Suara.com - Konsep new normal yang sudah berjalan di berbagai daerah juga diikuti oleh Pondok Pesantren (Ponpes) Nurul Ulum Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Berlokasi di Kelurahan Kedung Bunder, Kecamatan Sutojayan, ponpes dipimpin oleh KH Agus Muadzin itu sejak jauh hari sudah mulai menyiapkan pelbagai persiapan demi menyambut para santri yang segera kembali mondok.
Persiapan menyambut para santri di ponpes berwarna hijau ini cukup total. Pihak ponpes bahkan harus mengubah hingga membangun gedung baru untuk menampung para santri di periode new normal ini. Mekanisme pembelajaran dan ibadah serta mengaji juga disiapkan untuk berubah, terutama dari segi jarak, termasuk tata cara makan.
Ketika mendatangi pondok bulan lalu, wartawan Suara.com juga harus melewati serangkaian pemeriksaan kesehatan. Masuk ke dalam lingkungan pondok pun terlihat aktivitas pembangunan di sana-sini. Gedung baru, juga alat cuci tangan dan tempat hand sanitizer, dibangun oleh pihak pondok di depan tiap ruang kelas dan tempat istirahat, termasuk bilik antiseptik yang juga dibangun di pintu gerbang.
Di mushola juga terlihat lakban yang disilangi bagian lantainya. Lakban silang ini juga meluber hingga keluar mushola, bahkan sampai di depan beberapa ruang kelas. Ini sebagai pembatas jarak antara para santri saat sholat maupun mengaji.
Baca Juga: Pondok Pesantren Gontor Ponorogo Klaster Baru COVID-19
Lantas, bagaimana lagi pondok ini menyiapkan diri untuk menyesuaikan pembelajaran dengan periode new normal? Berikut petikan wawancara Suara.com belum lama ini dengan KH Agus Muadzin, pengasuh Ponpes Nurul Ulum:
Bagaimana persiapan pondok (Ponpes Nurul Ulum) menghadapi new normal dan kedatangan para santri?
Begini, dengan ditunjuknya pondok ini jadi "pesantren tangguh Semeru" begitu, tentunya ini sama dengan program daripada pondok yang memang sejak awal menyiapkan bagaimana kedatangan anak-anak (santri) nanti didatangkan ke pondok kita ini. Ada yang sifatnya "sarpras". Sifatnya "sarpras" yang bagaimana? Satu, anak yang kita datangkan itu kan nanti ada yang namanya isolasi mandiri dulu di rumah selama empat belas hari. Lha, ada yang harus ditulis. Ada yang namanya surat pernyataan bahwa dia (santri) isolasi mandiri, ditandatangani oleh santri dan diketahui oleh wali santri dan Pak RT. Karena yang tahu RT, pejabat paling bawah ini.
Ketika sudah isolasi mandiri, mereka sehat, kita datangkan ke pondok. Jadi yang datang ke pondok ini yang sehat-sehat semuanya. Yang sakit, yang pilek, batuk, ndak boleh. Apakah full selama satu bulan? Tidak. Kita coba dua puluh hari. Karena apa? Kita harus memahamkan pada anak posisi Covid-19, pandemi Covid-19 ini.
Ini kaitannya dengan sosialisasi penggunaan masker, kemudian sering cuci tangan yang sudah kita beri di mana-mana. Kemudian ada tempat sabun dan cuci tangan. Kemudian di depan asrama semuanya ada tempat cuci. Kemudian di depan kelas semuanya ada tempat cuci yang hari ini sedang kita siapkan. Kemudian tidurnya santri kita pecah di berbagai tempat sehingga tidak ada perkumpulan massa. Anak yang dulu makan berjamaah sama teman-temannya, kini harus bawa sendok sendiri, kemudian tempat minum sendiri, kemudian tempat makan sendiri. Jadi kita sudah ndak boleh lagi (santri berkerumun).
Baca Juga: 2 Anak Perempuan Medis COVID-19 Positif Corona, 1 Kampung di Blitar Ditutup
Kalau tempat tidur dipecah, berarti harus ada tempat baru?
Kalau biasanya tidur kan di asrama, di mushola, sehingga kelas yang kosong-kosong itu tadi, kan malam itu kan kosong. Itu digunakan untuk tempat tidur. Supaya apa? Supaya tidak terjadi penumpukan-penumpukan seperti ini.
Kalau jarak tidurnya?
Tetap satu meteran nanti tidurnya. Kan mereka sudah punya kasur-kasur, sudah ada di sini. Nanti bisa dilihat kasurnya anak-anak. Jadi sudah punya kasur yang bisa dibawa ke mana-mana. Kasur plus bantal, jadi lebih enak.
Kalau dari segi pembelajaran, ada yang berbeda?
Kalau segi pengajaran, sudah kita siapkan sejak awal sebelum Covid-19, sudah siapkan kurikulum baru. Jadi ternyata sama. Sehingga yang dulu satu jam itu 45 menit, sekarang 30 menit. Yang dulu istirahat seperempat (jam), sekarang istirahat setengah jam.
Pengaturan waktu itu untuk apa?
Sambil istirahat, makan, jajan, sambil berjemur. Yang dulu ba'da Subuh anak-anak dulu langsung mengaji, sekarang masih pandemi Covid-19, anak-anak setelah Subuh olahraga semuanya.
Soal makanan?
Makanan-makanan yang menjadikan penurunan imunitas tubuh juga kita hilangkan. Tidak ada es, tidak ada makanan dingin. Tidak ada makanan-makanan yang mengandung micin dan sebagainya, tidak ada lagi. Ciki-ciki cs itu sudah ndak ada lagi.
Bagaimana pondok menyiapkan makanan sehat?
Jadi begini, masyarakat yang bikin jajan ada 24 orang. Si A jajannya ini, si B jajannya ini. Dan mereka itu punya MoU dengan pondok. Punya MoU, jadi tidak ada campuran apa pun, dan ditandatangani bermaterai. Kita punya seperti itu.
Berarti sudah terkonsep dengan baik?
Ya, sudah sejak beberapa waktu lalu. Anak ndak boleh jajan di luar pondok, karena tidak jelas. Jadi sampai kita menata yang seperti itu.
Dari sisi pengeluaran berarti ada tambahan? Bagaimana pondok mensiasati itu?
Selama pondok masih bisa untuk menutupi kekurangan, pondok akan tetep jalan. Ketika nanti pondok barangkali ada kekurangan, kita melibatkan wali santri, gitu. Wali santri biar paham. Memang anak nanti sebelum masuk, (itu) wali santri kita undang. Walaupun hanya 50 (orang) selama dua hari karena penumpukan massa itu, tetapi harus dipahamkan wali santri, bahwa nuansa seperti ini, nanti cara kita ngolah seperti ini, biar nggak rancu. Wali santri itu yakin gitu lho, bahwa pondok ini siap (hadapi Covid-19). Anaknya di pondok, nanti ketika anak-anak sudah masuk, guru-guru ketika keluar-masuk pondok harus melewati bilik disinfektan. Ada nanti, di situ ada. Jadi memang kita siapkan secara profesional.
Lalu bagaimana pengaturan atau proses santri masuk ke pondok?
Jadi, kelas 8 dan 9 itu masuk dulu, karena ini sudah terbiasa. Karena (mereka) ini sudah mengerti pondok. Setelah ini nanti pulang, maka kelas satu yang baru masuk. Jadi kelas yang kelas satu ini butuh sosialisasi yang luar biasa, karena barusan SD, barusan MI. Jadi cara mereka hidup di pondok belum paham. Mereka masih pada situasi yang baru, apalagi dalam kondisi situasi pandemi Covid-19. Mengingatkan anak pakai masker luar biasa (sulit), membudayakan PHBS masih butuh penanganan yang luar biasa. Jadi di pondok ini ada yang namanya murokhib. Murokhib itu pendamping. Santri ini didampingi oleh murokhib, pendamping ini. Lha mereka itu yang mengingatkan. Satu kamar satu pendamping. Sehingga bagaimana mereka bermasker, bagaimana mereka cara mandi, bagaimana cara mereka makan, itu nanti akan dikawal oleh ini (murokhib).
Santri dari luar daerah kan banyak, bagaimana pondok melindungi uztadz/uztadzah? Apakah nanti pondok menyiapkan APD untuk uztadz/uztadzah dalam mengajar?
Kalau uztadz mengajar seperti ini, guru sudah kita beri jarak. Satu meteran sudah. Kemudian di samping itu, ya itu tadi. Ketika keluar-masuk pondok melewati bilik itu tadi. Mereka yang sakit pilek ndak boleh ngajar. Itu lho. Pokoknya yang tubuhnya itu tidak fit, ndak boleh ngajar. Cukup ada tugas yang nanti dilanjutkan oleh teman-teman (sesama uztadz/uztadzah) yang sehat itu tadi.
Pondok dikenal sebagai tempat untuk melatih kebersamaan, seperti dulu ada makan bersama. Artinya, kini nilai kebersamaan yang dulu sering ditanamkan akan berubah?
Sementara waktu karena dalam kondisi ini, pandemi Covid-19 ini, sementara waktu ndak usah seperti itu (makan bersama satu piring). Yang dulu biasa jabat tangan, sekarang jangan jabat tangan, karena statusnya darurat seperti ini. Dan mudah-mudahan seluruh lembaga, seluruh masyarakat, seluruh elemen menyadari seperti ini. Harapan kita, secepatnya menjadi zona hijau, gitu lho. Ketika zona hijau, kan selesai semuanya. Dan ini harus ditangani bersama-sama, makanya ada gerakan kenyeh (cerewet) bersama-sama, (artinya) mengingatkan.
Saksikan juga videonya di sini!
Kontributor : Farian