Jadi ketahanan pangan itu bukan hanya soal produksi. Sekarang kalau misalnya produksinya paling besar di Jawa, berarti harus didistribusikan ke Kalimantan, Sulawesi, sampai Papua. Sampai di sana, harga beras misalnya sudah beberapa puluh ribu rupiah. Tapi kalau misalnya Freeport di sini, reklamasinya, CSR-nya itu bisa sebagai cadangan pangan, dia akan mendistribusikan pangan di Papua. Lahan yang di Sulawesi Utara, ya untuk yang di Sulut, yang di Tenggara untuk Tenggara, dan sebagainya. Sehingga selain cadangannya juga tinggi, distribusinya pun merata.
Saya kasih satu ilustrasi lagi. Ini satu area pascatambang, ada void (lubang bekas tambang), ini sudah dinetralkan airnya.
Sekarang kalau kita mau produksi pangan, kepentingan yang paling utama apa? Air. Kalau kita mau nanam apa pun, kalau airnya nggak ada atau tergantung musim hujan, maka kita tidak bisa melakukannya dengan intensif.
Tapi dengan cadangan air seperti ini, maka produksi pangan yang ada di sekitar sini, di daerah ini, bisa sepanjang tahun. Belum ikannya. Lalu jalan-jalan ini kan jalan yang dibangun dengan kualitas kelas satu, karena truk-truk tambang itu beratnya minta ampun, antara 100-300 ton. Jalan-jalan ini kan tinggal dipelihara. Apalagi jalan-jalan ini pasti terhubung sampai ke pelabuhan. Sehingga kalau di sini ada produksi, maka itu pengirimannya ke seluruh Indonesia itu sudah terhubung dengan infrastruktur transportasi.
Baca Juga: Menteri LHK Dukung Pemprov Babel Rehabilitasi Lahan Kritis Bekas Tambang
Peraturan perundangan yang saat ini ada: kalau ini (tambang) selesai nanti, semua jalan ini harus dibongkar, kemudian lobang tambangnya harus ditutup.
Dari hitung-hitungan saya, kalau lubang bekas tambang harus ditutup dengan Rp 200 miliar tadi, untuk break even point-nya kalo ditanami dengan meranti itu butuh waktu kira-kira 500 tahun. Kalau setelah ditutup lubangnya lalu ditanami dengan jagung, itu butuh kembalinya (BEP) 2.500 tahun. It doesn't make any sense. Menurut saya itu keputusan yang tidak masuk akal.
Ini adalah aset negara, aset kita semua. Sekarang harus kita pikirkan, bagaimana ini? Mumpung tambangnya masih jalan, ada dana reklamasi, ada dana CSR, ada PNBP-nya, ada retribusinya dan sebagainya, mari kita buat ini menjadi food-food estate yang luar biasa, menjadi tempat-tempat wisata yang luar biasa, sehingga ini menjadi income kita yang luar biasa ke depan. Seperti itulah yang ingin saya sampaikan.
Menurut Pak Irdika, waktunya belum terlambat untuk membuat lahan bekas tambang lebih produktif?
Iya, justru ini waktunya, karena sedang ada perubahan-perubahan peraturan perundangan. Mulai dari UU-nya, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, yang sampai sekarang, seperti yang sudah saya katakan tadi, lebih berat ke ekologi lingkungan, tapi aspek pemanfaatannya masih dalam bentuk perusahaan tambang itu ingin menunjukkan.
Baca Juga: EKSKLUSIF: Cerita Irdika Mansur Revitalisasi Lahan Bekas Tambang (Part-1)
Yang ada di tambang ini kan anak bangsa juga. Mereka ingin menunjukkan lahan tambang itu enggak hanya sekadar bisa menghasilkan sengon, misalnya, tapi bisa menghasilkan ikan dengan nilai ekonomi sekian miliar, menghasilkan sapi sekian. Nah, sekarang tinggal bagaimana pemerintah melakukan penguatan regulasi untuk mendukung pemanfaatannya.