Suara.com - Irdika Mansur, doktor lulusan University of Kent, Inggris, ini sudah 25 tahun berkutat mencari solusi bagaimana menjadikan lahan bekas tambang bukan hanya hijau kembali, tetapi juga lebih produktif dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Hasil inovasinya kini telah diterapkan di sejumlah perusahaan tambang dan terbukti berhasil.
"Lahan pascatambang itu sekarang no more cost center. Mudah-mudahan one day, itu jadi revenue juga bagi government," kata pria kelahiran Manokwari ini.
Menurut dosen Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, sayang jika lubang-lubang bekas tambang hanya ditutup, kemudian ditanam dengan pohon-pohon yang baru bisa dipanen 30 atau 100 tahun kemudian.
Reklamasi itu seharusnya juga mempunyai nilai investasi. Jadi, meski pekerjaan ini dilakukan perusahaan tambang, tapi ia harus menjadi investasi bagi negara; demikian menurut Irdika. Terbukti, berdasarkan pengalamannya selama ini, lahan pascatambang sudah bisa dihijaukan kembali, dikembangkan menjadi peternakan secara silvopastura, sentra tanaman pangan, bahkan sebagai usaha perikanan pada lubang-lubang bekas tambang.
Baca Juga: Menteri LHK Dukung Pemprov Babel Rehabilitasi Lahan Kritis Bekas Tambang
Menurut Irdika, inilah waktu yang tepat untuk mewujudkannya. Kenapa? Karena di tengah pandemi seperti saat ini, kemungkinan kita akan menghadapi masalah pangan. "Nah, lahan pascatambang berpotensi untuk mendukung itu," tuturnya.
Berikut wawancara eksklusif Rin Hindryati dengan Dr. Irdika Mansur via aplikasi Zoom, baru-baru ini. Percakapan yang berlangsung selama sejam lebih ini juga menampilkan slide presentasi lengkap dengan foto-fotonya.
Bagaimana awalnya Anda melakukan penelitian untuk merevitalisasi lahan bekas tambang?
Waktu itu tahun 1994, saya baru kembali dari (menyelesaikan studi) S2 di Selandia Baru. Kemudian pada 1995, ada perusahaan tambang, PT KPC (Kaltim Prima Coal, pertambangan batubara yang berlokasi di Sangatta, Kalimantan Timur --Red) berkunjung ke Fakultas Kehutanan, bertemu dengan senior saya. Mereka meminta bantuan, kira-kira bagaimana caranya mereklamasi lahan pascatambang. Lalu beliau, senior saya, berangkat ke KPC, Sangatta. Saya pun diajak.
Pada waktu itu ada masalah. Biasanya perusahaan setelah lahannya ditata, kemudian disebarkan tanahnya untuk media tanam. Masalahnya, tanahnya di sana sudah sangat berkurang, jadi dikhawatirkan nanti tidak cukup. Jadi, kita harus melakukan eksperimen. Kalau misalnya tanahnya hanya tipis, hanya 25 cm, 30 cm, 50 cm, 1 meter, kira-kira seperti apa. Senior saya, Doktor Riyadi Setyadi, karena beliau orang ekologi, maka pendekatannya dengan (menanam) jenis tanaman lokal. Maka ditanamlah jenis lokal itu.
Baca Juga: EKSKLUSIF: Cerita Irdika Mansur Revitalisasi Lahan Bekas Tambang (Part-1)
Lalu pada 1996, saya harus berangkat ke Inggris untuk menyelesaikan studi doktor, jadi hasilnya sebenarnya saya tidak tahu. Tapi belakangan setelah saya pulang, saya tanya, ya memang ada keberhasilan.
Berapa luas lahan di KPC yang direvitalisasi pada waktu itu?
Waktu itu kan hanya eksperimen. Jadi kecil saja.
Kondisi tanah di sana sudah berupa lubang-lubang kah?
Itu kan bekas tambang batubara. Nah kalau menambang itu, lubang bekas tambang itu kan tidak... maksud saya begini: menambang itu kan tidak satu atau dua tahun, tergantung cadangannya. Seperti KPC itu lubang satu, tapi sudah bertahun-tahun. Jadi yang direklamasi tidak harus lubangnya itu, tapi batuan yang harus dipindahkan, harus ditempatkan di satu tempat. Itu yang harus direklamasi. Jadi tidak selalu lubang tambangnya yang direklamasi.
Oh ya, Pak Irdika belajar di New Zealand, di mana? Kebetulan saya juga lulus pascasarjana dari Otago University, di selatan NZ.
Saya di utaranya sedikit dari tempat Mbak Rin. Christchurch. Di sana saya belajar bagaimana mereka menumbuhkan pohon pinus. Background saya kehutanan, pergi ke sana, kemudian melihat hutan pinus di sana. New Zealand kan negara kecil saja, tapi New Zealand itu pengekspor pinus radiata terbesar di dunia. Luar biasa kan? Nah, produktivitas di sana per hektarnya antara 400 meter kubik sampai 1.000 meter kubik. Sementara di Indonesia baru 150 meter kubik. Jadi kita harus mempelajari itu, dan itulah banyak hal yang saya bawa dari Selandia. Nanti akan saya ceritakan.
Lalu ke Inggris, belajar di mana?
S3 saya di University of Kent, di Departemen Bioscience.
Kembali ke soal lahan pascatambang. Sebenarnya gambaran umum kondisi lahan bekas tambang di Indonesia, seperti apa ya? Apa solusi yang ditawarkan untuk memperbaiki?
Tambang di Indonesia itu, kalau boleh saya katakan, bisa kita kategorikan menjadi tiga. Ada sebagian yang memang mereka tidak peduli terhadap lingkungan. Kalo misalnya Mbak Rin jalan ke Kalimantan Selatan, di kanan-kiri bisa melihat ada lubang-lubang tambang yang sudah tidak ada aktivitas. Kemudian ada mungkin di sekitar Samarinda, juga seperti itu di dekat-dekat kampung. Inilah kelompok paling buruknya seperti itu.
Kelompok berikutnya adalah yang mengikuti peraturan perundang-undangan. Jadi, kalo ada peraturan A, ya, diikuti saja A itu.
Tapi, ada juga kelompok berikutnya yang kita sebut A plus. Kalau peraturannya A, itu ada plus-nya, ada lainnya.
Nah, kalau yang pertama tadi, kita tidak bisa apa-apa. Kami sebagai peneliti tidak punya jangkauan kepada mereka, karena itu urusannya sudah pidana menurut saya. Sekarang, dengan adanya UU No. 3/2020 yang terbaru itu, aturannya keras. Jadi kalau nambang tanpa izin, mereka dendanya lumayan. Sangat lumayan. Itu memang harus dengan hukum.
Untuk perusahaan tambang yang lainnya, yang sudah mengikuti dan yang lebih dari itu, itulah yang kita bantu dengan inovasi-inovasi, hasil penelitian tentang bagaimana agar biaya reklamasinya turun, tetapi kualitasnya tetap sama atau bahkan lebih tinggi.
Jadi, kira-kira filosofi yang kita sampaikan kepada teman-teman tambang ini seperti filosofi kelapa, "mecah kelapa".
Ibaratnya, kalau kita mau bikin rendang, maka kita harus beli kelapa ke pasar. Harganya 5.000 rupiah. Kemudian kita bawa pulang, lalu ambil golok, dipecahin aja itu kelapa, sabutnya dicacah-cacah, kemudian dipukul, pecah, lalu ambil dagingnya, kita parut, dapat santannya. Kita bisa masak rendang. Itu cara pertama.
Inilah yang saya gambarkan sebagai perusahaan tambang yang saya bilang 'jorok', yang tidak berkomitmen itu tadi. Dibuang begitu saja setelah ditambang. Wah, berat itu; mau dipakai untuk apa?
Tapi coba analogi yang sama kita gunakan untuk pengelolaan tambang yang baik. Beli kelapa 5.000 rupiah, kemudian kita kupas sabutnya dengan menggunakan cara tradisional saja. Nggak usah pakai robot, pakai bambu runcing itu, kemudian tusukkan kelapanya, buka, maka kita akan dapat serabut yang panjang-panjang itu. Kemudian batoknya dibelah simetris, lalu diambil dagingnya, diperas, maka dapat santan. Kemudian, ampasnya bisa untuk pendingin muka dan pakan ayam. Batoknya tadi diampelas, diukir sedikit, kemudian disatukan dengan resleting, zip, hasilnya digantung. Harganya itu kalau di Bandara Soekarno-Hatta Rp 75.000.
Jadi, sudah dapat santannya, ini masih ada limbahnya dan dihargai 75.000 rupiah. Kemudian kulit kelapanya tadi dirontokkan, dijadikan cocopeat, dijual untuk media tanaman. Lalu sabutnya dipakai untuk keset dan sebagainya. Itulah yang ingin kita tuju di dalam reklamasi lahan pascatambang ini.
Jadi, menambang itu kita kan dapat uang, dari uang itu dialokasikan untuk meningkatkan nilai atau merevitalisasi, atau untuk memberdayakan sumber daya alam yang nilainya itu awalnya rendah. Misalnya, kita punya ikan, ternak ini dan itu di dalam hutan yang tidak ada jalan. Tentunya itu kan mahal, jadi nilai ekonominya rendah karena harus menutup biaya transportasi. Sedangkan di area tambang, modal (jalan) inilah yang akan kita pakai untuk mengembangkan itu semua.
Apakah sejauh ini 'filosofi kelapa' itu sudah diikuti perusahaan tambang? Nyatanya, saat saya ke Kalimantan, banyak lahan bekas tambang berbentuk kubangan-kubangan nampak terbengkalai. Bagaimana merevitalisasinya? Sulitkah?
Ya, mahal yang jelas. Kalau tambangnya sudah tidak ada, artinya aktivitas penambangan sudah tidak ada, maka nggak ada income, lalu pemerintah yang melakukan perbaikan. Itu mahal sekali.
Makanya sejak dini, pada waktu tambang masih aktif itu, kita bina, kita ajak sama-sama. Kita tunjukkan aturan perundang-undangan yang jelas, tahapannya, SOP-nya harus bagus dari pemerintah. Kemudian dari sisi peneliti, ya, gimana untuk menjalankan SOP tadi agar bisa tercapai (revitalisasi) dengan biaya yang rasional. Itulah tugas kita.
Artinya cara ini lebih sifatnya preventif, bukan yang sudah kadung rusak, lalu baru kita revitalisasi?
Iya, betul sekali. Baik saya tunjukkan slide supaya lebih jelas (video menit 12:21). Saya ingin tunjukkan bagaimana perkembangan teknologi reklamasi hutan dan lahan pascatambang di Indonesia. (Aktivitas) Penambangan itu bisa dilakukan di dalam kawasan hutan, bisa di luar kawasan hutan. Sebenarnya yang di hutan tentunya lebih sedikit dibandingkan di luar.
Beberapa hal yang masyarakat sering salah paham. Karena kita negara hukum, maka harus berpegang pada peraturan perundangan yang berlaku. Seperti apa? Menurut LHK, reklamasi hutan itu adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali hutan dan lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat penggunaan kawasan hutan, agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Nah, jadi tidak ada di situ kata-kata mengembalikan seperti semula. Tidak ada (dalam peraturan) kata "mengembalikan seperti kondisi semula". Itu tidak ada. Yang ada adalah kata-kata "sesuai dengan peruntukannya". Itu yang paling penting. Artinya, fungsi yang harus dikembalikan.
Kemudian, aturan di Kementerian ESDM: reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan. Jadi, bukan tambangnya harus selesai dulu, baru kemudian dilaksanakan reklamasi. Pelaksanaannya harus sepanjang perjalanan. Misalnya area itu sudah selesai (ditambang), maka harus langsung diperbaiki. Area yang sudah tidak diganggu lagi itu.
Reklamasi itu untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi... sekali lagi: berfungsi --kembali sesuai peruntukannya.
Nah, memang kalau kita naik ke atas lagi ke peraturan pemerintah, ke UU-nya, itu juga sama bahasanya: mengembalikan sesuai peruntukannya. Artinya, kalau misalnya setelah ditambang tiba-tiba pemerintah memutuskan ini menjadi ibu kota, lahan bekas tambang ini akan menjadi kantor presiden, jadilah itu Istana Presiden.
Artinya, tidak harus dikembalikan ke keadaan semula sama seperti saat sebelum ditambang?
Iya, karena memang pembuat regulasi paham lah, tidak mungkin misalnya keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan yang ditambang itu harus kembali seperti itu lagi. Nggak mungkin. Itu ciptaan Allah yang sangat tidak mungkin dilakukan oleh manusia.
Kemudian dalam konteks reklamasi hutan disebutkan: jika penambangan dilakukan di kawasan hutan maka harus dikembalikan sesuai fungsi awal dari kawasan hutan tersebut. Nah, kawasan hutan itu ada 3 fungsi menurut UU: (yaitu) fungsi produksi, fungsi lindung, dan fungsi konservasi.
Fungsi produksi artinya untuk menghasilkan kayu dan bukan kayu. Berarti, untuk menghasilkan uang bagi pemerintah, untuk kita semua. Sedangkan fungsi lindung itu untuk mengatur tata air agar jangan sampai longsor, banjir, dan sebagainya. Kemudian kalau di kawasan konservasi itu, strict tidak boleh atau tidak ada izin penambangan di kawasan konservasi. Ini sudah kesepakatan bangsa, bahwa di kawasan itu tidak boleh ada aktivitas penambangan.
Inilah sebenarnya sudah ada di aturan-aturan, di panduan-panduan teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM maupun Kehutanan. Jadi, kurang lebih seperti ini.
Reklamasi itu mulai dari penataan lahan, pembuatan saluran drainase dan fasilitas pengelolaan air.
Kalau di tambang, air tidak boleh keluar dari areal penambangan sebelum diolah dulu. Dan itu ada kriterianya, kalau batubara misalnya TSS (total suspended solid)-nya atau kekeruhannya tidak boleh lebih dari 400 mg/l; lalu tingkat Fe-nya kurang dari 7, dan sebagainya. Itu ada kriteria seperti itu. Tambang lain ada lain lagi.
Setelah itu, setelah ditata, kemudian tanahnya disebarkan, karena tanah itu berfungsi untuk medium tanam. Tanaman kan tidak bisa hidup di batu-batuan kan.
Ini semua kan tahapan yang ideal. Nyatanya environmentalist masih protes, menuding perusahaan tambang banyak melanggar aturan. Jadi bagaimana sebenarnya kondisi riil di lapangan itu?
Sebenarnya begini. Kan penambangan itu pasti akan ada areal yang terganggu. Seperti misalnya beginilah, yang kejadian sekarang ini kita ibaratkan: Mbak Rin pergi ke salon mau potong rambut, kemudian sampai di salon tukang potong rambut langsung memotong rambut. Saat sedang memotong itu, tiba-tiba putra Mbak Rin datang protes: lho kok kamu ngerusak rambut mama saya? Kan memang belum selesai, di sana-sini masih ada kurang rapi. Kemudian di tengah-tengah pengerjaan itu dikatakan 'Oh, kamu merusak'.
Itu sama dengan tambang, juga seperti itu. Jadi, potret yang ditunjukkan itu baik yang dipotret dari pesawat, dari drone, atau orang jalan, itu kan sesuatu yang sedang proses: yang ditabur, dikeruk, di-dinamit, diledakkan untuk diambil batubaranya, kemudian itulah yang disebut rusak? Tapi, akan terjadi seperti apa setelah ditambang, kan nggak pernah muncul di media.
Lalu tahapan reklamasi, seperti apa?
Seperti terlihat di slide, seperti itulah kira-kira. Dari lubang seperti ini, itu pasti akan ditutup. Kalau misalnya tambang itu dikatakan: kamu tidak boleh menutup lubang tambang, malah stres mereka. Kenapa? Karena kalau di sini sudah selesai, dia pindah ke lubang berikutnya, (nah) pada waktu menggali mau disimpan di mana? Mau disimpan di hutan sebelahnya? Nggak mungkin. Karena kalau ditimbun di hutan sebelahnya, harus izin lagi ke kementerian, panjang lagi prosesnya. Nanti banyak lagi kewajiban-kewajiban baru. Tapi kalau ditutupkan di sini, tidak ada itu lagi.
Setelah ditata, jadinya seperti itu. Kalau menurut yang saya baca di ESDM, sudah kira-kira 200 hektar lubang bekas tambang yang telah ditutup. Nanti akan saya ceritakan, enaknya ditutup apa enggak.
Nah, gambar ini menunjukkan bagaimana setelah ditutup kemudian nanti tanah dihamparkan untuk media. Kita tahu, tanahnya pasti tidak subur. Itulah yang harus dikasih kompos, dikasih pupuk, akan seperti ini (lihat gambar) misalnya.
Jadi ini yang baru mau ditanami. Tanah sudah dihamparkan, dikasih pupuk, yang seberang danau itu sudah mulai hijau.
Ini lokasi tambangnya di mana ya?
Ini ada di macam-macam perusahaan.
Umumnya bekas tambang batubara?
Ada batubara, mineral, bisa nikel, emas.
Kemudian, ini yang ingin saya sampaikan, jadi tambang-tambang itu wajib mengikuti aturan. Kita bicara tambang yang comply, artinya yang dia memang mengikuti aturan pemerintah, yang tidak akan lari seperti yang saya katakan sebagai grup yang pertama tadi.
Kalau mereka sembarangan sejak awal, mereka tidak akan bisa mengembalikan lagi tanah ke pemerintah. Kan pemerintah tadi bilang: nanti kalau lahan yang setelah ditambang itu mau dikembalikan, maka dia harus begini, begini... Kalau dia dari awal sembarangan, itu biaya mengembalikannya akan mahal sekali.
Termasuk untuk mengatasi agar sedimen dan air yang mengandung logam berat tidak langsung masuk ke perairan umum. Itu harus dibuatkan saluran-saluran seperti ini; ada kolam-kolam seperti ini, ada treatment kapur, dan sebagainya.
Ini adalah kolam-kolam untuk menjernihkan, menetralkan airnya, mengurangi logam beratnya. Seperti ini bentuknya. Jadi dari mana-mana mengalir ke sini, dan baru boleh ke perairan umum kalau sudah sesuai standar pemerintah. Kalau ketahuan (melanggar), ya tutup!
Nah, untuk mengurangi itu tadi, biasanya ditutup dengan tanaman-tanaman penutup tanah. Tujuannya biar erosinya berkurang. Kalau tidak ditanami dengan tanaman penutup tanah, erosinya besar, maka kolam tadi cepat penuh. Kalo cepat penuh lumpur, biayanya mahal untuk ngeruknya. Tapi masalahnya tanaman-tanaman ini kan merambat, melilit, sehingga perawatannya pun mahal.
Jadi kira-kira seperti ini (seperti gambar di slide), ditanamnya seperti ini, nanti akan rimbun menjadi seperti di gambar ini. Setelah itu tumbuh, maka erosi tidak akan terjadi. Tapi karena tanaman ini melilit, maka dia harus dipelihara terus. Karena kalau enggak, nanti pohon-pohon yang ditanam akan mati terlilit.
Nah, ada cara lain. Sekarang kita ganti. Dalam beberapa tahun terakhir ini, sudah kita perkenalkan jenis-jenis tanaman baru untuk mencegah erosi, tapi juga ada duitnya, bisa menghasilkan uang. Seperti tanaman sereh wangi dan rumput pakan ternak. Itu inovasinya. Contohnya di Berau Coal. Ini semua kita ganti dengan tanaman sereh wangi.
Sereh wangi itu 6 bulan setelah tanam, sudah bisa dipanen. Jadi, lahan pasca tambang itu tidak harus nanti lama lagi jadi duitnya. Itu sereh wangi, 6 bulan sudah bisa panen, disuling, lalu jadi minyak sereh wangi dan itu diekspor. Kita, Indonesia, itu pemain kedua setelah China untuk minyak sereh wangi ini.
Diekspor ke mana?
Ke seluruh dunia, kan minyak ini banyak dipakai untuk obat-obatan, untuk anti nyamuk dan sebagainya. Banyak dipakai untuk segala macam. Nah, kita dorong teman-teman tambang itu: yuk kita coba mulai seperti ini. Kalo sereh wangi ini kan yang dipotong atasnya, nanti dia akan tumbuh lagi, setelah itu 3 bulan sekali bisa panen.
Pada waktu segar begini, sapi pun tidak mau makan. Jadi, kalau masyarakat lepas sapinya di situ, nggak akan dimakan sereh wanginya. Tapi, kalau kacang-kacangan tadi, (itu) habis dimakan oleh sapi.
Sereh wangi bisa ditanam di lahan bekas tambang apa saja?
Bisa. Sudah kita coba di batubara bisa, nikel bisa. Jadi ini memang tanaman yang bandel.
Sebelum ditanam, berapa lama harus menunggu sampai tanahnya subur kembali? Atau bisa langsung ditanam saja setelah diurug?
Bisa langsung ditanam. Jadi setelah tanahnya dihamparkan, harus segera ditanam, karena kalau tidak ditanam nanti terbawa erosi, nanti malah habis tanahnya.
Tanaman ini tidak susah tumbuh?
Iya. Itulah fungsi kita sebagai peneliti. Mencarikan solusi-solusi yang seperti ini. Nanti sebenarnya hasil pangkasannya ini pun setelah disuling, limbahnya bisa untuk pakan ternak, produksi jamur seperti ini. Jadi ada hal lain yang bisa didapatkan.
Kalau tidak mau seperti itu, diganti dengan rumput pakan ternak seperti ini (gambar).
Mbak Rin kalau di New Zealand kan hamparan padang rumput di mana-mana. Nah, sekarang kita bisa lakukan itu di tambang. Seperti yang ada di PT Nusantara Berau Coal. Jadi memang beli benihnya masih dari Australia. Kita tidak bisa produksi benih sendiri, saya tidak tahu kenapa, itu ahli-ahli peternakan yang tahu.
Jadi nanti benihnya itu dimasukkan ke dalam mesin hydroseeding, tambahkan kompos, tambah air, tambah pupuk, kemudian disemprotkan saja, semburkan saja. Nanti satu bulan sudah hijau seperti ini, sehingga erosi tidak terjadi.
Dan tanaman ini, rumput ini, dia tahan asam. Tanah-tanah tambang kan biasanya asam.
Dia juga tahan naungan. Jadi, kalau ditanam bersama pohon begini, nanti tetap bisa tumbuh di bawah pohon, nggak apa-apa. Nanti di belakang akan saya sampaikan, ini bisa digunakan untuk apa.
Kemudian persemaian. Tentunya sesuai peraturan dari LHK bahwa 40% jenis tanaman yang dipakai untuk reklamasi itu harus jenis lokal yang berdaur panjang.
Menurut saya, peraturan di Indonesia itu yang paling top-lah di muka bumi. Sangat detil: sampai ada aturan 40% tanaman harus berjenis unggulan lokal yang daurnya panjang seperti meranti, ulin, dan sebagainya. Nah, itu kan tidak dijual. Pada waktu itu jarang dijual umum; kalau sekarang sudah mulai banyak.
Jadi, tujuan persemaian pertambangan ini adalah untuk mengumpulkan bibit-bibit dari jenis lokal yang ada di hutan sekitarnya. Itulah tugas kita juga, bagaimana mengajarkan, memberikan training dan sebagainya, sehingga teman-teman di tambang bisa melakukannya. Kita kirim mahasiswa untuk penelitian, praktek di sana sambil ngajarin masyarakat dan teman-teman tambang.
Walaupun tambang itu besar, uangnya besar, tapi kalau namanya pengeluaran, maka Rp 50 pengeluaran itu akan dihitung. Itulah namanya bisnis, dan itu kita hargai.
Maka pada tahap awal, kita tunjukkan misalnya cara yang sederhana aja. Ngambil tanaman-tanaman dari hutan sekitar. Itu mudah. Peralatan dan fasilitasnya juga sederhana. Dan itu menyenangkan karena teman-teman tambang cepat untuk mengadopsi itu, dan yang jelas setelah mereka paham mereka kemudian bangunkan persemaian yang Rp 3,2 miliar... ha-ha-ha.
Karena kan kalau bentuknya (sederhana) seperti itu, kalau ada orang berkunjung kan nggak enak. Mereka juga pengen enak. Tapi kan kita tidak dari awal bilang persemaiannya harus begini lho. Kita tunjukkan yang sederhana, teknologi juga dengan stek pucuk, dengan dipotong lalu dimasukkan ke dalam tempat persemaian sederhana. Nah, jadi jenis-jenis lokal itu, teman-teman tambang sudah mulai menguasai.
Sebelum itu, ditanam dulu jenis-jenis pohon yang disebut pionir.
Pionir itu pohon yang bisa hidup di matahari langsung. Karena pohon seperti meranti, kayu besi, eboni, itu kalau ditanam langsung di matahari, mereka akan mati karena nggak tahan. Jadi, pohon-pohon ini harus dinaungi dulu. Kita tanam dulu misalnya dengan kayu putih.
Ini kayu putih kita kenalkan, karena kayu putih 4 tahun kemudian bisa dipanen. Daunnya disuling dapat minyak kayu putih. Jadi, lahan pasca tambang itu sekarang no more cost center. Mudah-mudahan one day, itu jadi revenue juga bagi government.
Teknologi untuk merevitalisasi lahan bekas tambang ini sebetulnya sudah ada atau baru sama sekali? Karena nampaknya aktivitas ini jarang diekspos?
Saya kira ini tugasnya media, karena biasanya yang dipublikasi itu hanya foto-foto yang tambang aktif atau tambang yang ditinggalkan, sehingga kesan masyarakat di mana pun, ya, tambang itu buruk seperti itu. Perusak. Tapi foto seperti ini (seperti terlihat di slide), apa pernah keluar di media? Nggak ada.
Dan ini hektaran, nanti akan saya tunjukkan juga. Jadi, ini lahan bekas tambang PT Berau Coal, setelah ditambang kemudian ditanami dengan sengon seperti ini. Sengon ini sebagai penaung. Jadi di dalamnya ini nanti ada meranti dan sebagainya, untuk penanaman.
Setelah tadi naungannya dibuat dengan pohon-pohon yang cepat tumbuh yang bisa tahan matahari, kemudian ditanam jenis lokalnya, misalnya di Bukit Asam ada merbau. Itu panennya mungkin 30 tahun. Ada eboni di PT Vale. Jadi kita usahakan mengajak teman-teman tambang itu untuk menanam jenis-jenis yang memang andalan di daerah itu.
PT Mahakam Sumber Jaya di sekitar Samarinda, Kaltim, ada (pohon) kapur, meranti, ulin di sana. PT Kasongan Bumi Kencana di Kalteng, tanaman andalannya ulin. Ulin ini panennya 100 tahun kira-kira.
Nah, karena terlalu lama, nggak ada perusahaan kayu yang berminat untuk menanam. Maksud saya, perusahaan kehutanan yang mau investasi menanam ulin yang panennya 100 tahun lagi. Nanti break even point-nya kapan. Tapi kalau di tambang, mereka kan nggak nunggu pohonnya. Jadi itulah yang kita ajak sama-sama, kita ajarkan: begini caranya.
Dulu sebenarnya mereka sudah berusaha menanam jenis-jenis itu, tapi mereka tidak tahu caranya. Teman-teman tambang ini kan tidak belajar karakteristik pohon kehutanan. Pohon-pohon kehutanan kita yang harganya mahal-mahal itu, butuh naungan pada waktu kecil. Jadi tidak bisa dia ditanam langsung kena matahari. Pasti langsung terbakar, mati semua.
Tapi dengan teknologi yang sederhana seperti ini, kita tanam sengonnya dulu, dua tahun kemudian kita masukkan merbau-nya, ulin-nya, eboni-nya, meranti-nya. Ya, hasilnya sekarang sudah banyak yang seperti itu.
Nah, ini contohnya (memperlihatkan slide --Red). Ini potret udara, bukan spot. Ini lahan yang luas. Sebelah kiri ini hasil vegetasi hasil tanaman umur 9 tahun; sebelah kanan hutan alam.
Perusahaan tambang itu prinsipnya akan menambang seluas di mana di situ ada bahan tambangnya saja. Kalau nggak ada, ya nggak akan dikeruk-keruk. Karena ngeruk-ngeruk itu kan mahal.
Yang kita butuhkan itu waktu sebenarnya. Dengan waktu, kita akan dapatkan hutan seperti ini dari segi tutupannya. Dari segi keanekaragamannya, kita tambahkan tadi itu, jenis-jenis lokalnya juga kita tambahkan di bawah ini. Suatu saat nanti ini akan menjadi jenis yang beraneka ragam.
Sebagai contoh yang sudah selesai itu adalah Newmont Minahasa Raya yang ada di Minahasa. Sudah selesai. Sekarang jadi Kebun Raya Megawati Soekarnoputri. Itu keanekaragaman hayatinya sudah ditambahkan, sehingga jadi tempat belajar untuk konservasi jenis.
Untuk menanam pohon-pohon ini di lahan bekas tambang, apakah perlu pengembalian mutu tanah atau ada cara lain?
Di slide sebelumnya saya sudah tunjukkan ada aplikasi kompos, penambahan kapur dan sebagainya. Itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesuburan tanahnya.
Jadi, pilihannya ada dua: kita mau melakukan perbaikan tanahnya habis-habisan, kemudian kita tanam pohon tertentu; atau kita pilih jenis pohon yang memang tahan di kondisi tanah seperti itu. Seperti kayu putih, misalnya, dia di tanah asam juga OK, di tanah yang basah juga OK, tanah kering dia tidak keberatan, tergenang pun dia tetap tersenyum. Dengan begitu, inputnya tidak terlalu banyak.
Kadang teman-teman bilang: lho itu yang ditampilkan Pak Irdika kan tambang-tambang besar. Padahal sebetulnya tidak seperti itu. Tambang besar, lahan yang harus direklamasi juga besar; 500 hektar, 400 hektar. Tapi tambang kecil yang direklamasi juga kecil, 5-10 hektar. Jadi sebenarnya mestinya juga bisa.
Kita juga sampaikan, di SEAMEO (Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology) Biotrop, kita juga menyediakan... maksudnya kalau ada perusahaan-perusahaan yang bilang, 'Wah ini kesulitan biaya, terlalu mahal', kita punya paket hemat. Jadi, reklamasi paket hemat. Kita tunjukkan, begini aja caranya, tetap peraturan diikuti, dan kita mendapatkan lahan pasca tambang yang bermanfaat.
Paket hemat maksudnya tidak perlu habis-habisan menyuburkan tanah?
Iya betul. Jadi tanahnya nggak usah habis-habisan disuburkan. Jenis kayu yang kita pilih kayu putih, nanti kita sisipin jenis pohon lokal setelah kayu putihnya tumbuh, untuk naungan. Kita tambahkan jenis yang bandel juga, yakni Shorea barangelan; jenis lokal, daurnya panjang, hampir punah juga. Jadi untuk melakukannya, tidak harus perusahaan itu besar.
Yang saya maksud paket tadi bukan kita menjadi kontraktor atau paket project ya. Tapi maksud saya, ini "paket hemat" reklamasi. Tetapi kami terbuka untuk konsultasi, mau via email, WA, telepon, untuk menanyakan kalau misalnya teman-teman ada masalah di lapangan.
Kita pasti akan jawab, dan untuk itu tidak dipungut biaya. Bahkan dengan teman-teman tambang kita punya dua forum komunikasi, yaitu (pertama) forum komunikasi rehabilitasi hutan pada lahan bekas tambang. Ini fokusnya mengembalikan lahan pascatambang menjadi hutan yang baik lagi.
Kemudian ada forum komunikasi pengelolaan lingkungan pertambangan Indonesia. Itu anggotanya ratusan tambang juga, dan itu terbuka untuk tambang-tambang lain. Kebetulan saya diminta untuk menjadi tim pakarnya. Sengaja kita bentuk forum ini untuk tiap tambang itu, kalau sudah punya pengalaman yang bagus dan berhasil, itu nggak usah tambang yang lain nyari-nyari lagi. Maksud saya, kalau sudah ada yang berhasil mengatasi masalah, dia cerita saja.
Jadi semacam copy-paste?
Ha, betul sekali. Dengan begitu kan murah meriah operasi kita ini. Sama saja, hasil penelitian dari mahasiswa tentang reklamasi tambang, akan kami ceritakan di dalam WA group, mailing list, sehingga nanti bisa diterapkan di lapangan.
Apa saja tantangan yang dihadapi dalam upaya merevitalisasi lahan pascatambang?
Sebenarnya tantangan itu dari waktu ke waktu akan berubah. Tapi maksud saya bukan resistensi dari perusahaan, karena jujur saja sebagai lembaga peneliti, saya hanya memilih perusahaan-perusahaan yang punya komitmen tapi mereka mengalami kesulitan teknologi.
Maka kita bantu mereka sharing teknologinya, bagaimana cara melakukannya. Permasalahan di lapangan itu akan kita lihat untuk diperbaiki. Misalnya seperti tadi itu, awalnya permasalahan utama itu bagaimana mengembalikan jenis lokal ke lahan pascatambang. Ini yang kita temukan, (dan) kita introduksi caranya: dengan menanam tanaman sengon dulu, baru kemudian ditanam eboni-nya, tanaman shorea-nya. Selesai masalahnya.
Kemudian tiba-tiba ada satu tambang itu kesulitan mereklamasi lahan pascatambangnya karena tanahnya terlalu asam, juga sering tergenang. Kita cari lagi kira-kira jenis apa yang cocok seperti itu; ketemu kayu putih, ketemu gempol, ketemu bangkal, galam, dan sebagainya. Selesai.
Terus kemudian ketemu lagi masalah baru. Jadi tadi, Mbak Rin bisa lihat air di tambang itu bisa ada yang waranya merah, nanti saya tunjukkan di slide. Ada yang biru, ada yang merah. Itu pH-nya sangat asam. Jadi, kalau misalnya itu dipakai untuk mencuci mobil, mobilnya larut, langsung karatan itu. Dan kalau air itu sampai masuk ke perairan umum, itu bisa mati semua.
Tapi kalau di tambang kan itu harus dibendung. Masukkan ke kolam-kolam, di-treatment dulu, diberikan bahan kimia atau kapur. Setelah nanti netral, baru keluar. Itu biasanya mahal biayanya. Kata teman-teman di tambang, biayanya antara Rp 50 juta sampai Rp 1 miliar per bulan, untuk menetralkan saja, per satu perusahaan. Jadi bisa dibayangkan, seperti melepas Fortuner ke dalam kolam tadi untuk menetralkan. Biayanya itu mahal sekali.
Tapi Alhamdulillah, kita dapat teknologi yang... dan kolam-kolam itu kan tidak sustainable. Maksud saya kalau nanti tambangnya sudah selesai, siapa yang mau taruh kapur itu? Padahal waktu saya berkunjung ke Inggris, air itu bisa diproduksi bahkan setelah ratusan tahun kemudian. Saya berkunjung ke satu tambang di Inggris yang tutup tahun 1700. Sampai 2015, masih keluar itu air asam tambangnya. Siapa yang mau mengapur dengan biaya seperti tadi? Diserahkan ke pemerintah? Waduh, berat.
Tapi di Inggris, saya belajar, mereka menggunakan teknik pasif: dibuatkan kolam yang di situ ditanam, dibuat rawa-rawa. Dan ternyata itu (air limbah tambang) masuk ke rawa-rawa itu, keluar sudah netral. Itu salah satu yang mulai sekarang akan kita masukkan. Jadi nanti tambang-tambang pelan-pelan mulai mempelajari itu. Tentu ini masih perlu disempurnakan di sana-sini, nanti diadopsi, dan mudah-mudahan bisa jadi sistem di seluruh Indonesia.
Artinya waduk pembuangan limbah ditanami tanaman tertentu untuk dinetralkan airnya?
Iya, betul. Jadi kita punya jenis pohon yang mempunyai kemampuan menyerap logam berat sangat tinggi. Yang lebih menarik, logam berat itu disimpan di akarnya. Sehingga daunnya, buahnya, bunganya aman. Jadi kalau misalnya ada ulat makan daunnya, kemudian ulat itu dimakan burung, aman. Itu ada penelitian dari S1 sampai S3 di bimbingan saya.
Itu tanaman apa saja?
Ada gempol, misalnya. Dia punya kemampuan seperti itu. Bangkal, mempunyai kemampuan seperti itu, kayu putih juga sama. Kalau rumput-rumputannya ada banyak. Kalau di luar negeri, kita hanya kenal rumput tifa namanya. Tapi di Indonesia kan kita punya puron, tifa, macam-macamlah di Indonesia. Bimbingan saya itu menemukan ada 18 jenis yang bisa melakukan seperti itu.
Jadi, fungsi dari kami di IPB dan SEAMEO Biotrop itu untuk menemukan, mencarikan jalan keluar untuk teman-teman tambang ini.
Sudah berapa lama Pak Irdika di Biotrop?
Kalau di Biotrop, saya ini tahun ke-12, dan Alhamdulillah dengan berbagai kekuatan, kita bisa berkolaborasi dengan teman-teman tambang. Ada yang bisa kita sumbangkan ilmu kita, tapi ada juga ilmu-ilmu yang saya ambil, saya pelajari dari teman-teman tambang yang sudah duluan.
Kalau gambar yang di slide ini, contohnya rangkong (sejenis burung yang mempunyai paruh berbentuk tanduk sapi tetapi tanpa lingkaran --Red) di PT Berau Coal, sudah kembali di areal reklamasi. Rusa sudah ditangkarkan, kerja sama PT Vale Indonesia dengan BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam).
Padahal kalau misalnya Kementerian Kehutanan memutuskan di tambang-tambang ini menjadi peternakan rusa, maka Indonesia akan menjadi produsen rusa terbesar di Asia Tenggara. Itu yang perlu kita lakukan. Sekarang ini, peternakan rusa yang besar ada di Malaysia, padahal rusanya rusa Indonesia. Mereka memang tidak mengambil dari Indonesia, tapi ambil dari Afrika. Pada zaman dahulu, zaman Belanda, rusa kita diekspor ke Afrika, Australia, dan New Zealand.
Nah, ini setelah reklamasi hutannya jadi bagus. Ayam hutan di PT Vale Indonesia sudah datang. Jadi ceritanya, pada waktu kita lewat di PT Vale itu, tiba-tiba ada ayam hutan keluar, ke jalan, tarung di tengah jalan, sesaat kemudian mereka terbang lagi.
Tadi kan Mbak Rin tanya tantangannya. Dari sisi reklamasi, untuk ke arah ekologi, Insya Allah sudahlah. Kita sudah bisa jalankan dengan baik.
Kalau ada tambang yang nakal itu, sudahlah, saya serahkan saja ke Pak Kapolri dan Jaksa Agung untuk bereskan itu. Tapi kalau (perusahaan tambang) yang tadi yang kira-kira pengen komit, tapi masih tertatih-tatih tidak bisa melakukannya, sudah banyak contoh tambang yang berhasil di seluruh Indonesia. Jadi mereka tinggal berkunjung ke tambang yang berhasil yang jadi referensi di dekat mereka.
Selanjutnya adalah bagaimana sebenarnya kita memanfaatkan lahan pascatambang tadi. Inilah sebetulnya tantangan yang berikutnya. Pada 2015, kita arahkan ke sini. Memang tidak semuanya ini hasil dari penelitian SEAMEO Biotrop atau IPB, tapi banyak lembaga penelitan lain yang juga melakukan ini.
Saya hanya meng-summary-kan, biar nanti Mbak Rin juga teman-teman yang lain tahu, bahwa tambang itu sudah mengarah ke mana nih di Indonesia.
Dan menurut saya, inilah waktunya. Kenapa? Karena pada waktu pandemi ini, kita mungkin akan ada masalah pangan, makanya kenapa Presiden membuat food estate di Kalimantan Tengah, kemudian ada cadangan logistik strategis. Nah, lahan pascatambang berpotensi untuk mendukung itu.
Karena lahan pascatambang sudah bisa jadi kawasan hutan kembali, seperti sudah saya tunjukkan sebelumnya. Sangat bisa. Selain itu, pengembangan peternakan secara silvopastura. Kalau di Selandia Baru itu, kita lihat kan di bawah pinus ada sapinya, ada dombanya, itulah silvopastura. Itu yang saya bawa dari Selandia Baru karena saya belajar di sana.
Kemudian pengembangan tanaman pangan, lalu pengembangan usaha perikanan di lubang-lubang bekas tambang.
Nah, ini yang Mbak Rin tanya tadi, soal lubang-lubang bekas tambang. Ini saya berikan ilustrasinya. Ini sudah langsung main duit. Kalau sengon tadi (di lahan PT Indominco Mandiri --Red), kan pemerintah mengatakan bahwa yang 60% boleh yang jenisnya cepat tumbuh, tapi 40%-nya harus jenis lokal.
60% itu kira-kira 375 pohon per hektar; katakanlah 80% saja yang hidup, itu ada 300 pohon per hektar. Dengan diameter seperti di gambar, ini kira-kira 2 meter kubik kayunya. Jadi kalau dihitung-hitung, itu kira-kira satu hektar kalau ini ditebang akan bernilai Rp 600 juta per hektar. Itu dari lahan pascatambang lho. Dipanen dalam waktu yang pendek. Kalau sengon ini paling 10-12 tahun, tapi kalau meranti memang membutuhkan 25 tahun. Dia itu harus 40%. Nanti beberapa tahun kemudian, nilainya juga sama, kira-kira Rp 600 jutaan.
Sebenarnya pada waktu reklamasi itu harus didesain pemerintah dari awal. Jadi bukan hanya mengembalikan jenis lokal, tapi mbok ya, nanamnya juga didesain bagaimana. Supaya nanti, suatu saat ketika dipanen, itu ada nilainya.
Reklamasi itu adalah investasi. Jadi ini pekerjaan yang dilakukan perusahaan tambang tapi menjadi investasi bagi negara. Kan begitu harusnya. Itulah yang kami harapkan.
Kalau itu kan lama ya... jadi 25 tahun atau 12 tahun paling cepat. Ada nggak yang lebih cepat? Dan tidak pengen nebang pohonnya? Boleh.
Ini misalnya di bekas tambang nikel PT Bukit Asam. Di sana banyak ditanam pohon kayu putih. Di sana juga ada pabrik penyulingannya. Kalo di PT Tunas Inti Abadi di Indominco, itu ada gaharu ditanam.
Gaharu itu kayunya kalau sudah mengandung gaharu, disuling minyaknya bernilai 3 juta rupiah per ml. Itulah yang saya maksud kewajiban yang dilakukan perusahaan tapi investasi bagi negara.
Kenanga juga sama. Ini di PT Baramulti. Minyak bunga kenanga itu kira-kira harganya 1,5 juta per kg.
Lalu ini yang saya katakan tadi peternakan sapi-sapi silvopastura. Ini contohnya ada di PT Berau Coal, ada di KPC. Artinya, ini sudah terjadi.
Untuk cadangan pangan sudah bisa kita lakukan. Hanya tinggal mengontrolnya. Sebenarnya tidak merusak praktik dari tambang.
Dana yang dikeluarkan tambang boleh sama, hanya kita minta nanamnya jangan kacang-kacangan lah. Nanamnya misalnya rumput, sehingga nanti bisa dilepaskan domba, kambing etawa, kambing safera, bisa sapi seperti terlihat di slide.
Jadi maksudnya, rencana reklamasi harus didesain dari awal supaya kelak output-nya (nilai ekonominya) jelas?
Betul. Jadi ESDM kan sudah mengeluarkan peraturan perundangan yang nomor 3 terbaru, termasuk juga yang lama tentang reklamasi dan pascatambang. Perusahaan tambang itu saat baru mau menambang saja, mereka harus menyelesaikan rencana: nanti setelah tambangnya selesai, lahan bekas tambangnya akan jadi apa. Sehingga reklamasi mengikuti itu.
Karena kalau dibangunnya menunggu saat kegiatan menambangnya selesai, artinya mereka sudah tidak nambang lagi, perusahaan kan nggak ada income. Ah wis... biaya reklamasi akan mahal. (Tapi) Kalau tambangnya masih jalan, kan (kegiatan reklamasi) menjadi bagian dari CSR. Dana reklamasi ndak ada masalah.
Apalagi pemerintah kan saat ini sedang menguatkan ketahanan pangan, menguatkan cadangan logistik strategis nasional. Nah, itu bisa dilakukan kolaborasi, misalnya tambangnya diminta untuk reklamasi tapi nanamnya rumput, pohon, ada ini dan itu; nanti pemerintah yang akan menyuntikkan sapinya. Sapinya ada jantan, ada betina, kemudian masukkanlah teknologi dari Kementerian Pertanian, ada inseminasi buatan. Begitu beranak sapinya, dibagikan ke masyarakat sekitar sambil mereka dibina sehingga area peternakannya akan luas sekali.
Dan ini kan bukan contoh kecil, tapi skala besar.
Banyak perusahaan tambang yang seperti itu, hanya tidak pernah terekspos saja. Coba bayangkan, ada peternakan sapi di Kalimantan Timur di PT Kaltim Prima Coal. Kemudian rusa, seperti saya katakan tadi.
Nah, kalau saja Bu Menteri Kehutanan mau mengubah satu peraturan atau memberi satu peraturan sedikit, itu kita bisa menjadi peternakan rusa terbesar di dunia, atau di Asia Tenggara dululah.
Peraturan apa yang perlu diubah?
Ah, itu perlu diskusi panjang. Kayaknya harus lain waktu.
Usulan Pak Irdika sendiri apa?
Ya, kalau secara teoritis sebenarnya sudah boleh. Maksudnya, kalau rusa sudah anak yang ke-2, yang ke-3, maksudnya turunan ke-2, ke-3 ini sebenarnya sudah boleh dikomersilkan, tapi implementasi di lapangannya itu masih ribet. Sehingga tidak banyak orang yang tertarik untuk melakukan ini. Nah, itu perlu simplifikasi di sana. Rusa di hutan kan masih banyak sebenarnya. Jangan sampai kita mengalami seperti banteng.
Sapi bali itu kan banteng sebenarnya. Ini kan mau Idul Qurban, bisa lihat daftar yang ditawarkan, kalau sapi bali beratnya perkiraan saya 300-400 atau paling besar 500 kilo. Padahal berat sebenarnya itu 1 sampai 1,2 ton. Lah kenapa kok sapi bali jadi kecil-kecil? Ya, karena inbreeding (perkawinan sekerabat). Jadi, bapaknya kawin sama anaknya, kawin sama cucunya, sama kakeknya. Jadi lama-lama tambah kecil genetiknya. Tapi kalau misalnya banteng yang masih ada di alam tadi, bisa diambil spermanya, kemudian dipakai untuk mengawinkan dengan sapi bali, nanti sapi bali-nya bisa kembali jadi 1 ton lagi (rata-rata beratnya).
Sama dengan rusa. Rusa kita ini kan inbreeding di penangkaran. Ya, tambah kecil tambah kecil. Padahal kalau ini nanti menjadi peternakan, kan boleh dikawinkan dengan yang lebih besar.
Mudah-mudahan Bu Menteri nanti mendukung, bahwa rusa itu dari penangkaran tekniknya sudah luar biasa lah, di mana-mana rusa berhasil. Di Istana juga banyak. Sekarang tinggal bagaimana dari penangkaran tadi menuju ke peternakan atau domestikasi.
Ini ada gambar slide tanaman sorghum untuk cadangan pangan tadi. Jadi ada sorghum, padi gogo, ada aren untuk gula, untuk bioetanol itu sudah ada. Ini ditanam di lahan tambang semua lho. Itu bisa dilakukan.
Sekarang yang saya mau menjelaskan, yang Mbak Rin tanya soal lubang tambang.
Kita punya foto danau triwarna, (seperti yang) ada di slide. Yang biru itu karena jernih sehingga warnanya biru karena refleksi dari langit. Kanan-kirinya sudah tertata, sudah hijau, rimbun seperti ini. Erosi sudah berkurang, makanya airnya pun kualitas nomor satu. PDAM yang ngecek. Menurut PDAM, ini top, bisa digunakan untuk cadangan air minum.
Tapi yang warnanya masih merah, ini memang kandungan zat besinya tinggi. Nah ini perlu dinetralkan dulu. Kemudian kalau dari pesawat, kita bisa lihat di tambang-tambang besar ada genangan air warnanya biru. Ini juga logam beratnya masih tinggi, nanti perlu dinetralkan dulu.
Setelah itu kita mainkan seperti ini. (Slide) Ini gambar kolam bekas tambang. Keramba jaring apung di PT Berau Coal, Keramba Jaring Apung di PT Arutmin Indonesia, di PT KPC. Tapi, saat ini belum ada aturan yang mendukung agar kolam pascatambang ini secara firmed dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan produksi.
Sekarang ini, seperti yang Mbak Rin tanyakan di awal kan, ada kesan kolam tambangnya ditutup saja. Bahkan di UU baru pun dikatakan pembatasan luasan lubang tambang. Padahal kalau kita usahakan seperti ini, kalau makin luas, kan break even-nya malah makin bagus dibandingkan kalau kolamnya hanya kecil-kecil. Waduh, itu tidak ekonomis kalau mau diusahakan. Justru kalau mau diusahakan harus besar.
Jadi ini akan mengubah pemikiran-pemikiran kita. Nah, hitung-hitungan teman-teman di Biotrop, kalau ini dimanfaatkan, kalau dengan ikan nila, itu per 1 hektar... Padahal ini kan bisa puluhan, bahkan ratusan hektar. Jadi satu hektar itu bisa menghasilkan Rp 1,3 miliar, kalau ikan patin bisa sampai Rp 8 miliar satu kali panen. Dan berat ikan patinnya bisa sampai 2 kilo satu ekornya, sehingga kita bisa main di fillet. Dengan begitu, kita bisa kompetisi melawan Vietnam, Thailand. Sekarang kan kita terima fillet-nya Vietnam dan Thailand, karena kita produksi ikan patinnya dari kolam-kolam kecil. 1 kilo isi 4 ekor. Ini harus kita ubah jadi industri. Jadi arahnya ke sana.
Soal logam beratnya, bagaimana?
Nah, kalau kita mau memanfaatkan (lahan pascatambang), baik itu di tanah maupun di air, untuk produk komoditas yang nantinya akan masuk ke dalam makanan atau jadi pakan ternak, itu memang harus dianalisa dulu tanahnya, airnya. Bagaimana kandungan logam beratnya. Kemudian nanti diuji coba dulu sedikit. Ikan dimasukkan, setelah itu ikan yang dimasukkan tadi dites, bagaimana kandungan logam beratnya di organ-organ utamanya, di dagingnya. Kalau itu aman, ya aman, berarti bisa kita lanjutkan.
Kalau misalnya tidak aman, kita bereskan dulu. Ada kok teknik untuk membersihan air-air tadi.
Begini ilustrasinya: lubang bekas tambang itu kira-kira... nanti bisa dikoreksi juga oleh teman-teman tambang, tapi ini ada beberapa obrolan dengan mereka. Untuk menutup lubang tambang, tentu saja tergantung kedalaman dan sebagainya, tapi rata-rata sajalah. Untuk menutup lubang tambang 20 hektar, itu membutuhkan biaya Rp 200 miliar. Jadi bayangkan, perusahaan ini nambang, kemudian batubaranya dijual, dapat uang, dan uang yang sudah di tangan tadi kemudian dipakai untuk menutup lubang tambang. Siapa yang untung dari penutupan lubang tambang? Yang paling untung adalah kontraktor penutup lubang tambang, driver dari alat-alat berat, hanya mereka. Berapa orang itu yang untung? Tidak banyak.
Tapi kalau kita jadikan seperti ini (kolam ikan), siapa yang untung? Banyak, masyarakat yang ada di situ; kalau ini kawasan hutan, nanti ikan ini setiap keluar dari hutan akan dijual, itu ada PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)-nya. Itu ada aturannya. Sama juga kalau rusa keluar dari kawasan hutan, sapi keluar, atau kambing keluar, itu ada biaya yang harus dibayarkan ke pemerintah. Jadi pendapatan lagi sejak dini. Serapan tenaga kerja juga banyak. Ada income awal menggerakkan ekonomi lokal, cadangan pangan kita juga aman, lalu pemerintah juga dapat penghasilan sejak awal.
Ini semua bukan eksperimen kecil laboratorium ya. Misalnya void (lubang bekas tambang) 76 hektar, dibuat 200 meter persegi kan bisa, tinggal nanti di-scale up saja. Kalau peraturan perundangan pemerintah mengizinkan untuk itu. Mengizinkan itu begini: tidak hanya misalnya mengizinkan ini dibuat untuk keramba, tapi kan harus ada turan berikutnya. Misalnya kalau nanti panen ikan, ikannya siapa yang jualin, siapa pemilik ikannya, juga aturan-aturan PNBP kan harus dibuat. Jadi harus komprehensif.
Saya tidak menguasai itu karena keahlian saya hutan. Tapi saya bergaul atau berkomunikasi dengan teman-teman perikanan. Teman-teman ahli ini kan tahunya teknis, tapi kalo masalah aturan perundangan, ya teman-teman di pemerintahan, ahli hukum.
Nah, peta ini sangat penting (sesuai gambar slide). Kalau tadi sapi, jagung, padi, ikan, boleh di lahan pascatambang, tentunya setelah melalui kajian bahwa itu layak, tidak membahayakan, kan tambang itu ada di seluruh pulau di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua itu ada.
Jadi ketahanan pangan itu bukan hanya soal produksi. Sekarang kalau misalnya produksinya paling besar di Jawa, berarti harus didistribusikan ke Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Sampai di sana, harga beras misalnya sudah beberapa puluh ribu rupiah. Tapi kalau misalnya Freeport di sini, reklamasinya, CSR-nya itu bisa sebagai cadangan pangan, dia akan mendistribusikan pangan di Papua. Lahan yang di Sulawesi Utara, ya untuk yang di Sulut, yang di Tenggara untuk Tenggara, dan sebagainya. Sehingga selain cadangannya juga tinggi, distribusinya pun merata.
Saya kasih satu ilustrasi lagi. Ini satu area pascatambang, ada void (lubang bekas tambang), ini sudah dinetralkan airnya.
Sekarang kalau kita mau produksi pangan, kepentingan yang paling utama apa? Air. Kalau kita mau nanam apa pun, kalau airnya nggak ada atau tergantung musim hujan, maka kita tidak bisa melakukannya dengan intensif.
Tapi dengan cadangan air seperti ini, maka produksi pangan yang ada di sekitar sini, di daerah ini, bisa sepanjang tahun. Belum ikannya. Lalu jalan-jalan ini kan jalan yang dibangun dengan kualitas kelas satu, karena truk-truk tambang itu beratnya minta ampun, antara 100-300 ton. Jalan-jalan ini kan tinggal dipelihara. Apalagi jalan-jalan ini pasti terhubung sampai ke pelabuhan. Sehingga kalau di sini ada produksi, maka itu pengirimannya ke seluruh Indonesia itu sudah terhubung dengan infrastruktur transportasi.
Peraturan perundangan yang saat ini ada: kalau ini (tambang) selesai nanti, semua jalan ini harus dibongkar, kemudian lobang tambangnya harus ditutup.
Dari hitung-hitungan saya, kalau lubang bekas tambang harus ditutup dengan Rp 200 miliar tadi, untuk break even point-nya kalo ditanami dengan meranti itu butuh waktu kira-kira 500 tahun. Kalau setelah ditutup lubangnya lalu ditanami dengan jagung, itu butuh kembalinya (BEP) 2.500 tahun. It doesn't make any sense. Menurut saya itu keputusan yang tidak masuk akal.
Ini adalah aset negara, aset kita semua. Sekarang harus kita pikirkan, bagaimana ini? Mumpung tambangnya masih jalan, ada dana reklamasi, ada dana CSR, ada PNBP-nya, ada retribusinya dan sebagainya, mari kita buat ini menjadi food-food estate yang luar biasa, menjadi tempat-tempat wisata yang luar biasa, sehingga ini menjadi income kita yang luar biasa ke depan. Seperti itulah yang ingin saya sampaikan.
Menurut Pak Irdika, waktunya belum terlambat untuk membuat lahan bekas tambang lebih produktif?
Iya, justru ini waktunya, karena sedang ada perubahan-perubahan peraturan perundangan. Mulai dari UU-nya, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, yang sampai sekarang, seperti yang sudah saya katakan tadi, lebih berat ke ekologi lingkungan, tapi aspek pemanfaatannya masih dalam bentuk perusahaan tambang itu ingin menunjukkan.
Yang ada di tambang ini kan anak bangsa juga. Mereka ingin menunjukkan lahan tambang itu enggak hanya sekadar bisa menghasilkan sengon, misalnya, tapi bisa menghasilkan ikan dengan nilai ekonomi sekian miliar, menghasilkan sapi sekian. Nah, sekarang tinggal bagaimana pemerintah melakukan penguatan regulasi untuk mendukung pemanfaatannya.
Ini ada banyak kementerian yang harus masuk di sana. Tidak hanya Kementerian Kehutanan saja, tidak bisa Kementerian ESDM saja, tapi Kementerian Pertanian juga harus masuk, Kementerian Desa juga harus masuk, PUPR juga. Karena yang mengurusi air, jalur transportasi, itu PUPR. Jadi semua kementerian tadi harusnya ramai-ramai ber-kooperasi.
Pengelolaan di lahan-lahan bekas tambang saat ini masih diserahkan ke perusahaan?
Iya, betul, masih di perusahaan-perusahaan, untuk kesenangan perusahaan saja itu.
Lahan itu kan kelak harus dikembalikan ke negara?
Betul. Makanya ini kan bagi perusahaan tambang, mereka ini hanya ancang-ancang Mbak. Suatu saat mereka nanti akan melakukan penutupan tambang, pasti diuji coba-diuji cobanya seperti itu. Jadi nanti pada waktu masa terakhir tahun untuk penutupannya, ini akan di scale-up.
Berarti kegiatannya sporadis saja ya? Tidak ada kebijakan yang terpusat?
Betul sekali, belum ada. Saya berharap ini nanti akan ada satu peraturan perundangan yang bisa untuk membina. Tapi dengan kondisi seperti ini... maksud saya, ini kan masa pandemi, harga-harga bahan tambang juga turun, artinya jangan sampai beban juga ditambahkan lagi ke perusahaan tambangnya. Nanti kalau perusahaan tambangnya tutup, malah tambah banyak lagi yang di-PHK, malah celaka. Jadi kolaborasi saja, apa yang jadi kewajiban perusahaan dilakukan oleh perusahaan, karena pasti sudah dihitung dari awal, kemudian dari pemerintah bisa memasukkan apa. Misalnya Kementerian Pertanian punya program peternakannya, ya masukkanlah program peternakan ke sana; misalnya Kementerian Desa punya untuk pemberdayaan masyarakat, ya di situlah tempatnya.
Jadi solusi yang ditawarkan Pak Irdika itu menjadikan lahan bekas tambang supaya lebih produktif untuk jangka panjang, ketimbang minta mereka mengembalikan lahan yang sudah diurug?
Betul. Dan itu harus dilakukan saat tambangnya masih ada. Kalau tambangnya masih ada, kita bisa arahkan, 'Tolong dong di sini tanami rumput, yang sebelah tanami padi', saat mereka melakukan reklamasi. Kalau tambangnya sudah tidak ada, siapa yang mau nanaminya? Kan mahal.
Yang saya lihat, di Kalimantan itu lahan bekas tambang seperti terbengkalai dan tidak ada lagi aktivitas penambangan. Itu perusahaannya sudah tidak ada. Sebenarnya, ada satu direktorat di Kementerian LHK yang memang tugasnya menyelesaikan tambang-tambang seperti itu, membantu menyelesaikan lahan bekas tambang-tambang rakyat yang ditinggal begitu saja. Itu menjadi kewajiban pemerintah.
Jadi Mbak Rin bisa bayangkan, kalau pemerintah pembinaannya kurang, sampai nanti terjadi makin banyak tambang yang kabur seperti itu, beban pemerintah tambah besar. Apalagi tambang ilegal kan nggak ada setoran ke pemerintah, tapi yang "nyuci piringnya" pemerintah.
Apakah SEAMEO Biotrop bisa membantu menyelesaikan ini?
Tentu saja. Perusahaan tambang pun kalau konsultasi ke kita kan tidak dipungut biaya. Kita ajari dari jauh, atau kita ajarkan bagaimana caranya di kantor kalau mereka datang ke sini. Itu tidak perlu biaya apa-apa, karena SEAMEO Biotrop ini ada, IPB ini ada, itu kan juga karena pajaknya perusahaan, pajaknya Mbak Rin, dan teman-teman di tambang. Inilah payback kami kepada pembayar pajak.
Seberapa optimis Pak Irdika untuk kita dapat membangun food estate di lahan-lahan tambang?
Kalau saya sangat optimis, karena sebenarnya yang tambang-tambang berantakan itu jumlahnya saya kira tidak besarlah. Masih banyak tambang yang comply seperti contoh-contoh ini. Tapi yang dilihat masyarakat, dan pemerintah itu kebijakan-kebijakannya justru hanya untuk mengatasi yang mereka nakal seperti ini.
Kalau pemerintah memberikan dukungan kepada perusahaan-perusahaan yang jalan, seperti yang saya tunjukkan tadi, wah ini jalannya akan lebih kenceng. Saya yakin. Karena teknologinya ada dan banyak perusahaan yang punya kemauan untuk itu. Tinggal sekarang dukungan regulasi. Dukungan regulasi itu ada di pemerintah. Itu kalau menurut saya.
Nah, ini juga salah satu alasan saya bersedia diwawancarai Mbak Rin. Biar jangkauannya lebih luas, lebih banyak yang mendengarkan, dan mudah-mudahan para pengambil kebijakan ada yang mendengar, dan kemudian mempertimbangkan ini. Untuk itu saya berterima kasih.
Baik Pak. Itu dulu pertanyaan saya. Terimakasih banyak untuk waktunya.
Kontributor : Rin Hindryati