Siti Nur Jazilah: Saya Hanya Fokus ke Depan, Lupakan Lembaran Lama

Senin, 29 Juni 2020 | 07:41 WIB
Siti Nur Jazilah: Saya Hanya Fokus ke Depan, Lupakan Lembaran Lama
Siti Nur Jazilah pemilik bisnis perhiasan Lisa Jewelry Handmade. [Suara.com / Arry Saputra]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Saat ditemui, Siti Nur Jazilah atau yang biasa disapa Lisa, tampak antusias dan penuh semangat. Perempuan berusia 36 tahun yang merupakan korban penyiraman air keras itu pun tak ragu bercerita banyak soal bisnis perhiasan lewat label Lisa Jewelry Handmade yang ditekuninya, dan sejauh ini cukup sukses ia jalani.

Berikut sedikit petikan wawancara dengan Lisa, termasuk cerita bagaimana ia bangkit dari keterpurukan sampai membuatnya sukses jadi pebisnis perhiasan. Juga bagaimana ia tegas ingin melupakan peristiwa tragis penyiraman air keras oleh sang mantan suami belasan tahun silam yang telah membuat wajahnya rusak.

Bisa Anda cerita bagaimana memulai bisnis perhiasan?

Mulai tahun 2009, zaman dulu masih di RS. Awalnya ya, belajar-belajar aja di RS, ngisi-ngisi waktu. Belajarnya banyak, nggak ini aja, nggak hanya aksesoris. Tapi cocoknya ya di sini, sesuai dengan minatku kali ya.

Baca Juga: Kisah Nur Jazilah, Bangkit dari Keterpurukan Korban Penyiraman Air Keras

Sebenarnya saya orangnya suka aja (untuk) ta' pakai sendiri. Karena suka, ta' otomatis kan nyoba bikin. Kapan dulu kan pernah nyoba jahitan atau apa, macam-macam kerajinan, lukis juga. Tapi kesukaannya di sini di perhiasan.

Awalnya saya bikin gelang. Dulu kan kosong banget, nggak ada kegiatan. Aku kan keluarnya tahun 2014.

Lebih ke passion-ku, minatku lebih ke situ. Aku nggak perlu guru, bisa. Imajinasiku di aksesoris, walaupun masih biasa-biasa, tapi paling enggak kan bisa lah.

Aku nggak pernah kursus, dari diri sendiri. Pertama diajarkan sama istri dokter, itu nggak sampai 10 menit. Dia kan ngasih alat-alatnya.

Kalau di rumah sakit, dulu juga sering saya diliput waktu di RS dulu.

Baca Juga: Novel Tak Lagi Berharap Keadilan di Sidang: Sudah Terlalu Jauh dari Nalar

Aku mungkin sekarang online, kalau dulu ya bazar-bazar gitu. Kemarin ikut event bazar gitu lah. Cuman karena memang lagi Covid-19, ya jarang ada acara, online semua. Kalau entar kondusif lagi, ya aktif lagi.

Sering kan aku ikut, cuman stand itu tapi di hotel. Kayak acara seminar-seminar gitu, tapi lebih ke acara-acara event kedokteran kesehatan, di hotel di Surabaya, di mana-mana juga.

Peserta dari luar daerah juga banyak kemarin-kemarin itu. Ini juga sama, online juga. Kalau sekarang (kan) online aja, apa pun break kan sekarang.

Apa saja yang Anda jual?

Yang dijual, ya kalung, gelang, cincin, bros-bros itu. Macam-macam itu, tapi nggak semua. Handmade ditambah-tambahi sama yang sudah jadi gitu. Kulakan.

Seperti apa model bisnis yang Anda jalankan?

Itu tergantung ornamennya, batu mutiara sih kebanyakan. Sebenarnya nggak susah bahannya. Lumayan lah. Kalau mutiara yang asli kan jutaan, kalau ini kan di bawah Rp 5 juta. Kalau mutiara yang laut itu kan mahal. Itu masih kelas kelas.

Bisnis ini sendiri saya kerjakan. Cuman kalau produksinya, ya ada, yang bantuin sih ada. Asisten lah, kayak gitu. Kalau ide, ya saya sendiri masih, pokoknya inspirasi dari saya sendiri.

Anda memberi label Lisa Jewelry Handmade. Seperti apa proses bikinnya?

Intinya kayak perhiasan handmade sendiri karena kan buatan tangan. Punyaku kan kayak limited edition, bisa pesen lagi kalau masih ada bahannya. Kalau nggak, ya yang lain. Kalau soal pesen atau request, ya nggak juga sih, tapi ya bisa.

Kalau prosesnya, ya cepat. Misal bikin kalung, kan tinggal nyusun aja, yang penting ada barangnya. Kalau memang moody banget, ya cepat. Aku sih sekarang jarang bikin yang rumit-rumit, yang simpel aja.

Sosok Siti Nur Jazilah, pemilik bisnis perhiasan Lisa Jewelry Handmade. [Suara.com / Arry Saputra]
Sosok Siti Nur Jazilah, pemilik bisnis perhiasan Lisa Jewelry Handmade. [Suara.com / Arry Saputra]

Berapa keuntungan Anda saat ini?

Keuntungannya ya lumayan, seusai dengan keterampilan ya. Passion, memang aku seneng. Kalau penghasilan, ya relatif, namanya usaha.

Untuk harganya sendiri, Rp 50 ribu yang bros-bros itu. Kalung itu Rp 100 ribu sampai Rp 2 juta lebih dikit. Yang pernah dijual paling mahal itu Rp 2,5 juta.

Apakah Anda melibatkan pengrajin lokal? Bagaimana ceritanya?

Pengrajin lokal, ya, ada sih dari luar kota. Jadi saya ada melibatkan, tapi masih nggak banyak. Ya, paling 2-3-an orang. Mereka freelance, kalau ada orderan ya mereka bantuin.

Tergantung stok. Kalau ada event, barang banyak, ya enggak lah. Tergantung stoknya, nggak ada target.

Kalau saya bikinnya, lihat barangnya, dipadukan sama ini kelihatan cantik nanti.

Aktif banget baru 2015 akhir, (itu) baru aktif banget. Kalau dulu kan ya, mulai sampai 2014 di area RS aja sih, paling keluar waktu tertentu aja.

Kalau yang beli banyak. Aku juga ngirim sampai Papua, Aceh, Medan, dari mana-mana semua orang. Kalau di IG itu banyak, kan luas dari Medan, Kalimantan, ya (sekitar) Jakarta-an, sampai Aceh juga ada.

Ya, maksudnya online kan bisa dikirim. Kalau mereka suka, mau, ya dikirim. Kalau orderan banyak sih belum ada, tapi kalau event, ya lumayan besar-besar. Aku ikut full-nya di event bazar, pameran.

Kan belakangan ini ada pandemi Covid-19. Ada dampaknya?

Dampak banget. Kan orang juga maksudnya aksesoris (itu) kebutuhan untuk tampil ke kondangan, pesta. Nah kan sekarang nggak ada acara kaya gitu, jadi nggak perlu juga.

Kalau online-nya ya, alhamdulillah masih bisa. Ini memang bisnis utama saya. Udah bisa, alhamdulillah masih dimampukan untuk mencukupi kebutuhan dan membantu keluarga.

Anda korban kekerasan dalam rumah tangga, disiram air keras oleh mantan suami. Bisa ceritakan kisah itu?

Nggak boleh diungkit-ungkit, itu masa lalu. Harus membuka lembaran baru, tidak boleh membuka lembaran lama. Saya itu fokus ke depan mas, bukan lihat ke belakang.

Ya, mungkin keinginan untuk pulih yang mendorong saya buat semangat, walaupun sempat down aja. Nggak semudah (itu) ngomong kuat, tapi ada prosesnya. Tapi kan demi perubahan yang lebih baik, harus tegar dan sabar.

Saya dirawat di rumah sakit 8 tahun. Ya, kan operasi, dirawat secara physically, jalani operasi beruntun kalau sama, yah.. Termasuk ini ada dokter psikiater mendampingi supaya bisa tetap menjalani. Saya nggak ada sakit apa-apa.

Anda katanya harus operasi wajah 17 kali, bagaimana ceritanya?

Operasinya 18 kali. Ya, memang prosedurnya gitu, nggak bisa langsung instan. Jadi selama 8 tahun tadi. Tapi ada kok, ada operasi lanjutan. Sekarang kontrol ya. Kalau operasi, ya nanti kalau Covid reda, baru mau operasi. Karena masih ada yang perlu diperbaiki lagi. Nunggu situasi redah banget lah.

Lalu bagaimana Anda bisa bangkit dari keterpurukan?

Keinginan untuk lebih baik. (Kalau) Secara wajah kan harus memang siap terima, siap operasi, siap untuk rasa sakit. Ya, itu tadi, sabar sih keutamaannya.

Apa yang antara lain menjadi pendorong Anda?

Kemampuan, keinginan untuk segera pulih aja begitu. Dorongan dari keluarga, sama dokter juga. Dokter aku ya bantu secara mental.

Kontributor : Arry Saputra

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI