Cara Justinus Agus Satrio, Sumbang Ilmu Biomassa ke Indonesia dari AS

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Jum'at, 21 Agustus 2020 | 14:14 WIB
Cara Justinus Agus Satrio,  Sumbang Ilmu Biomassa ke Indonesia dari AS
Ahli biomassa Indonesia di AS, Profesor (teknik kimia) Justinus Agus Satrio, Phd. [Foto dok. pribadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Saya mengenalnya sebagai siswa pintar, khususnya saat kami sama-sama masih duduk di bangku SMA, jurusan ilmu pasti. Hampir semua mata pelajaran eksakta, yakni matematika, fisika, dan kimia, dikuasainya dengan baik.

Pemilik nama lengkap Justinus Agus Satrio itu akrab disapa dengan teman-teman SMA-nya Agus. Ia menjadi andalan guru fisika saat kami mengalami kebuntuan menjawab soal. Dia memang dikenal sebagai murid yang pintar.

Sempat belajar di STAN dan diterima di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Agus ternyata terpikat untuk mengikuti progam beasiswa sekolah ke luar negeri yang diselenggarakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPP) yang kala itu dipimpin Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie.

Ia pun mendaftar dan diterima. Seolah menjadi tujuan, Agus kini mantap berkarir sebagai imuwan di bidang biomassa di Amerika Serikat. Jabatan sang doktor sekarang profesor teknik kimia di Universitas Villanova di negara bagian Pennsylvania, AS.

Baca Juga: Wawancara Hadi Pranoto, Anji Ingin Berbagi Kebaikan untuk Masyarakat

“Saya merasa lebih memberikan kontribusi ke Indonesia kalau saya di sini [AS]. Utamanya karena melihat teknologi tinggi di sini. Jadi saya bisa lebih banyak belajar, kemudian bisa ya menjadi ahli di bidang ini. Belajar tentang biofuel dan menjadi scientist,” kata Agus yang mengatakan bahwa sejak lulus SMA dirinya lebih sering dipanggil Justinus.

Percakapan yang intens selama 1,5 jam via zoom ini terutama berfokus pada bagaimana mengembangkan biomassa sebagai sumber energi terbarukan, termasuk apa tantangan dan bagaimana menghadapi.

Meski telah lama tinggal di Amerika, Agus yang seorang dosen mampu menjelaskan topik yang sesungguhnya sangat teknis ini dengan bahasa Indonesia yang mudah diikuti oleh awam sekalipun.

Berikut wawancara ekslusif Rin Hindryati, kontributor Suara.com dengan ayah dua anak ini:

Hallo, apa kabar? Sehat?
Ya, cukup sehat. Cuma ya kadang-kadang stress karena kebanyakan di rumah. Karena work from home ini, schedule jadi tidak jelas

Baca Juga: Amanda Septevani, Teliti Limbah Biomassa Jadi Layar Perangkat Elektronik

Sudah berapa lama kita tidak ngobrol?
Ah, sudah lama sekali. Kan kita lulus SMA itu
Tahun 1986
Iya, berarti sudah 34 tahun ya.
Jadi saya lulus SMA...dulunya itu tidak tahu mau kemana, tapi saya karena mungkin agak pintar haha...bisa diterima di mana-mana. Dulu sempat masuk di STAN (lembaga pendidikan yang berada di bawah Kementerian Keuangan). Sampai ikut orientasi.
Kemudian ternyata waktu ikut Sipenmaru (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru) saya diterima di Kedokteran UI. Sebetulnya yang kepingin itu ibu saya. Almarhum ibu bilang pengen ada anaknya yang jadi dokter. Lalu saya masuk sekolah kedokteran.

Kenapa tidak diteruskan?
Udah masuk dulu, sampai sudah mulai kuliah. Tapi kemudian saya sadar saya tuh takut darah, haha. Jadi kalau ngeliat darah itu stress. Kemudian pada waktu yang bersamaan itu, saya iseng-iseng ikut..dulu baca di (harian) Kompas itu ada pembukaan untuk studi di luar negeri. Itu programnya Pak Habibie (BJ Habibie, presiden RI ke-3. Red) di akhir 80an. Kayaknya minjem dari Bank Dunia.

Saya iseng ikut tes. Ujiannya pada waktu itu di Senayan. Senayan penuh peserta yang ngambil program ini. Ujian tulis, lewat. Ternyata saya dipanggil untuk tes-tes berikutnya. Kok ya selalu lewat. Akhirnya dapat. Kemudian dapat tawaran, mau sekolah di mana? Saya waktu itu diminta memilih kuliah di Eropa: Inggris, Perancis, Belanda, Jerman; atau Jepang, Australia, dan Amerika. Kemudian kupikir Amerika kok kelihatannya menarik.

Itu program ikatan dinas ya?
Iya, ikatan dinas

Itu program BPPT? Nama programnya apa ya?
Iya, itu program BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Red), dulu namanya OFP (Overseas Fellowship Program. Red). Saya ikut, akhirnya memilih sekolah di Amerika

Itu untuk sekolah S1?
Iya, S1

Ambil jurusan apa?
Saya memilih jurusan teknik kimia. Dulu juga saya tidak mengerti. Boleh sekolah asal bidangnya itu engineering. Jadi teknik; ada teknik mesin, teknik elektro, teknik kimia. Dulu kan saya suka chemistry, kimia.

Sejak SMA sudah minat kimia? Atau Fisika juga. Karena waktu SMA kayaknya jago banget fisika?
Dulu fisika... kalau untuk menjadi engineer itu musti fisika, matematika, musti kuat kan. Kemudian saya juga ditambah lagi, kimia, saya senang pelajaran kimia.

Saya memilih teknik kimia juga karena itu masih jarang. Saya pilih jurusan yang tidak banyak orang pilih. Kebanyakan orang kan mengertinya teknik mesin, teknik elektro. Saya cenderung memilih sesuatu yang unik. Jadi memilih teknik kimia, juga karena kok kelihatannya menarik. Kemudian saya memilih datang ke Amerika.

Di Amerika itu banyak negara bagian. Amerika kan luas banget. Dari Los Angeles ke New York itu, pantai barat ke pantai timur sama jaraknya dengan dari Sabang sampe Merauke.

Saya memilih tinggal di negara bagian Iowa (sebuah negara bagian yang terletak di Barat Tengah (midwest) Amerika Serikat. Red).

Saat datang ke Amerika, Agus sudah diterima di satu university?
Sudah. Dulu saya diterima di beberapa tempat. Tapi kemudian saya memilih di Iowa karena Iowa itu di tengah-tengah continent United States. Saya pikir, saya akan dekat ke mana-mana karena di tengah.

Strategis ya?
Strategis itu. Jadi kemudian saya tiba di sana, mulai kuliah.
Tapi ternyata Iowa itu negara bagian pertanian (ia dijuluki American Heartland karena sangat subur dan menjadi ladang pangan AS. Red)

Dan di Amerika itu cenderung midwest itu bukan daerah padat, bukan daerah urban. Jadi orang menganggap itu daerah pedesaan. Ternyata untuk kemana-mana dari Iowa itu susah, karena tidak banyak option. Dan kalau travel juga biayanya besar karena dari airport kecil.

Selesai kuliah saya sempat magang di perusahaan di Kansas City, Missouri. Setelah itu saya kembali ke Indonesia untuk mulai ikatan dinas.

Saya sempat menikah juga. Kemudian kok saya terpikir ingin kembali mengambil S3.

Alasannya juga agak lucu karena saya ingin...kalau orang melihat yang diwisuda lulus S3, jubahnya itu bagus sekali, warna-warna, keren. Kok saya kepengen seperti itu ya. Alasannya Cuma simple waktu itu. Ya, itu aja...haha

Kemudian saya mendapatkan kesempatan untuk mengambil S3. Saya kembali lagi, kok ya milihnya kembali ke Iowa.

Saat itu ikatan dinas masih lanjut?
Ada ikatan dinas sebetulnya. Kemudian ya saya kembali ke Iowa untuk melanjutkan kuliah S3 itu. lalu istri juga gabung. Dia mau mengambil S2 juga di sana, S2 yang kedua.

Setelah lulus itu, saya pikir mau kemana? Kemudian saya melihat kesempatan untuk belajar tentang biofuel. Jadi di Iowa itu ternyata pusat dari, atau Mekah-nya, biofuel. Waktu saya lulus itu, di sana sedang booming.

Itu tahun berapa ya?
Itu awal tahun 2000an. Waktu itu harga minyak bumi mahal, kemudian orang mulai berbicara soal renewable energy. Saat itu baru mulai. Jadi waktu itu saya lulus dengan saat yang tepat.

Saya terpikir bahwa saya merasa lebih memberikan kontribusi ke Indonesia kalau saya di sini. Utamanya karena melihat teknologi tinggi di sini. Jadi saya bisa lebih banyak belajar, kemudian bisa ya menjadi ahli di bidang ini. Belajar tentang biofuel dan menjadi scientist di Iowa.

Jadi sekarang research saya itu berkiblat, berpusat di biomassa karena saya terpikirnya dulu itu, Indonesia adalah negara berbasis agriculture, berbasis pertanian, dan itu akan banyak sekali kesempatan untuk menggunakan biomassa. Menjadi bahan yang berguna. Salah satunya tentang biofuel.

Jadi, begitu ceritanya. Sekarang berlanjut. Saya kemudian saat ini, setelah di Iowa, mendapat kesempatan untuk bekerja di faculty, di universitas sebagai professor yang tetap.

Saya merasa sebagai orang Indonesia yang ahli tentang biofuel di Amerika, meskipun saat inipun saya tidak bisa bilang saya ahli. Tapi saya mempunyai hati ke situ.

Apakah ada alasan lain mengapa memilih biofuel sebagai fokus peneilian?
Alasan lain terutama karena saya memikirkan ini...Sebetulnya tidak Cuma biofuel, tapi saya lebih tertarik dengan biomassanya. Karena, biomassa itu merupakan sumber, resources yang bisa dipakai dengan menguntungkan kalau dilakukan secara tepat.

Seperti biofuel, kemudian biopolimer. Bahan-bahan alami ini dapat menggantikan fosil fuel.

Kita itu kan hidup berbasiskan karbon. Tubuh kita sebagian besar karbon. Kemudian energy seperti gasoline, diesel itu juga berbasis karbon. Nah kalau kita mengambil karbon dari dalam bumi, berupa minyak bumi, berupa batubara, itu artinya kita mengambil atau mengeluarkan karbon dari bawah tanah ke permukaan.

Saat ke permukaan, kalau kita bakar ia akan menjadi CO2. Jadi akan menambah kadar CO2 yang ada di permukaan bumi. Oleh sebab itu kenapa dalam 100 tahun terakhir ini CO2 semakin tinggi. Itu karena kegiatan manusia yang aktif.
Nah kalau biomassa, secara teori itu kan dari tanaman, tumbuh dengan menyerap CO2 dari udara. Jadi akan mengurangi kadar CO2 dari permukaan bumi, menjadi solid. Jadi itu seperti... bahasa kerennya carbon sequestration (Sekuestrasi karbon adalah penangkapan dan penyimpanan karbon dioksida dari atmosfer dalam jangka waktu yang lama. Red)

Jadi carbon itu dibuat sebagai tidak ada, diserap menjadi tanaman.

Intinya biomassa itu alternatif terbaik untuk green energy? Anda sendiri memantau tidak perkembangannya di Indonesia?

Pemerintah kan punya program untuk energy terbarukan sampai 2030 itu sampai 23 persen. Nampaknya progresnya lambat.

Pantauan Agus dari AS sebagai ilmuwan yang expert di bidang ini, masalah kita dimana ya?

Masalah utama dalam menggunakan biomassa menjadi biofuel itu, dia berantai panjang. Jadi kalau seperti minyak bumi, rantainya itu: dari pertambangan sampai dengan pemrosesan, kemudian didistribusikan, itu kan infrastrukturnya semua sudah terbentuk. Dan biasanya juga lebih mudah karena antar perusahaan; misalnya antara pemerintah atau perusahaan besar dari pertambangan (pemerinta atau swasta), semuanya itu mudah untuk membuat rantai panjang itu.

Kalau penggunaan biomassa itu lebih menantang, karena rantainya lebih panjang. Jadi seperti, logistiknya itu panjang sekali. Dari biomassanya, mulai dari penyediannya, penanamannya, kemudian harvesting/pemanenan, kemudian transportasi, storage atau penyimpannan, pemrosesan menjad biofule, kemudian pendistribusiannya.

Mungkin kalau pendistribusiannya, kenapa umumnya biofuel jenis biodiesel dan bioetanol yang lebih kita pilih, karena bisa dengan mudah diintegrasikan ke bahan bakar yang sudah ada sekarang. Jadi, untuk biodiesel dicampurkan ke minyak diesel. Kalo di Indonesia itu mungkin sudah berapa persen ya campurannya, mungkin sekitar 10 persen (campuran biodiesel pada bahan bakar solar sudah 30 persen. Red). Di Amerika itu sekitar 2 persen, kalau biodiesel. Kemudian di Amerika itu ada bioetanol. Bioetanol itu sekarang 15 persen digabungkan ke gasoline (bensin). Kalalau di Indonesia, bioetanol belum...belum...

Populer, begitu?
Belum populer dan juga masih sulit untuk diproduksi.

Indonesia menghasilkan biodiesel karena minyak kelapa sawit. Produksi kelapa sawit di Indonesia itu terbesar di dunia jadi dengan mudah bisa dikonversikan menjadi, selain minyak goreng untuk makanan, tapi juga bisa untuk biodiesel.

Kalau di AS, sumber energy dari biomassa sudah dimanfaatkan untuk listrik juga?
Sudah ada untuk listrik. Itu biasanya dari biomassa yang sisa-sisa, seperti sampah dari hutan. Kan hutan itu musti selalu dibersihkan supaya tidak mudah terbakar. Jadi kayunya dikumpulkan. Itu biasanya dibuat pelet, kemudian dibuat untuk ditambahkan ke batubara. Itu biasanya.

Kalau di Amerika itu listrik sebagian besar dari batubara.

Kalau biomassa dari cangkang sawit belum ya? Kalaupun ada kebutuhan, berarti harus impor?
Betul, ya belum. Kalau di Amerika itu dari Indonesia setahu saya belum impor...Indonesia mungkin terlalu jauh juga jaraknya. Malah di Amerika itu banyak pelet dari biomassa dikirimkan ke Eropa. Eropa itu yang paling butuh.
Kalau di Amerika, karena Amerika itu kaya dengan sumber energy minyak bumi (mereka berlebihan sekali), terutama natural gas, jadi sebagian besar mereka mamakai natural gas dan batubara.

Baru-baru ini saya membaca berita soal Indonesia mengekspor cangkang sawit dan pelet kayu ke Korea Selatan dan Jepang. Timbul pertanyaa, mengapa ini tidak dimanfaatkan saja di dalam negeri. Toh kita juga membutuhkan.

Bagaimana Anda melihat ini, apakah karena kita belum mampu mengelolanya, atau ada faktor lain?
Menurut pendapat saya sih secara teknologi, itu (teknologi yang dapat mengubah biomassa menjadi energy. Red) bukan teknologi yang tinggi. Tapi lebih banyak itu karena supply and demand dan juga masalah ekonomi. Masalah profit taking, menurut saya.

Kalau Jepang, karena tidak punya sumber banyak, mereka butuh bahan baku. Jadi mereka biasanya...saya tidak tahu ya... tapi mungkin dari perusahaan di Indoensia itu sudah dipesankan untuk memproduksi sekian banyak, kemudian diekspor. Jadi itu pesanan biasanya.

Untuk di Indonesia, sebetulnya kesempatan itu ada.

Selama ini apakah Anda punya hubungan dengan teman-teman di tanah air membahas potensi Indonesia mengembangkan sumber energi biomassa?

Saya banyak koneksi dengan IPB, utamanya dalam pendidikan, research, dan outreach. Outreach itu apa ya bahasa Indonesia-nya, seperti KKN (Kuliah Kerja Nyata) untuk pelayanan.

Biofuel itu sebetulnya Cuma salah satunya. Salah satu dari apa yang harus kita lakukan dalam kehidupan masyarakat. Itu yang sekarang ini saya lebih tertarik.. bukan tertarik, tapi tepatnya mulai melihat bidang itu semakin penting.
Biofuel, biomassa tetap penting, tapi sebetulnya itu bagian dari apa yang dinamakan dengan sustainable development.

Jumlah masyarakat semakin banyak, kebutuhan energy pun akan semakin besar. Kalau kita tidak berkembang secara terkontrol; kalau kita tidak dengan plan yang jelas, maka itu akan sulit.

Tentang sustainable development, itu adalah kondisi dimana masyarakat berkembang secara ekonomi, secara kualitas dan semua mendapatkan kesempatn yang sama. Terutama masyarakat yang masih di pedesaan, misalnya. Dan itu harus kita bantu tingkatkan ekonominya, kualitas pendidikan. Itu musti dilakukan dengan pengaplikasian teknologi yang tepat, program yang tepat, dan kita juha harus memperhatikan unsur sosial. itu yang seringkali dilupakan.

Dalam sustainable development itu ada aspek-aspek yang harus kita perhatikan. Jadi, kita musti lihat perspektifnya. Itu istilahnya STEEP: social, technology, economy, environment atau lingkungan, policy atau politics. Kalau semua tidak dikaji dari situ, itu akan sulit.

Kita cenderung untuk melihat sesuatu itu secara silo.

Jadi misalnya seperti saya orang teknologi itu kadang-kadang Cuma memikirkan, oh ini teknologi bagus, sesuatu yang eksotik, selalu mencari yang lebih baik, efisiensi yang lebih besar.

Jadi seperti dari biomassa menjadi biofuel, itu biasanya kita fokusnya bagaimana caranya untuk meningkatkan produksi biofuel dari bimassa dalam jumlah yang sama. Mungkin dari 1 ton biomassa kita ingin menghasilkan sekian ratus liter, misalnya biodiesel. Itu kita istilahnya mengkonversikannya. Itu tingkatnya, kita harapkan akan semakin tinggi dan efisien.

Tapi kadang-kadang kita musti melihat juga apakah teknologi itu tepat diterapkan di suatu daerah. Karena menurut saya penggunaan biomassa itu kalau saya melihatnya itu from local, by local, for local.

Walaupun biomassa energy itu masalah dunia, masalah negara, tapi secara pengaplikasiannya itu baik bila dilakukan secara local, secara regional.

Jadi maskdunya itu setiap daerah sebaiknya mengelola sendiri potensi sumber energinya, juga pemanfaatanya. Jadi fragmented begitu sifatnya?
Tidak fragmented yang terpisah-pisah ya. Jadi untuk menerapkan satu teknologi itu, kita musti melihat lokalnya. Betul. Jadi, kita musti mengevaluasi sumber apa yang banyak di daerah tersebut. Di Jawa misalnya, itu kan banyak petani menghasilkan beras, mungkin dari sisa panen padi itu bisa digunakan. Atau di daerah lain yang banyak menghasilkan kelapa sawit, maka kita fokuskan pada pengembangan kelapa sawit.

Sebetulnya tren itu terjadi di sini seperti di Kalimantan ada perusahaan IPP yang independen, kecil, mengelola potensi daerah di sana untuk menghasilkan listrik. Memang belum ada proyek yang massif kecuali rencana misalnya mengelola sampah di TPA.

Tapi yang kecil-kecil ini potensial untuk dikembangkan ke depannya ya?
Potensi, iya. Atau dari yang kecil-kecil itu digabung, itu bisa juga.
Karena di Kalimantan yang banyak kayu, wood pallet dan karet bisa dimanfaatkan, di Sumatera ada cangkang sawit.

Jadi ide yang disampaikan Anda tadi pas juga untuk dikembangkan di kita ya?
Betul, iya. Tantangannya itu karena distribusi kepadatan penduduk di Indonesia tidak merata. Jadi seperti di Kalimatan, memang banyak sumbernya, tapi jumlah penduduknya sedikit, jadi kebutuhan listrik tidak sebesar misalnya di Pulau Jawa atau Bali.

Jadi seperti saya bilang tadi, memang untuk memperoduksnya, kita musti melihat (ketersediaan pasokan sumber daya. Red) lokal. Tapi untuk penggunaannya mungkin saja..bisa jadi untuk men-supply ke daerah yang membutuhkan.

Untuk sumber biomassa ini, untuk listrik, apakah effort pengerjaannya sama saja seperti kalau kita mau bangun PLTU dari batubara?
Kalau PLTU itu kan tenaganya uap. Biasanya panas dari dalam bumi. Listrik itu sumbernya banyak, dari terutama batubara. Kalau di daerah terpencil ada yang memakai diesel, walaupun itu sangat tidak efisien karena diesel itu mahal. Memproduksnya pun susah.

Kalau biomassa itu mudah diintegrasikan ke pembangkit listrik bertenaga batubara, karena prosesnya sama-sama bahan padat. Jadi itu bisa diintegrasikan. Cuma untuk biomassa itu tantangannya, seperti saya bilang tadi, rantainya panjang.

Kadang-kadang dan ini tidak Cuma di Indonesia, di Amerika pun sama, masih merupakan tantangan.
Rantainya itu (karena panjang. Red) menjadi terputus atau tidak optimal. Terutama logistik atau penyediaan biomassanya. Lalu transportasi. Transportasi itu masalah utama karena untuk mengangkut biomassa itu membutuhkan energy, membutuhkan alat transportasi.

Tantangannya itu karena biomassa itu secara density atau energy density-nya, jauh lebih sedikit dari batubara. Jadi misalnya dari 1 ton batubara dibandingkan dengan 1 ton biomassa, kandungan energynya itu biomassa jauh lebih sedikit.

Satu ton biomassa dibandingkan dengan 1 ton batubara, kalo melihat volumenya maka biomassa jauh lebih besar. Karena dia tidak padat. Jadi bahasa Indonesianya itu berat jenis.

Kemudian, biomassa itu cenderung mengandung kandungan air yang cukup banyak. Jadi pengeringan itu sangat diperlukan karena kandungan air banyak. Itu untuk mengeringkan juga butuh energy yang banyak. Menguapkan air itu membutuhkan energy yang besar. Jadi itu suatu cost.

Lalu soal penyimpanan. Penyimpanan itu kalau...seperti yang saya bilang tadi, density-nya kan karena kecil jadi membutuhkan ruangan yang besar; storage yang jauh lebih besar dan itu suatu tantangan.

Karena biomassa itu bisa membusuk, seperti makanan atau sampah, kalau kita simpan lama dan kalau tidak kering, itu akan rusak. Itu juga satu tantangan. Dia akan menjadi masalah lingkungan dan masalah kesehatan juga untuk orang sekitarnya.

Itulah mengapa pendayagunaan biomassa cukup sulit untuk bisa dilakukan. Dia bisa menghasilkan, menguntungkan, Cuma tantangannya lebih besar dari misalnya kalau penggunaan batubara, minyak bumi yang dengan mudah bisa diambil dari satu tempat. Kalo batubara kan lokasinya tetap.

Juga biomassa itu membutuhkan lahan yang luas. Jadi semakin besar biomassa yang dibutuhkan, semakin besar lahan yang dibutuhkan. Untuk mengumpulkannya itu suatu tantangan.

Jadi semakin besar lahannya, misalnya kita butuh 100 ton per hari atau 10 ton pr hari, kalau di Amerika itu 1.000 ton per hari, itu butuh untuk mengumpulkannya, untuk transportasinya, itu suatu hal yang akan costly, butuh biaya dan juga tidak mudah untuk dilakukan.

Nah kalau di US sendiri, tantangan ini sudah ada jalan keluarnya? Bagaimana mereka mengatasi tantangan ini? Atau karena tantangan itu maka tidak banyak menarik minat investor?
Di Amerika, sekarang itu yang sudah commercial, sudah lama, itu yang bioetanol. Bioetanol itu dari jagung, sedangkan biodiesel itu dari kedelai. Di Amerika, terutama di bagian tengah, di bagian mid-west Iowa atau Illinois itu mereka produksi jagung, kedelai, besar sekali.

Jadi pertanian di Amerika itu bisa dikatakan surplus. Tanah di Amerika itu sangat luas. Kemudian juga dengan teknologi yang tinggi. Biasanya satu petani bisa mempunyai lahan ratusan hektar. Pertanian di sana dilakukan dengan mesin-mesin. Jadi tidak memerlukan terlalu banyak tenaga kerja, juga didukung dengan infrastruktur yang sudah baik. Jalannya sudah bagus.

Jadi secara infrastructure mulai dari penanaman itu sudah jelas. Jagung, kedelai. Dan juga lahannya sangat luas. Jadi produksinya juga sangat besar.

Kemudian transportasi juga sudah didukung dengan infrastruktur yang baik. Lalu harvesting atau pemanenan juga sudah efisien. Jadi produksi sudah menjadi suatu proses.

Juga jagung dan kedelai itu mudah untuk disimpan karena tidak mudah busuk. Jadi sukses itu.

Tapi ada kritik atau concerned karena untuk menanam jagung, menanam kedelai itu kan membutuhkan energy yang besar. Mulai dari penanaman, juga perlu pupuk. Nah pupuk itu biasanya dari urea, jadi membutuhkan banyak nitrogen. Itu mengakibatkan pencemaran lingkungan, pencemaran sungai. Jadi masalah lingkungan itu juga masalah besar di Amerika.

Banyak peneliti, perusahaan-perusahaan dari berbagai skala dari universitas, seperti saya, sampai dengan skala industri dengan support dari pemerintah, itu banyak usaha untuk menggunakan biomassa yang lain, terutama biomassa yang bukan makanan.

Jagung dan kedelai itu kan makanan. Dan juga membutuhkan lahan yang subur. Itu kan sayang kalau lahan yang subur dipakai untuk membuat biofuel. Itu sebetulnya kurang...secara lingkungan, secara biaya, secara kualitas, secara etika juga, itu sesuatu yang bisa diperdebatkan.

Jadi, lahan itu kan bisa digunakan untuk menghasilkan makanan atau biofuel.

Berarti di Amerika pun masih ada kontroversi soal mengubah lahan untuk pangan atau biofuel?
Kontroversial itu mungkin too strong ya. Karena sekarang itu kan sudah menjadi bagian sehari-hari.
Dulu waktu awal-awal 2000an, memang banyak concerned. Banyak kritik. Tapi sekarang kritik itu sudah sangat berkurang karena juga ada peningkatan teknologi. Teknologinya semakin baik.
Jadi saat konversi, yield produknya sudah semakin tinggi, cost-nya pun semakin rendah. Karena cost-nya semakin rendah jadi impact-nya semakin rendah juga.

Jadi kembali seperti saya bilang tadi, ada sosial, teknologi, ekonomi, lingkungan, policy, semua itu harus berjalan. Waktu itu Pemerintah Amerika sangat mendukung tentang bioenergy itu.

Kalau di Indonesia, ketersediaan materi atau bahan baku sudah banyak. Kenapa bahan baku itu justru diekspor.

Menurut Agus, belajar dari Amerika, apakah pengelolaan sumber energi biomassa sudah tepat?
Kalau saya melihatnya lebih dari arah policy. Jadi pemerintah itu harus mempunyai program yang betul-betul komprihensif, menurut saya. Jadi tidak Cuma sepotong-sepotong saja. Tidak Cuma untuk pengusaha, atau tidak Cuma untuk petani. Jadi semua itu musti dibantu. Infrastruktur di Indonesia masih sangat kurang. Jadi ya merupakan tantangan itu.

Amerika bisa sukses karena setiap komponennya itu sudah secara masing-masing sudah cukup kuat. Pertaniannya sudah kuat, infrastruktur untuk transportasinya juga sudah kuat, teknologi dan juga mereka mempunya ahli-ahli untuk mengembangkan teknologi. Itu kuat di sana. Dan memang karena ekonominya juga kuat. Dasarnya juga karena mereka mempunyai kemampuan.

Jadi kalau di Indonesia ya kembali masalah pendanaan itu masih merupakan tantangan besar. Jadi, harus ada komitmen dari pemerintah, dari perusahaan swasta, juga dari peneliti, dari badan-badan research, universitas, semua itu harus terintegrasi.

Teknologinya sendiri kan tidak terlalu sulit?
Teknologinya sudah ada. Seperti ada teknologi untuk membuat biodiesel. Teknologinyaitu sebetulnya teknologi yang mudah, sudah ada sejak puluhan tahun.

Kalau untuk biodiesel yang dari tandan kelapa sawit, itu sudah bisa dilakukan Cuma saja kembali itu untuk pengupulannya, infrastrukturnya, itu masih cukup sulit.

Jadi misalnya, ada perusahaan yang memproduksi kelapa sawit kemudian limbahnya dipake untuk membuat pelet, biasanya sudah ada yang mendanai untuk itu. Jadi, kenapa diekspor karena memang ada pembeli yang meminta. Nah gimana caranya supaya di Indonesia itu mungkin dari swasta atau dari pemerinth, kan pemerintah yang menggunakan ya karena perusahaa listrik terutama kan dari PLN. Nah Itu kembali masalah ekonomi, karena perusahaan itu kan juga harus mendapatkan keuntungan.

Sebetulnya sudah ada peraturan yang menyatakan PLN akan membeli listrik yang dihasilkan dari PLTBm (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa)

Saya tidak terlalu tahu, tapi kalo saya melihatnya kembali dari masalah ekonomi. Untuk memproduksi listrik dari biomassa itu lebih mahal, dari memproduksi listrik dari batubara. Kembali itu kalau untuk biomassa, karena banyak kekurangannya. Seperti tadi kan, dia banyak mengandung kandungan air, musti dikeringkan. Kemudian kalo untuk disimpan, nah itu membutuhkan logistik yang banyak. Jadi tidak semudah kalau memproses menggunakan batubara.
Memang tergantung political will yang kuat ya. Karena kita tidak bisa juga bergantung pada fosil fuel lagi karena kan akan habis sumbernya. Jadi biomassa tetap harus dilaksanakan sebagai alternatif sumber energy yang terbarukan. Pemerintah sendiri targetkan pada 2030 baurannya itu 23%. Agak sulit juga mencapai target itu.

Kalau di Amerika sendiri, seperti apa bauran energy terbarukan?

Biomassa itu kontribusinya masih kecil. Untuk listrik itu mungkin enggak sampai 10 persen. Lagipula untuk listrik masih banyak potensi yang lain. Jadi kalau untuk listrik itu ada dari solar energy, dari wind atau angin. Kalo di Amerika itu untuk renewable energy untuk listrik sudah tidak masalah sebetulnya karena mempunya resources dan teknologi yang cukup banyak.

Jadi untuk teknologi windmill, kemudian teknologi solar, seperti untuk tenaga listrik dari matahari, itu di daerah-daerah yang banyak sinar mataharinya jadi seperti Florida, Georgia, Texas, Arizona itu banyak.

Jadi biomassa sendiri lebih diarahkan kepada...itu biasanya (pemanfaatanya. Red) untuk lokal. Hanya untuk lokal saja. Itu pun di daerah-daerah yang banyak hutan kayunya. Itu dipakai di daerah northeast, misalnya, atau di daerah northwest. Banyak biomassa dipakai untuk lokal.

Jadi bergantung pada potensi di tiap daerah?
Iya, betul

Apakah kita bisa meniru Amerika dalam pengelolaan biomassa energy. Di Kalimantan misalnya banyak wood pallet, atau Sumatera yang banyak cangkang sawit, di Jawa ada produk pertanian. Jadi itu dipakai saja di masing-masing daerah karena kan enggak mungkin bawa pallet wood, misalnya dari Kalimatan ke Papua, itu akan costly.

Betul. Ya kembali itu tantangan di Indonesia. Kembali juga dengan persoalan kebutuhan. Karena seperti tadi saya bilang, biasanya daerah yang banyak resources-nya itu cenderung penduduknya sedikit. Apalagi Indonesia berupa negara kepulauan, jadi itu penuh tantangan.

Kalau saya secara pribadi melihat Indonesia itu kan banyak...sinar matahari banyak sekali. Jadi negara tropis. Solar energy itu dapat diintegrasikan dengan penggunaan biomassa. Misalnya, untuk memproses biomassa kan butuh banyak listrik juga sebetulnya. Nah kalau sebagian listrik di-supply dari tenaga matahari, itu akan lebih dapat membantu. Terutama juga kalo tenaga matahari itu diupayakan sendiri...listrik itu bisa lokal, jadi tidak tergantung pada pembangkit listrik yang besar.

Seperti di Amerika ini...maaf ini saya ngomongnya jadi kemana-mana. Jadi solar energy itu banyak dipakai di perumahan. Seperti saya sekarang. Kalau ada yang mau pake tenaga solar, ada perusahaan-perusahaan yang menawarkan. Jadi mereka bisa memasang. Bahkan pemerintah memberikan insentif, biasanya dari pemotongan pajak, untuk kita menjadi self-sufficient. Bisa menjadi istilahnya off grid (tidak terhubung ke jaringan listrik. Red). Jadi kita menggunakan pembangkit listri sendiri di rumah.

Atap rumah dipasangi solar energy. Itu mulai booming di Amerika. Banyak sekali yang mulai pakai. Cuma mungkin di Indonesia, itu masih mahal. Awalnya sih yang mahal.

Iya, karena instalasinya mahal, tapi setelahnya mungkin listrik jadi lebih murah?
Betul.

Penjelasan Anda bahwa sumber energy biomassa harus di-combine, itu karena biomassa energy, cost productionnya masih tinggi?

Cost production dan juga secara...impact terhadap lingkungan, terhadap masyarakat setempat, kemudian juga teknologinya. Untuk mengkonversi dari biomassa menjadi biofuel itu yang paling penting adalah berapa banyak energy yang diperlukan, yang dipakai untuk memproses itu.

Nah, energy-nya itu bisa datang dari non renewable, dari batubara, dari bahan bakar minyak bumi. Kalau rasio dari energy yang dihasilkan terhadap energy non renewable yang dipakai itu rasionya kecil, artinya banyak energy yang dibutuhkan untuk membuat biofuel, berarti itu efisiesnya akan rendah. Berarati mungkin juga kita katakan, ya tidak membantu. Cara untuk renewable itu tidak membantu sebetulnya.

Karena kebutuhan fosil fuel-nya masih lebih besar?
Nah, jadi tantangannya gimana untuk mengecilkannya itu. Makannya saya bilang, mungkin bisa listriknya dari solar energy, itu kan renewable juga. Untuk memproses, pabrik kan membutuhkan panas dan listrik. Nah untuk listriknya itu mungkin bisa gimana caranya supaya tidak tergantung pada non renewable energy.

Kalau seperti itu, biomassa ini bisa enggak diandalkan untuk menjadi sumber energy masa depan yang utama, dibandingkan dengan sumber energy renewable lain seperti solar, angin, geothermal?
Bisa. Tapi tidak 100 persen. Sekarang ini untuk renewable energy, harus biomassa bukan satu-satunya. Jadi kita musti melihat potensi yang lain, apakah dari angin, air, panas bumi. Tiap-tiap sumber energy itu ada kelebihan, ada kekurangannya. Jadi tantangannya, bagaimana untuk mengoptimasi kelebihannya, bagaiman untuk mengurangi kekurangannya.

Jadi tetap ini harus di-combine, tidak bisa berdiri sendiri?

Selama ini kan batubara bisa 80 persen, 100 persen mungin ya..haha... itu karena supply-nya sudah jelas. Supply chain-nya, mulai dari tambang batubara, perusahaanya, itu sudah. Jadi antara PLN dengan pen-supply batubara itu sudah jelas...

SOP nya sudah terbentuk. Baku?
Betul. Karena sama-sama perusahaan besar biasanya kan ya.

Jadi mereka sama-sama mengerti bisnisnya. Kalo biomassa itu agak sulit, karena memproduksi biomassa itu berbeda dengan pemrosesannya. Jadi dari perusahaan, pabrik, kemudian kalo biomassa biasanya diambil dari banyak petani. Nah untuk mengkoordinasikannya, itu sulit.

Dari paparan yang disampakan, nampaknya cukup banyak tantangan. Itu sebabnya mengapa orang lebih prefer batubara yang praktis tinggal menggali ditambang batubara, shipping ke PLTU, lalu diproses menjadi listrik, kemudian listrik didistribusikan. Sementara kalo biomassa kan rangkaiannya panjang sekali.

Betul, rangkaiannya panjang sekali dan itu kompleks.

Jadi, masing-masing komponen mulai dari memproduksi, transportasi, dan penyimpanan misalnya di PLN sebagai perusahaan listriknya. Nah mereka tentu perlu untuk penyimpanan. Kalo batubara, ditumpuk di luar saja tidak masalah. Sedangkan biomassa itu tidak mudah. Apalagi kalo kena hujan, misalnya, itu bisa rusak kan biomassanya. Jadi itu harus disimpan, supaya tetap kering.

Pelet itu mungkin ya kenapa cukup populer, karena pelet itu tujuannya untuk meningkatkan density, jadi dipadatkan. Kandungannya per volume itu bisa lebih besar.

Ini maksudnya pelet kayu ya?
Iya, pelet kayu, atau pelet dari cangkang kelapa sawit. Semakin padat, semakin uniformed, itu untuk transportasinya, lebih mudah untuk dibawa, daripada kalau masih berupa lepasan seperti bubuk. Itu akan lebih sulit untuk ditransportasikan.

Kalau kembali ke Amerika. Di sana mewah juga ya kedelai, jagung, produk makanan itu tidak lagi dikonsumsi tapi sudah dipakai sebagai bahan pembuat listrik. Sementara di kita, masih mengandalkan sampah-sampah sisa untuk dikelola. Jadi sumber energy biomassa tidak seperti di Amerika yang memang petani sengaja menanam jagung, kedelai untuk men-supply atau dimanfaatkan sebagi sumber energi biomassa.

Ya, pertama karena pertanian di Amerika itu surplus. Malah petani itu ada yang diberi tunjangan untuk tidak menanam, karena terlalu over supply. Tingkat produksi jagung, kedelai itu jauh lebih besar dari kebutuhan. Jadi makannya seperti di Indonesia, tempe banyak kedelainya diimpor dari Amerika. Amerika itu eksportir terbesar kedelai dan juga jagung, biasanya untuk makanan ternak.

Jadi itu tidak masalah untuk supply biomassanya. Cuma kembali itu masalah etik ya.  Jadi seperti masalah impact terhadap lingkungan, terhadap ya..untuk isu sosial. Karena kemudian kok tidak kirim ke Afrika saja, yang masih kelaparan misalnya. Tapi ya itu kembali masalah supply and demand. Dan juga kembali masalah ekonomi.
Tapi kalau tadi Anda menyebut tentang sampah. Nah itu sebetulnya satu potensi yang sangat besar. Seperti sampah dari masyarakat itu sebetulnya satu potensi yang sangat besar.

Saya sekarang cenderung untuk melihat ke situ. Untuk penelitian, saya lebih tertarik dengan sampah. Seperti misalnya saat ini saya mempunyai penelitian, kerja dengan satu perusahaan, itu memproses limbah dari pembersihan air.
Dari memproseskan air bersih itu, banyak dihasilkan waste, limbah yang padat. Itu bisa dipakai juga. Biasanya dipakai oleh lokal perusahaan itu sendiri untuk menghasilkan panas untuk energy yang dipakai untuk memprosesnya.

Ini maksudnya limbah rumah tangga?

Iya. Jadi limbah atau sampah dari rumah tangga. Itu sampah organik ya.

Jadi itu bisa dipakai untuk menghasilkan energy. Misalnya kalau saya melihat yang mungkin di Indonesia itu, pasar, misalnya, atau yang tempat-tempat menghasilkan banyak sampah. Nah itu daripada diangkut, kemudian ditaruh di tempat (pembuangan.Red) limbah akhir, bisa dikaji bagaimana caranya dari sampah organik itu kemudian diproses, disimpan untuk menghasilan listrik lokal.

Itu ada teknologi dengan anaerobic digestion yang lebih dikenal dengan teknologi biogas.
Sebetulnya itu adalah satu potensi. Teknologi biogas itu salah satu potensi dimana bisa dilakukan dalam berbagai skala. Dari skala kecil sampai skala besar.

Biogas itu kan dari sampah. Jadi biogas menghasilkan gas, gas biogas itu kandungan metana, CH4 atau methane, itu sama dengan natural gas. Nah itu kemudian bisa dipakai untuk power genaration. Jadi untuk memakai genartor kecil.
Tapi berarti harus sampah organik kan ya. Kalau di rumah tangga, mereka harus terbiasa memilah-milah.

Persoalan di Indonesia kan keluarga-keluarga ini belum terbiasa memilah-milah sampah. Sebetulnya itu kan masalah kebiasaan. Bukan sesuatu hal yang terlalu sulit. Saya sempat terpikir juga, pernah ngomong-ngomong dengan teman-teman, kalo misalnya di kompleks perumahan yang cukup besar, mungkin bagaimana caranya bisa dilakukan agar sampah organik itu dikumpulkan, kemudian dibuat suatu tempat dimana sampah organik itu dikumpulkan untuk digunakan menghasilkan biogas.

Kemudian biogasnya itu bisa dipakai, misalnya untuk kebutuhan lokal. Mungkin untuk menghasilkan listrik atau menghasilkan panas untuk dipakai untuk...

Untuk penerangan jalan atau lampu taman barangkali ya?
Betul. Itu banyak konsepnya yang mungkin bisa dievaluasi

Pernah tidak pemikiran ide seperti ini di-share ke teman-teman di Indonesia saat berkunjung ke sini?
Pernah. Sebetulnya ide ini bukan sesuatu yang baru karena...seperti saya di Villanova (Villanova University. Red) itu, kami banyak membawa mahasiswa untuk melakukan service ke berbagai negara.

Salah satunya, misalnya di India. Itu kami ada program membantu suatu desa yang terpencil, kemudian kita mengevaluasi gimana caranya supaya penduduk desa itu mempunyai sumber energi yang bisa dipakai. Salah satunya yang diubah itu adalah dari sampah organik penduduk desa itu.

Jadi membuat biogas. Biogasnya itu dibuat untuk memasak. Jadi biasanya kalo orang-orang desa itu untuk memasak musti mencari kayu bakar. Itu kan menghabiskan waktunya. Mencari kayu bakar kemudian memasak di dapur pake kayu bakar. Itu tidak sehat. Kemudian kita bantu gimana caranya untuk digantikan dengan biogas.

Jadi sebetulnya banyak konsep teknologi yang pengaplikasiannya bisa diterapkan di Indonesia, terutama untuk membantu masyarakat di daerah-daerah terpencil.

Program semacam KKN (Kuliah Kerja Nyata) itu kan di India, kalo di Indonesia sudah pernah dijalankan?
Sudah mulai. Saya kemarin itu membawa mahasiswa sudah dari 3 tahun lalu ya, tiap summer. Sebetulnya tujuannya tidak Cuma untuk secara teknis, tetapi juga untuk edukasi.

Maaf ini...saya itu cenderung untuk berpikir luas...

Concern saya terhadap Indonesia itu tidak hanya dalam teknologi, tapi juga dalam kemajuan masyarakat terutama untuk anak-anak generasi muda kita.

Mereka butuh untuk...ya teknologi, tapi juga untuk pendidikan mereka. Saya melihat kalau mereka banyak berinteraksi dengan orang asing, itu akan membantu kepercayaan diri mereka. Anak-anak itu.

Ya, kita sama-sama belajar. Kami sama-sama belajar. Saya membawa mahasiwa itu dengan IPB (Institut Pertanian Bogor. Red) dengan melakukan summer course. Tahun lalu itu saya membawa 6 mahasiwa. Kami mengadakan summer course. International summer course pertama. Itu dilakukan dengan mahasiwa IPB, mahasiswa lokal, kemudian dengan mahasiswa dari negara lain. Kita belajar tentang sustainable development.

Untuk field trip-nya, kami ke Baturraden, ke daerah Purwokerto (Baturraden adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Red.) Di sana belajar tentang minyak atsiri (atau yang dikenal juga dengan minyak esensial, identik dengan aroma-aromanya yang khas. Red) untuk kemudian kami belajar membantu melihat bagaimana para pemproduksi minyak atsiri itu di desa; kemudian mereka itu kami tugaskan gimana caranya untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi cost dan itu jadi proyek tugas akhir.

Yang ke Baturraden itu tahun 2019?
Betul.

Berapa lama di Baturraden?

Seminggu.
Jadi seminggu di Bogor, belajar teori, kemudian mengunjungi ada field trip juga lokal. Lalu ke Baturraden. Kalau mahasisa saya sendiri itu bagian dari program mereka 6 minggu.

Setelah itu kami ke Bali, ke Tabanan. Kami di sana bekerja sama dengan perusahaan cokelat dan petani.

Perusahaan itu mempunyai hati untuk memajukan petani lokal. Petani cokelat itu untuk supaya kualitas cokelatnya baik, kemudian ada penerimanya. Mahasiswa kami di sana membantu mengembangkan alat pengering biji cokelat dengan teknologi yang mudah. Mahasiwa itu juga saya bawa berkunjung ke sekolah lokal SMK. Setengah hari kami mengajarkan mereka tentang...mengajak mereka melakukan hands on experiment tentang science. Jadi mereka berinteraksi dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia, saya yang menjadi penerjemah.

Itu kelihatan sekali mahasiswa saya juga sangat berantusias, karena itu juga suatu pengalaman yang baru dan membuka mata mereka sebetulnya.

Mereka selalu melihat bahwa, oh ternyata Indonesia yang daerah berkembang itu...mereka malah merasa diajarkan oleh orang lokal karena mereka melihat di Indonesia itu...oh mereka tidak...di Amerika mereka kan banyak kemudahan-kemudahan dalam hidup. Jadi, masalah air bersih saja tinggal buka keran sudah keluar air bersih. Jadi mereka tidak pernah berpikir. Tapi kemudian setelah ke Indonesia, melihat, oh ini suatu tantangan. Mereka jadi lebih apresiasi.

Kebanyakan mereka baru pertama ke Indonesia?
Iya umumnya baru pertama kali. Jadi suatu culture juga untuk pengembangan diri. Makannya saya tadi bilang kemauan saya itu isinya banyak. Karena saya melihat bahwa kalo saya itu cenderung untuk memikir gimana caranya dengan satu batu itu bisa tidak Cuma satu burung yang mati, tapi bisa lima kalo bisa haha...

Jadi semua itu harus saya lihat manfaatnya. Seperti saya membawa mahasiwa untuk membantu tentang teknologi, tetapi juga memberi kesempatan mereka untuk belajar secara... belajar kebudayaan. Untuk di Indonesia juga diharapkan mereka juga akan senang.

Apalagi untuk misalnya berbicara bahasa Inggris. Indonesia itu cenderung ketinggalan bukan ketinggalan...anak-anaknya banyak yang pintar-pintar Cuma saya lihat masih kurang kepercayaan diri. Kemampuan berkomunikasi juga kurang. Apalagi dalam bahasa Inggris. Jadi, saya lihat dengan semakin mereka banyak berbicara dalam bahasa Inggris, itu kelihatan sekali mereka lebih terpacu.

Itu ide menarik untuk dilanjutkan. Jadi program ini akan tetap dilanjutkan ya?
Akan terus berlanjut. Tahun ini tidak, karena covid ya. Cuma tantangannya saya di sini itu masih single fighter karena saya orang Indonesia sendiri. Tapi saya punya rekan yang juga di Villanova yang kami sama-sama mengembangkan pusat, center, untuk humanitarian engineering. Jadi untuk kegiatan-kegiatan eksperimen yang sifatnya untuk membantu humanitarian dengan penyediaan air bersih, penyediaan energy local atau seperti di Indonesia itu MCK masih sangat kurang. Ada teman saya yang berfokus untuk masalah kebersihan lingkungan. Itu Indonesia banyak masih dibutuhkan.

Pasti, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, kebersihan lingkungan masih menjadi persoalan.

Ini percakapan yang menarik sekali. Saya rasa sudah cukup mendapat gambaran. Jadi saya akhiri ya percakapan kita. Sukses terus buat Agus.

Kontributor : Rin Hindryati

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI