Cara Justinus Agus Satrio, Sumbang Ilmu Biomassa ke Indonesia dari AS

Dwi Bowo Raharjo Suara.Com
Jum'at, 21 Agustus 2020 | 14:14 WIB
Cara Justinus Agus Satrio,  Sumbang Ilmu Biomassa ke Indonesia dari AS
Ahli biomassa Indonesia di AS, Profesor (teknik kimia) Justinus Agus Satrio, Phd. [Foto dok. pribadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Seminggu.
Jadi seminggu di Bogor, belajar teori, kemudian mengunjungi ada field trip juga lokal. Lalu ke Baturraden. Kalau mahasisa saya sendiri itu bagian dari program mereka 6 minggu.

Setelah itu kami ke Bali, ke Tabanan. Kami di sana bekerja sama dengan perusahaan cokelat dan petani.

Perusahaan itu mempunyai hati untuk memajukan petani lokal. Petani cokelat itu untuk supaya kualitas cokelatnya baik, kemudian ada penerimanya. Mahasiswa kami di sana membantu mengembangkan alat pengering biji cokelat dengan teknologi yang mudah. Mahasiwa itu juga saya bawa berkunjung ke sekolah lokal SMK. Setengah hari kami mengajarkan mereka tentang...mengajak mereka melakukan hands on experiment tentang science. Jadi mereka berinteraksi dalam bahasa Inggris, bahasa Indonesia, saya yang menjadi penerjemah.

Itu kelihatan sekali mahasiswa saya juga sangat berantusias, karena itu juga suatu pengalaman yang baru dan membuka mata mereka sebetulnya.

Baca Juga: Wawancara Hadi Pranoto, Anji Ingin Berbagi Kebaikan untuk Masyarakat

Mereka selalu melihat bahwa, oh ternyata Indonesia yang daerah berkembang itu...mereka malah merasa diajarkan oleh orang lokal karena mereka melihat di Indonesia itu...oh mereka tidak...di Amerika mereka kan banyak kemudahan-kemudahan dalam hidup. Jadi, masalah air bersih saja tinggal buka keran sudah keluar air bersih. Jadi mereka tidak pernah berpikir. Tapi kemudian setelah ke Indonesia, melihat, oh ini suatu tantangan. Mereka jadi lebih apresiasi.

Kebanyakan mereka baru pertama ke Indonesia?
Iya umumnya baru pertama kali. Jadi suatu culture juga untuk pengembangan diri. Makannya saya tadi bilang kemauan saya itu isinya banyak. Karena saya melihat bahwa kalo saya itu cenderung untuk memikir gimana caranya dengan satu batu itu bisa tidak Cuma satu burung yang mati, tapi bisa lima kalo bisa haha...

Jadi semua itu harus saya lihat manfaatnya. Seperti saya membawa mahasiwa untuk membantu tentang teknologi, tetapi juga memberi kesempatan mereka untuk belajar secara... belajar kebudayaan. Untuk di Indonesia juga diharapkan mereka juga akan senang.

Apalagi untuk misalnya berbicara bahasa Inggris. Indonesia itu cenderung ketinggalan bukan ketinggalan...anak-anaknya banyak yang pintar-pintar Cuma saya lihat masih kurang kepercayaan diri. Kemampuan berkomunikasi juga kurang. Apalagi dalam bahasa Inggris. Jadi, saya lihat dengan semakin mereka banyak berbicara dalam bahasa Inggris, itu kelihatan sekali mereka lebih terpacu.

Itu ide menarik untuk dilanjutkan. Jadi program ini akan tetap dilanjutkan ya?
Akan terus berlanjut. Tahun ini tidak, karena covid ya. Cuma tantangannya saya di sini itu masih single fighter karena saya orang Indonesia sendiri. Tapi saya punya rekan yang juga di Villanova yang kami sama-sama mengembangkan pusat, center, untuk humanitarian engineering. Jadi untuk kegiatan-kegiatan eksperimen yang sifatnya untuk membantu humanitarian dengan penyediaan air bersih, penyediaan energy local atau seperti di Indonesia itu MCK masih sangat kurang. Ada teman saya yang berfokus untuk masalah kebersihan lingkungan. Itu Indonesia banyak masih dibutuhkan.

Baca Juga: Amanda Septevani, Teliti Limbah Biomassa Jadi Layar Perangkat Elektronik

Pasti, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, kebersihan lingkungan masih menjadi persoalan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI