Sekarang ini, seperti yang Mbak Rin tanyakan di awal kan, ada kesan kolam tambangnya ditutup saja. Bahkan di UU baru pun dikatakan pembatasan luasan lubang tambang. Padahal kalau kita usahakan seperti ini, kalau makin luas, kan break even-nya malah makin bagus dibandingkan kalau kolamnya hanya kecil-kecil. Waduh, itu tidak ekonomis kalau mau diusahakan. Justru kalau mau diusahakan harus besar.
Jadi ini akan mengubah pemikiran-pemikiran kita. Nah, hitung-hitungan teman-teman di Biotrop, kalau ini dimanfaatkan, kalau dengan ikan nila, itu per 1 hektar... Padahal ini kan bisa puluhan, bahkan ratusan hektar. Jadi satu hektar itu bisa menghasilkan Rp 1,3 miliar, kalau ikan patin bisa sampai Rp 8 miliar satu kali panen. Dan berat ikan patinnya bisa sampai 2 kilo satu ekornya, sehingga kita bisa main di fillet. Dengan begitu, kita bisa kompetisi melawan Vietnam, Thailand. Sekarang kan kita terima fillet-nya Vietnam dan Thailand, karena kita produksi ikan patinnya dari kolam-kolam kecil. 1 kilo isi 4 ekor. Ini harus kita ubah jadi industri. Jadi arahnya ke sana.
Soal logam beratnya, bagaimana?
Nah, kalau kita mau memanfaatkan (lahan pascatambang), baik itu di tanah maupun di air, untuk produk komoditas yang nantinya akan masuk ke dalam makanan atau jadi pakan ternak, itu memang harus dianalisa dulu tanahnya, airnya. Bagaimana kandungan logam beratnya. Kemudian nanti diuji coba dulu sedikit. Ikan dimasukkan, setelah itu ikan yang dimasukkan tadi dites, bagaimana kandungan logam beratnya di organ-organ utamanya, di dagingnya. Kalau itu aman, ya aman, berarti bisa kita lanjutkan.
Baca Juga: Menteri LHK Dukung Pemprov Babel Rehabilitasi Lahan Kritis Bekas Tambang
Kalau misalnya tidak aman, kita bereskan dulu. Ada kok teknik untuk membersihan air-air tadi.
Begini ilustrasinya: lubang bekas tambang itu kira-kira... nanti bisa dikoreksi juga oleh teman-teman tambang, tapi ini ada beberapa obrolan dengan mereka. Untuk menutup lubang tambang, tentu saja tergantung kedalaman dan sebagainya, tapi rata-rata sajalah. Untuk menutup lubang tambang 20 hektar, itu membutuhkan biaya Rp 200 miliar. Jadi bayangkan, perusahaan ini nambang, kemudian batubaranya dijual, dapat uang, dan uang yang sudah di tangan tadi kemudian dipakai untuk menutup lubang tambang. Siapa yang untung dari penutupan lubang tambang? Yang paling untung adalah kontraktor penutup lubang tambang, driver dari alat-alat berat, hanya mereka. Berapa orang itu yang untung? Tidak banyak.
Tapi kalau kita jadikan seperti ini (kolam ikan), siapa yang untung? Banyak, masyarakat yang ada di situ; kalau ini kawasan hutan, nanti ikan ini setiap keluar dari hutan akan dijual, itu ada PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak)-nya. Itu ada aturannya. Sama juga kalau rusa keluar dari kawasan hutan, sapi keluar, atau kambing keluar, itu ada biaya yang harus dibayarkan ke pemerintah. Jadi pendapatan lagi sejak dini. Serapan tenaga kerja juga banyak. Ada income awal menggerakkan ekonomi lokal, cadangan pangan kita juga aman, lalu pemerintah juga dapat penghasilan sejak awal.
Ini semua bukan eksperimen kecil laboratorium ya. Misalnya void (lubang bekas tambang) 76 hektar, dibuat 200 meter persegi kan bisa, tinggal nanti di-scale up saja. Kalau peraturan perundangan pemerintah mengizinkan untuk itu. Mengizinkan itu begini: tidak hanya misalnya mengizinkan ini dibuat untuk keramba, tapi kan harus ada turan berikutnya. Misalnya kalau nanti panen ikan, ikannya siapa yang jualin, siapa pemilik ikannya, juga aturan-aturan PNBP kan harus dibuat. Jadi harus komprehensif.
Saya tidak menguasai itu karena keahlian saya hutan. Tapi saya bergaul atau berkomunikasi dengan teman-teman perikanan. Teman-teman ahli ini kan tahunya teknis, tapi kalo masalah aturan perundangan, ya teman-teman di pemerintahan, ahli hukum.
Baca Juga: EKSKLUSIF: Cerita Irdika Mansur Revitalisasi Lahan Bekas Tambang (Part-1)
Nah, peta ini sangat penting (sesuai gambar slide). Kalau tadi sapi, jagung, padi, ikan, boleh di lahan pascatambang, tentunya setelah melalui kajian bahwa itu layak, tidak membahayakan, kan tambang itu ada di seluruh pulau di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua itu ada.