Tapi mayoritas masih dari sumber energi matahari?
Tidak. Kita kalau pembangkit listrik itu justru terbesar dari air dan panas bumi. Air itu mencapai, kalau saya tidak keliru, 5500 megawatt. Panas bumi sekarang 2200 megawatt. Jadi, air, panas bumi, itu yang terbesar. Angin, surya, itu justru masih kecil. Surya itu baru 150-an megawatt. Lalu ada bioenergy, biomassa 188 megawatt. Ya, yang gede itu memang panas bumi dan pembangkit listrik tenaga air. Besar dan skala besar.
Sekarang kita lihat energi listrik dari biomassa. Selain dari cangkang sawit, kan bisa dari pelet kayu ya?
Kalau kita bicara biomassa, itu sumbernya kan banyak. Satu, dari limbah pertanian. Sumber biomassa terbesar di Indonesia itu dari limbah pertanian. Yang kedua, tentunya dari tanaman energi (energy crops) yang kemudian bisa diolah menjadi pelet; pelet kayu atau wood pellet. Lalu kemudian dari sampah. Sampah organik itu juga dikategorikan sebagai limbah biomassa. Lalu kemudian yang biomassa itu, ya dari minyak nabati, yang kalau sekarang kan banyak dari minyak sawit. Itu sumber-sumber energi biomassa yang ada di Indonesia.
Kemarin saya bicara selintas dengan narasumber di Kalimantan. Dia bilang Sumitomo sudah membuat perjanjian dengan pengusaha lokal yang memiliki ribuan hektar lahan, agar lahannya ditanami kayu Kaliandra, lalu dipanen dan dikirimkan peletnya ke Jepang. Itu bagaimana?
Ya, gini, ini kan soalnya demand and supply. Jadi memang di Jepang itu kebutuhan untuk biomassanya tinggi. Jepang itu menggunakan biomassa untuk pembangkit listriknya.
Jadi mereka di sana juga ada penggunaan biomassa untuk dicampur dengan pembangkit listrik tenaga uapnya, dalam rangka menurunkan emisi gas rumah kaca. Lalu untuk kegiatan lain juga. Jadi pasar atau permintaan biomassa dari Jepang sendiri cukup tinggi.
Karena Jepang itu kebutuhan energinya besar, tapi dia kan bukan negara produsen. Dia gak punya... produksi energi dalam negerinya sangat minimum. Lahan kan juga gak sebesar Indonesia. Jadi Indonesia itu salah satu pemasok. Nah, yang dipasok dari Indonesia, yang dikespor ke sana itu adalah wood pellet ataupun limbah dari buah kelapa sawit; palm kernel atau cangkang sawit. Itu yang banyak diekspor ke Jepang, karena memang permintaan di Jepangnya tinggi.
Nah, sekarang apakah di Indonesia bisa apa tidak? Bisa, kalau itu mau dikembangkan. Pertanyaannya kan lebih kepada, apakah... nah ini kalau biomassa sudah jadi komoditas semuanya ditentukan oleh harga.
Saya gak tahu persis berapa harga ekspor ke Jepang atau harga belinya di Jepang. Tapi pertanyaannya, kalau kita mau pakai di dalam negeri, berarti harganya harus dong sama ketika kita... paling tidak kalau dari sisi penjualnya atau produsennya ingin menjual dengan harga yang sama seperti mereka ekspor. Kalau tidak, ya tentunya mereka tidak mau menjual. Ini jadi persoalan juga, karena kalau kita menjual dengan harga besar, nah ada implikasi terhadap biaya energi yang diproduksi. Karena bahan bakunya sudah mahal, ya energinya harus disesuaikan. Artinya, kembali ke daya beli masyarakat, bisa atau tidak. Jadi gak semudah kita...
Baca Juga: Ambisi Elon Musk di Jerman: Tesla Gigafactory Sampai Produksi Vaksin Corona
Makanya saya selalu katakan, kita punya sumber daya, tapi tidak semudah (itu) sumber daya itu bisa dimanfaatkan. Karena begitu sudah menjadi bahan baku masuk ke pasar, ada yang namanya harga keekonomian. Harga keekonomian, ya, berapa biaya produksinya. Kemudian harga di pasarnya dipengaruhi oleh kondisi demand and supply. Begitu permintaannya tinggi, ya, harga pasokannya tadi mengikuti permintaan. Harganya pasti naik.