Kelompok berikutnya adalah yang mengikuti peraturan perundang-undangan. Jadi, kalo ada peraturan A, ya, diikuti saja A itu.
Tapi, ada juga kelompok berikutnya yang kita sebut A plus. Kalau peraturannya A, itu ada plus-nya, ada lainnya.
Nah, kalau yang pertama tadi, kita tidak bisa apa-apa. Kami sebagai peneliti tidak punya jangkauan kepada mereka, karena itu urusannya sudah pidana menurut saya. Sekarang, dengan adanya UU No. 3/2020 yang terbaru itu, aturannya keras. Jadi kalau nambang tanpa izin, mereka dendanya lumayan. Sangat lumayan. Itu memang harus dengan hukum.
Untuk perusahaan tambang yang lainnya, yang sudah mengikuti dan yang lebih dari itu, itulah yang kita bantu dengan inovasi-inovasi, hasil penelitian tentang bagaimana agar biaya reklamasinya turun, tetapi kualitasnya tetap sama atau bahkan lebih tinggi.
Baca Juga: Menteri LHK Dukung Pemprov Babel Rehabilitasi Lahan Kritis Bekas Tambang
Jadi, kira-kira filosofi yang kita sampaikan kepada teman-teman tambang ini seperti filosofi kelapa, "mecah kelapa".
Ibaratnya, kalau kita mau bikin rendang, maka kita harus beli kelapa ke pasar. Harganya 5.000 rupiah. Kemudian kita bawa pulang, lalu ambil golok, dipecahin aja itu kelapa, sabutnya dicacah-cacah, kemudian dipukul, pecah, lalu ambil dagingnya, kita parut, dapat santannya. Kita bisa masak rendang. Itu cara pertama.
Inilah yang saya gambarkan sebagai perusahaan tambang yang saya bilang 'jorok', yang tidak berkomitmen itu tadi. Dibuang begitu saja setelah ditambang. Wah, berat itu; mau dipakai untuk apa?
Tapi coba analogi yang sama kita gunakan untuk pengelolaan tambang yang baik. Beli kelapa 5.000 rupiah, kemudian kita kupas sabutnya dengan menggunakan cara tradisional saja. Nggak usah pakai robot, pakai bambu runcing itu, kemudian tusukkan kelapanya, buka, maka kita akan dapat serabut yang panjang-panjang itu. Kemudian batoknya dibelah simetris, lalu diambil dagingnya, diperas, maka dapat santan. Kemudian, ampasnya bisa untuk pendingin muka dan pakan ayam. Batoknya tadi diampelas, diukir sedikit, kemudian disatukan dengan resleting, zip, hasilnya digantung. Harganya itu kalau di Bandara Soekarno-Hatta Rp 75.000.
Jadi, sudah dapat santannya, ini masih ada limbahnya dan dihargai 75.000 rupiah. Kemudian kulit kelapanya tadi dirontokkan, dijadikan cocopeat, dijual untuk media tanaman. Lalu sabutnya dipakai untuk keset dan sebagainya. Itulah yang ingin kita tuju di dalam reklamasi lahan pascatambang ini.
Baca Juga: EKSKLUSIF: Cerita Irdika Mansur Revitalisasi Lahan Bekas Tambang (Part-1)
Jadi, menambang itu kita kan dapat uang, dari uang itu dialokasikan untuk meningkatkan nilai atau merevitalisasi, atau untuk memberdayakan sumber daya alam yang nilainya itu awalnya rendah. Misalnya, kita punya ikan, ternak ini dan itu di dalam hutan yang tidak ada jalan. Tentunya itu kan mahal, jadi nilai ekonominya rendah karena harus menutup biaya transportasi. Sedangkan di area tambang, modal (jalan) inilah yang akan kita pakai untuk mengembangkan itu semua.