sebutkan dipengaruhi tapi kemungkinan tidak semuanya-- disebabkan oleh agama. Tetapi agama kemudian menjadi semacam anchor, sebagai cantolan untuk memantik perselisihan dan juga ketegangan di beberapa negara dengan penduduk muslim, dan pada waktu itu ISIS juga masih sangat kuat sekali kekuatannya untuk masuk ke Suriah, masuk ke Iran. Jadi ini menjadi salah satu dari visi Bapak Presiden, untuk menjadikan Indonesia sebagai model moderasi beragama di tingkat internasional. Itu sebetulnya tugas yang diberikan kepada saya.
Ada bedanya nggak, ketika jadi akademisi dengan ketika menjadi stafsus atau jadi orang dekat di lingkungan Pak Jokowi, dalam kehidupan Anda?
Sebetulnya begini. Yang menurut saya tidak terlalu memberatkan, karena pemerintahan Pak Presiden saat ini sebetulnya satu pemerintahan yang terbuka. Sehingga tidak ada jarak antara fakta yang dilihat oleh akademisi dan juga fakta yang dibuat pemerintah itu dalam banyak hal.
Sehingga saya merasakan tidak terlalu sulit untuk misalnya membingkai isu, karena memang apa yang kita lihat itu yang sebetulnya yang juga dipersepsi oleh beliau dan juga oleh pemerintah. Sehingga saya tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan pandangan saya sebagai akademisi, kemudian pandangan saya sebagai aktivis. Dan isu yang kebetulan saya tangani memang isu yang sudah 6 tahun saya terlibat, ketika saya menjadi komisioner di Komisi HAM Organisasi Kerjasama Islam, satu periode 2012-2014 saya menjadi ketuanya. Sehingga saya melihat ini sebagai suatu cara untuk menyampaikan hal-hal yang ini kaitannya dengan Indonesia.
Jadi saya merasa sangat nyaman, dan beliau tidak ada memesankan sesuatu, karena memang beliau menyerahkan sepenuhnya kepada staf khusus untuk melihat mana yang terbaik bagi Indonesia. Visi beliau adalah kita harus berbuat untuk sesuatu yang baik untuk Indonesia.
Saat menjadi Stafsus, Pak Jokowi selalu minta masukan ke Anda soal masalah keagamaan, soal toleransi di Indonesia?
Ya, memang tugas saya adalah memberikan bahan-bahannya, briefing untuk doorstop (wawancara) dan sebagainya, dan itu terkait dengan persoalan keagamaan, persoalan tentang kaitan antara keagamaan di Indonesia dan internasional. Masalah Rohingya, masalah Uighur, masalah terorisme di New Zealand dan sebagainya, itu tentu menjadi kajian saya dengan tim untuk kemudian kita laporkan kepada Presiden.
Saat Anda terpilih menjadi Komisioner dan kemudian Ketua Komisi HAM OKI dan menjadi orang pertama dari Indonesia, itu bagaimana proses terpilihnya?
Jadi saya masuk itu dinominasikan oleh pemerintah Indonesia lewat Kementerian Luar Negeri untuk pemilihan komisioner Komisi Independen Hak Asasi Manusia yang dibentuk oleh Organisasi Kerjasama Islam.
Organisasi Kerjasama Islam ini kan sebuah organisasi politik yang beranggotakan 57 negara dan mereka mempunyai semacam hak suara regional. Kalau (secara) regional sebetulnya lebih luas, karena OKi ini ada di Afrika, Asia, ada di Arab. Jadi dianggap sebagai lembaga regional yang sangat berpengaruh karena ada 57 negara di situ, dan OKI itu termasuk organisasi internasional yang terbesar kedua setelah PBB.
Alhamdulillah, saya terpilih dari kalau tidak salah sekitar.. kalau masing-masing negara itu dua calon, dari 57 (negara) kira-kira hampir ada 100, dan dipilih 18 komisioner saya salah satunya dari Indonesia.
(Itu) Pertama kali dari 2012, dan yang juga sangat mengejutkan pada waktu itu karena secara aklamasi saya dipilih menjadi Ketua. Saya bilang berat sekali dengan 57 negara menangani isu HAM di situ. Tapi teman-teman wartawan waktu, karena kan sesi pertama di Indonesia, teman-teman wartawan, teman-teman Kemlu, Komnas Perempuan (bilang), "Ayo nggak apa-apa Mbak."
Saya pikir begini. Saya secara fisik kan untuk ukuran orang Indonesia kan mungil, apalagi dengan teman-teman dari Arab, dari negara-negara Arab itu bener-bener tinggi besar semuanya dan kita perempuan ada 4 orang. Kadang-kadang juga (mikir), "Ini bisa nggak ya?" Tapi saya sangat confident bahwa pemilihan mereka bukan karena Ruhaini yang mungil, tapi karena "bagasi" saya yang besar yaitu Indonesia.
Saya mengatakan saya punya "bagasi" yang besar (yaitu) Indonesia dengan track record implementasi HAM yang dipandang bisa menjadi model di OKI. Of course kita punya PR tentang masalah penegakan HAM. Tapi terpilihnya saya menjadi ketua yang pertama Komisi ini adalah sebuah pengakuan bahwa Indonesia menjadi model implementasi HAM di negara-negara muslim.
Dan dengan bekal itu, maka saya mencoba terus-menerus menengahi ketegangan antara nilai-nilai HAM universal, Universal Declaration of Human Rights misalnya, dengan Islamic Declaration of Human Rights yang masih sering dipertentangkan karena ada isu-isu masalah syariah di situ. Tetapi waktu saya sampaikan di sana begini: kalau kita bicara tentang deklarasi universal Islam tentang hak asasi manusia yang ada aspek syariah di situ, sebetulnya tidak perlu harus dipertentangkan. Karena syariah ini kan, yang disebut syariah di situ kan adalah way of life, cara pandang kita, cara hidup kita; itu yang harus berdasarkan syariah. Dan syariah di situ saya katakan itu sebagai bagian dari human thoughts, jadi sebagai satu pemikiran manusia sehingga ini ada spektrumnya.
Syariah yang ada dalam deklarasi itu sebetulnya adalah sesuatu yang dipikirkan manusia tentang cara hidupnya. Nah, dengan demikian syariah yang ada di situ ada beberapa spektrumnya. Nah, kalau kita mau lihat, spektrumnya sangat sederhana-lah: ini kan ada moderat di sini, ada konservatif di sini, ada yang fundamentalis, konservatif, ada yang liberal. Kira-kira begitu. Maka kita akan mengatakan, bahwa saya waktu itu sampaikan kemungkinan yang bisa kita lakukan adalah bagaimana memediasi dua prinsip universal ini di dalam sebuah perspektif dan pemikiran yang moderat.
Karena sebetulnya masalah hak asasi manusia universal dan Islam itu bukan pada persoalan universal dan Islamnya, tapi spektrumnya ini. Nah, orang-orang Barat itu cenderung melihat HAM itu di dalam satu perspektif sekuler. Sekuler di sini, Islam juga melihat Barat juga begitu. Nah, sebetulnya kemudian yang terjadi clash antara pandangan Barat dan pandangan Islam itu adalah fundamentalismenya.
Para pengamat Barat sering kali melihat human rights itu dengan pandangan-pandangan fundamentalisme sekuler, jadi sangat menafikan kehadiran agama di ruang publik. Nah, ini direspon juga secara fundamental oleh orang-orang Islam, sehingga nggak ketemu. Ketika saya menjadi Ketua Komisi HAM (OKI) ini, saya coba, mari kita untuk ke tengah.
Saya waktu itu bicara dengan parlemen Uni Eropa, saya sampaikan bahwa persoalan yang kita hadapi bukan masalah prinsip. Hak asasi manusia adalah pandangan kita tentang hak asasi manusia, yang sering kali yang muncul itu yang ekstrem, antara fundamentalisme sekuler dan Islamic fundamentalism nggak ketemu.
Tapi kalau Barat mau agak sekuler moderatnya, Islam kita juga moderat, ya wasatiyat di situ. Maka kita ketemu di situ. Artinya, Barat juga harus memahami bahwa masyarakat muslim itu memiliki way of life yang disebut syariah, dan juga orang muslim mengetahui bahwa orang Barat itu mempunyai pandangan apa yang disebut dengan western way of life.
Jadi ada relativisme pandangan, relativisme pandangan dan implementasi HAM. Tetapi yang relatif bukan prinsipnya, jadi cara kita mengimplementasikan itu kita sesuaikan dengan dengan kondisi di sini.
Taruh paling sederhana (soal) hak pendidikan anak laki-laki dan perempuan di situ. Karena di Indonesia kan kita punya pesantren yang itu tidak mungkin pendidikan itu dua-duanya satu kelas laki-laki perempuan kan tidak mungkin, tidak seperti di Barat yang itu mungkin. Tetapi tidak bisa dianggap masyarakat muslim di Indonesia tidak memberikan akses yang sama antara laki-laki dan perempuan. Akses sama diberikan, tapi diimplementasikan berbeda, dipisah laki-laki sendiri perempuan sendiri.
Nah, itu yang saya katakan, pada saat proses modernisasi pandangan keagamaan terutama tentang masalah HAM antara masyarakat muslim dan juga masyarakat Barat, itu akhirnya bisa menjadi satu jembatan yang kita mulai lebih konstruktif lah bicara antara Komisi HAM OKI dengan komisi-komisi HAM yang lain. Karena kita juga banyak punya komisi yang sifatnya regional, ada yang di Uni Eropa, Amerika, Afrika, ASEAN. Asia belum punya sendiri. Jadi itu, saya menganggap itu sebagai satu achievement.
Ketika saya mengatakan bahwa kita bisa lho menjembatani ini, dan Indonesia bisa mengimplementasikan itu dengan sangat baik. Kita tidak menolak konvensi-konvensi internasional, tapi kita bisa mengimplementasikan itu di dalam sebuah pandangan-pandangan yang cukup moderat. Menurut saya, itu meaningful in life.
Soal kasus-kasus intoleransi dan keberagamaan yang masih banyak terjadi di Indonesia, menurut Anda apa penyebabnya?
Satu hal yang menurut saya.. sebelum saya menjawab, ada satu hal yang cukup melegakan kita, karena masalah intoleransi itu tidak secara struktural itu dilakukan oleh state, tidak dilakukan oleh pemerintah. Artinya, pemerintah cukup terbuka untuk bisa melindungi ekspresi-ekspresi keagamaan, praktik-praktik keagamaan. Ya, selama itu bersumber, ya artinya dipahami oleh masyarakat, diyakinilah.
Memang kita punya satu pasal di KUHP kita, di pasal 156 a itu yang memang bicara masalah penodaan agama. Ini yang sering kali menjadi isu tersendiri, tetapi secara umum pemerintah sebetulnya sangat terbuka untuk melihat perkembangan-perkembangan pemikiran agama.
Yang pertama adalah pemahaman keagamaan dari masyarakat kita sebetulnya yang terus harus kita tingkatkan ya. Bahwa memang kita dikaruniai oleh Allah ini sunatullah bahwa Indonesia itu menjadi negara cara yang plural beragam dan multikultural ini, ini sudah sunatullah, ini kita sudah terima.
Hanya sekarang masalahnya, sejauh manakah perbedaan-perbedaan dan kebhinnekaan ini menjadi suatu pandangan hidup kita yang sesungguhnya. Sejauh mana kita mampu atau kita mau menerima perbedaan itu di dalam kehidupan kita? Nah, ini pasang surut yang kita lihat. Di satu sisi kita sudah sangat bagus tentang hidup bersama berbeda agama berbeda suku, tetapi di satu masa ini menjadi sesuatu yang sensitif. Tahun 2017 misalnya, itu kan luar biasa.
Tetapi saya selalu menyampaikan juga kepada teman-teman di dalam negeri maupun di luar negeri, secara umum itu lebih kepada persoalan politisasi agama, yang dengan desentralisasi politik maka proses politisasinya sampai bawah. Itu masalahnya. Jadi dengan disentralisasi politik dengan Pilkada yang itu terdesentralisasi. Jadi political interest itu juga menjadi terdesentralisasi, meskipun selalu nanti kalau ada masalah pasti Pak Presiden.
Padahal kan dengan desentralisasi, di situ ada kepala daerah, yang mereka juga mempunyai satu teritorial di situ sendiri. Nah, itu memang menjadi sangat rumit. Jadi desentralisasi, dan juga di bidang politik ini ternyata membawa isu agama ke dalam ranah politik, di saat pendidikan atau pemahaman keagamaan kita masih terus-menerus harus ditingkatkan.
Pada masa Orde Baru seolah kita nggak punya masalah, karena di situ kan awalnya memang dikontrol oleh negara atas nama stabilitas. Mau tidak mau itu menjadi sangat sangat, istilahnya sangat top down.
Tapi setelah reformasi kan semua orang ada euforia tentang masalah kebebasan beragama. Nah, ini sering kali dari yang dikontrol hanya melihat mahzab ini saja, agama ini saja. Agama ini pun yg diakui hanya mahzab yang ini kan misalnya.
Nah, proses inilah yang mungkin terus menerus harus ditingkatkan, terus-menerus kita harus melihat bahwa di dalam suatu sunatulllah seperti ini mau tidak mau memang kita akan berdampingan dengan orang yang pandangan Islamnya berbeda, pandangan agama yang berbeda, sukunya berbeda, adat dan cara berpakaian berbeda.
Ini memang perlu terus-menerus dikuatkan oleh semua pihak, bukan hanya pemerintah. Pemerintah sendiri cukup terbuka, dalam arti tidak memberikan batasan-batasan bahwa Kementerian Agama (misalnya) mempunyai regulasi yang boleh hidup di Indonesia ini. Kan tidak demikian ya.
Nah, pada saat itu, di dalam masyarakat memang perlu juga mendapatkan satu ekspos, mendapatkan satu pemahaman bahwa di dalam suatu ruang publik yang kita miliki memang semuanya mempunyai hak. Ya, kebenaran itu pada akhirnya harus juga kita negoisasikan dengan etika-etika publik yang kita miliki.
Nah itu nampaknya jadi PR, dan itu bisa pasang-surut dengan kontestasi politik yang tadi saya sampaikan, bukan hanya di tingkat pusat, bisa di tingkat provinsi, daerah dan di tingkat desa mungkin.
Ini satu PR sebetulnya dari satu, tentu saja negara, dan tentu kedua adalah organisasi Islam dan organisasi agama. Karena di situlah kita dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat, mana yang sebetulnya kepentingan agama, mana yang kepentingan politis. Itu menjadi PR.
Yang ketiga adalah masalah-masalah penegakan hukum. Banyak kritik memang disampaikan kepada pemerintah bahwa ini penegakan hukum masih sangat lemah. Ini juga sangat problematik, karena bagaimana pun para penegak hukum ini kan manusia, yang kadang-kadang mendapatkan tekanan-tekanan.
Jadi memang penegakan hukum ini menjadi PR juga ya bagi pemerintah, untuk terus-menerus mendorong kepolisian terutama untuk secara tegas menangani masalah konflik agama ini dari sisi versi kriminalnya. Jadi dari sisi kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang ini mengandung unsur kriminal, apakah kebencian kemudian pengrusakan, penganiayaan, itu kan memang sudah ada dalam sistem hukum kita.
Tapi juga marilah kita dengarkan dari para penegak hukum kita, yang mereka ini sering kali menerima tekanan yang luar biasa dari satu masyarakat, misalnya satu kelompok, yang itu kadang-kadang akan (membuat) sangat sulit untuk bertindak.
Yang harus kita lakukan memang harus ada support dari organisasi-organisasi besar, NU, Muhammadiyah, Persis, kemudian PGI, KWI, kemudian dari Budha misalnya, dari Hindu. Ini kan pasti akan berkelanjutan, bukan hanya Islam, agar penegak hukum ini mempunyai backup sosial, bahwa yang mereka lakukan itu tidak sedang menistakan.
Jadi kan sering kali polisi itu nanti dianggap "ini kok membiarkan", "bisanya membela orang yang menista agama" misalnya. Jadi bukan itu. Jadi yang harus dan akan dilakukan oleh para penegak hukum ini adalah menindak hal-hal yang memang sifatnya adalah pidana, delik pidana, bukan pada masalah agamanya. Bukan masalah bahwa ketika dia menindak yang melakukan pengrusakan atau melakukan penyiksaan itu, polisi melindungi orang yang menistakan, bukan itu.
Masalah penodaan dan menistakan ini kan satu hal yang sangat rumit. Tapi intinya, harus dilihat bahwa ada indikator-indikator mana yang disebut dengan penodaan, dan mana-mana yang disebut dengan perbedaan. Misalnya kalau kita melihat pada komunitas Syiah, maka kita tidak bisa mengatakan mereka menoda agama. Nggak mungkin kan Syiah, Ahmadiyah misalnya, mereka percaya betul itu adalah kebenaran. Perkara kebenaran itu berbeda dengan kita, ya kita terima bahwa itu berbeda. Nanti gimana kalau itu mempengaruhi generasi muda kita misalnya, atau mempengaruhi masyarakat kita? Itu tugasnya kita masing-masing untuk memberikan pengertian. Kalau kita tidak ingin komunitas kita terpengaruh, ya kita harus aktif di dalam masyarakat itu.
Jadi ini memang satu hal yang sangat rumit, dan membutuhkan kerja-kerja yang terus-menerus, bersama-sama, dan kadang-kadang ada setback-nya dan melelahkan. Inilah makanya yang sangat penting.
Kebetulan sekarang saya di Kantor Staf Presiden bagian Tenaga Ahli Utama, yang sedang kita dorong terus-menerus ini adalah penyelesaian-penyelesaian yang bersifat mediatif. Jadi jangan sampai masalah ketegangan ini menjadi konflik yang terbuka.
Kami terus berkomunikasi dengan Kementerian Agama, dengan kementerian terkait, bahkan kadang-kadang dengan kepala pemerintahan daerah, apakah itu gubernur, apakah itu bupati. Teman-teman dari KSP harus ke Kuningan misalnya, untuk Sunda Wiwitan yang kemarin itu. Salah satunya adalah bagaimana menyelesaikan masalah-masalah secara mediatif, sehingga ditemukan titik temu dari masing-masing yang bersitegang. Setidaknya mereka bisa (ada) win-win solution di situ.
Kasus Syiah di Sampang, kasus Ahmadiyah di NTB, itu juga kita coba lewat KSP. Karena KSP ini kan Kantor Staf Presiden, yang mengawal janji dan misi Presiden agar itu ter-delivered, tidak hanya sent. Sering kali Pak Moeldoko (ingatkan), ini tidak hanya segera disampaikan tapi harus dilakukan.
Ini akan kita coba, akan terus-menerus mendorong kepala daerah untuk dapat mencari solusi yang sifatnya mediatif. Nah itu caranya, dan itu saya selalu optimis. Selama ini Indonesia tetap dipandang sebagai negara yang mampu menyelesaikan konflik-konflik keagamaan dengan baik.
Saya nanti tanggal 21 diundang sebagai pembicara jarak jauh oleh satu universitas besar di Peru, untuk men-sharing bagaimana Indonesia ini dengan kemajemukan luar biasa, terutama mengenai agama, tapi kita tetap bersatu.
Itu bagi saya sangat-sangat melegakan. Ketika ada satu negara, pada saat universitas mengundang saya untuk cerita tentang itu, kita masih punya harapan bahwa kita masih bisa mendamaikan. Kita masih bisa mencarikan solusi mediatif untuk intoleransi ini.
Soal mazhab-mazhab minoritas kerap jadi sasaran aksi fitnah, maupun intoleransi seperti umat muslim di Sampang itu yang hingga kini masih ada di penampungan, berarti yang jadi persoalan adalah kekurangpahaman masyarakat menerima kehadiran mereka? Atau persoalan apa?
Bisa kurang paham, atau enggak mau paham. Persoalannya mungkin kurang paham, atau mungkin tidak mau tahu karena kepentingan-kepentingan. Ada kepentingan, ada pengaruh, itu yang memang perlu diurai sebetulnya kepentingannya ada di mana. Kalau nanti ini bisa terurai kepentingannya, setidaknya tidak 100 persen kepentingan itu acomplished, tapi seperti 50-50 bisa disampaikan.
Ini kan sekarang, kadang-kadang kita juga harus betul-betul agak sabar dan harus nafasnya agak panjang ya, untuk bicara dengan saudara-saudara kita yang tidak mau mengerti, tidak mau menerima.
Misalnya begini. Ada satu gereja akan didirikan, nggak boleh di kampung, itu nggak jadi ya. Terus kelompok ini akan membeli ruko untuk gereja, dan dipermasalahkan lagi ini kan tempatnya. Nanti mereka mau disuruh ke mana? Apa sebetulnya, kalau misalnya di kampungnya tidak mau, mereka mau homogen, monggo. Tapi ketika ada alternatif satu kelompok ini mencari tempat untuk beribadah, ya sudah ya. Toh di ruko ini nggak ada yang terganggu. Maksud saya, itu perlu kita berikan pengertian. Okelah kalau masih belum bisa diterima di lingkungannya, tapi berilah alternatif.
Itu juga sama juga, misalnya masjid di Indonesia bagian timur, ada juga kan kelompok yang juga tidak ingin ada masjid di situ. Ya sudah. Tapi berikanlah alternatif, maksud saya, agar mereka juga mempunyai tempat agar bisa beribadah.
Nah, itulah yang sebetulnya satu hal yang perlu terus-menerus kita sosialisasikan. Memang kadang-kadang ini perlu operasi senyap, bicara satu-satu, dan ini terasa agak lama. Tetapi yang harus kita jaga betul di dalam konflik keagamaan dan juga intoleransi ini adalah tidak adanya kekerasan, dan ini sangat penting.
Misalnya penerimaan teman-teman di NTB, bahwa kelompok Ahmadiyah di sana itu tidak dipersoalkan. Bayangkan kalau sudah ini dipersoalkan lagi, mau ke mana mereka. Inilah menurut saya, kita masih punya ruang-ruang di situ untuk memediasi. Meskipun di sana-sini mungkin belum ideal, ada juga yang sudah selesai dengan baik, tapi masih ada yang terus-menerus kita dorong untuk selesai.
Saya punya harapan dan punya semangat, bahwa kita sebagai suatu bangsa yang by nature itu moderat, Indonesia, sehingga itu akan dapat diselesaikan dengan cara yang moderat.
Soal pembangunan rumah ibadah yang masih belum selesai, itu langkah pemerintah konkritnya seperti apa, untuk menyelesaikan hal tersebut?
Sebenarnya pemerintah sangat mendorong pemerintah daerah, kepala daerah, untuk terus-menerus memberikan pengertian kepada masyarakat, bahwa sebetulnya pendirian rumah ibadah itu adalah hak asasi. Hak mendasar, nggak usah pakai hak asasi, karena hak asasi adalah "hak menakutkan".
Memang di sana-sini ada masyarakat-masyarakat yang masih berpola pikiran monoculture. Yang monoculture atau ethnoreligious-sentris itu masih kuat. Karena kita juga dalam satu proses bergeser dari ethnoreligius-sentris menjadi nation-state, menjadi negara bangsa yang seharusnya memperlakukan setiap orang itu sama; kepentingannya sama, haknya sama.
Jadi ini kan transformasinya ini masih terus-menerus ya. Yang terus-menerus dilakukan oleh pemerintah adalah keaktifan dari kepala daerah untuk melindungi daerahnya. Setidaknya memberikan solusi, jika terjadi penolakan, ada satu solusi bahwa teman-teman yang membutuhkan tempat ibadah itu ada tempatnya di situ.
Nah, ini kadang-kadang ketika tidak mau di sini, kemudian yang satu juga bertahan. Ini kan memang membutuhkan pembicaraan, mediasi, mungkin misalnya digeser sedikit, digeser di sini. Yang terpenting adalah misalnya kepentingan beribadahnya terpenuhi, mungkin tidak ideal tapi terpenuhi.
Ini kan memberikan pengertian dua kelompok ini memang kadang-kadang tidak mudah. Contohnya di Bogor kasus Gereja Yasmin, itu juga kan terus-menerus terjadi. Ya misalnya, ya sudahlah, ini akan bergeser ke sini. Ini sudah diterima, asalkan setelah bergeser tidak dikejar terus.
Jadi itulah beberapa hal. Memang ada hal yang masih sulit, karena masyarakat masih belum menerima pluralitas di dalam lingkungannya. Meskipun seharusnya kita sebagai negara bangsa itu, seharusnya sudah harus membuka diri terhadap pluralitas itu. Dan yang kedua memang, tarikan interest politik ini mengembalikan lagi sentimen itu, dan itu juga sering digunakan sebagai alat untuk mendapatkan suara.