Syaiful Arif: Tuduhan RUU HIP Sekuler dan Ateistis Tidaklah Tepat

Kamis, 18 Juni 2020 | 13:15 WIB
Syaiful Arif: Tuduhan RUU HIP Sekuler dan Ateistis Tidaklah Tepat
Ilustrasi wawancara Syaiful Arif. [Dok. pribadi/Olah gambar Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) belakangan menjadi topik hangat sekaligus memicu kontroversi --tepatnya melalui penolakan dari berbagai pihak. Sebagaimana terungkap dari berbagai pemberitaan, penolakan muncul mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas besar Islam, hingga para purnawirawan TNI.

Berbagai pendapat maupun tudingan dan spekulasi pun kemudian bermunculan terhadap munculnya RUU HIP ini. Mulai dari pendapat bahwa tidak ada urgensinya, anggapan bahwa RUU ini terlalu sekuler, hingga dugaan ini akan membangkitkan komunisme. Sehubungan itu, Suara.com coba mendapatkan perspektif dari Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) yang juga adalah mantan tenaga ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) mengenai RUU HIP berikut kontroversi yang menyertainya tersebut.

Berikut petikan wawancara dengan penulis beberapa buku, salah satunya "Islam, Pancasila dan Deradikalisasi" (2018) tersebut:

Bagaimana pandangan Anda terkait pro kontra RUU HIP?

Baca Juga: RUU HIP Dinilai Ngetes Umat, Politikus PKS: Reaksi Ustaz Abdul Somad Wajar

Pertama saya bicara sebagai mantan tenaga ahli di Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Karena RUU ini sebenarnya punya keterkaitan historis di UKP-PIP. Dalam Perpres UKP-PIP tahun 2017, Presiden mengamanatkan sebuah Garis-garis Besar Haluan Pembinaan Ideologi Pancasila (GBH-PIP), diamanatkan kepada kami, kami kerjakan, dan karena ada perubahan kelembagaan menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di mana saya sudah tidak terlibat di badan itu, namun penyusunan GBH-PIP itu tetap dikerjakan oleh teman-teman sampai sekarang. Nah, GBH-PIP itu belum selesai sampai sekarang.

Yang kedua, ini terkait dengan kontroversi yang sedang menyelimuti RUU HIP ini. RUU ini sebenarnya upaya dari DPR untuk menaikkan legal standing BPIP. Sejauh ini kan hanya berdasarkan Perpres No. 7 tahun 2018, nah (itu) dinaikkan menjadi UU. Sehingga kemudian program penguatan BPIP itu tidak hanya dilakukan oleh lembaga itu sendiri, namun juga menjadi concern dan mendapat dukungan dari DPR. Sehingga ini menunjukan secara simbolik teman-teman di DPR menyambut dengan baik upaya penguatan Pancasila yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.

Nah, konteks sosiologis dari RUU HIP ini dua hal itu tadi. Artinya terkait dengan tugas GBH-PIP. Itulah yang menjadi titik ketidaksadaran Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan juga menjadi bagian dari ketidaksadaran kami dulu ketika masih di UKP-PIP, dan juga dialami oleh teman-teman di BPIP. Ketidaksadaran itu terkait dengan dua kata, yang pertama "haluan" ataukah "pembinaan". Haluan ideologi Pancasila atau pembinaan ideologi Pancasila.

Nah, di era UKP-PIP, nomenklatur yuridis yang disampaikan Presiden itu kan GBH-PIP, Garis-garis Besar Haluan Pembinaan Ideologi pancasila. Jadi haluan itu pedoman kan. Jadi GBH-PIP yang diminta untuk disusun Presiden kepada kami itu adalah Garis Besar Haluan Pembinaan, jadi proses pembinaan Pancasilanya.

Dulu di UKP-PIP, kami sudah menyusun itu GBH-PIP yang di dalamnya ada Haluan Ideologi Pancasila. Jadi di dalam GBH-PIP itu ada dua naskah. Yang pertama naskah programatik pembinaan Pancasila, lalu yang kedua naskah konseptual tentang prinsip-prinsip ideologi Pancasila. Jadi prinsip-prinsip ideologi Pancasila itulah haluan ideologi Pancasila. Kalau zaman Orde Baru kan bahan penataran P4, jadi itu haluan ideologi Pancasila di era Orde Baru. Di Orde Lama namanya Manipol Usdek. Manifesto Politik UUD 145, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, itu adalah haluan ideologi era Orde Lama.

Baca Juga: Tunda Pembahasan RUU HIP, KSP: Terjadi Perdebatan Luar Biasa

Dulu saat di UKP-PIP, kami sempat menyusun haluan ideologi Pancasila itu yang bersifat konseptual, yang merupakan salah satu materi dalam GBH-PIP. Nah tepat di situlah sebenarnya titik chaos yang sekarang terjadi.

Ilustrasi Pancasila (shutterstock)
Ilustrasi lambang negara Garuda Pancasila. (Shutterstock)

Jadi apa sebenarnya yang memicu kontroversi?

Jadi kalau kita lihat, di dalam perjalanan RUU HIP itu ternyata terjadi perubahan nomenklatur RUU yang awalnya itu RUU Haluan Pembinaan Pancasila. Jadi beda dengan kami dulu, kalau kami kan Haluan Pembinaan kan. GBH-PIP, jadi haluan pembinaannya. Ketika sudah masuk di Baleg DPR, berubah menjadi Pembinaan Haluan, jadi titik tekannya membina haluan. Jadi membina haluan ideologi.

Kenapa bisa berubah nomenklaturnya di Baleg?

Nah, itu saya nggak tahu. Coba tanyakan ke teman-teman para perumus itu. Kami kan tidak masuk di dalamnya. Coba di cek hasil rapatnya di web DPR, nomenklatur pertama adalah RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Nah, kalau nggak salah di rapat ketiga terjadi perubahan lagi, pembinaannya dihapuskan, menjadi RUU HIP. Dan di titik inilah kemudian chaos yang terjadi hari ini. Karena yang dimaksud haluan ideologi Pancasila itu memang suatu tafsir bernegara atas Pancasila. Jadi haluan ideologi Pancasila itu sama dengan P4 atau Manipol Usdek.

Kenapa kemudian menimbulkan kontroversi?

Karena di dalam itu kan ada ide-ide Soekarno yang dimasukkan, misalnya Trilisa, Ekasila, Ketuhanan Yang Berkebudayaan, segi pokok Pancasila. Nah, tidak semua kelompok mau menerima ide-ide itu. Kalau saya pribadi misalnya sebagai peneliti Pancasila, sepakat dengan gagasan Soekarno itu. Tetapi kemudian kalau ide atau gagasan Pancasila itu dijadikan norma hukum, ini harus membutuhkan kesepakatan semua elemen bangsa.

Dalam konteks inilah kemudian, kita menyayangkan penghakiman terhadap pemikiran Pancasila Soekarno itu. Penghakimannya tidak dalam kapasitas dialektika pemikiran, tapi yang terjadi penghakiman oleh logika yang tidak disiplin, misalnya dalam prosedur berfikir, prosedur mengkritik. Para pengkritik Trisila, Ekasila, itu kan tidak memahami gagasan itu, kemudian membuat kesimpulan yang sangat simplistik dan tidak sesuai sama sekali dengan apa yang dimaksudkan Soekarno.

Misalnya soal Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Soekarno itu menyebut "Ketuhanan Yang Berkebudayaan" sebagai sifat dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi kalau dilihat dari pidato Soekarno pada 1 Juni, sebelum Bung Karno bicara tentang marilah kita mengamalkan ketuhanan dengan cara berkebudayaan, sebelum bicara itu di paragraf di atasnya itu dia bicara soal prinsip kita yang selanjutnya adalah taqwa kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan yang dijadikan, yang disembah oleh Soekarno dalam sila kelima itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Cara mengamalkannya baru secara kebudayaan.

Terus kita baca selanjutnya, apa yang dimaksud dengan cara kebudayaan itu? Cara bertuhan yang berbudi pekerti luhur. Artinya apa? Artinya adalah saling menghormati satu sama lain, tidak boleh ada egoisme beragama, kita harus bergotong royong.

Kalau para kritikus gotong royong menyebut Ekasila itu menghilangkan Ketuhanan, oh bukan. Jadi maksud Ekasila itu artinya, setiap sila kita amalkan dengan cara gotong royong, dalam rangka menjaga persatuan, dalam rangka kesejahteraan rakyat. Jadi ujung semua sila itu keadilan sosial, maka semua sila itu bersifat gotong royong.

Jadi banyak sekali kritik-kritik pada pemikiran Soekarno yang tidak didasarkan pada logika berpikir yang benar.

Kisruh RUU HIP ini seperti membuka kotak pandora konflik ideologi ya? Banyak yang menolak, mulai dari ormas Islam hingga kelompok militer, mereka menilai karena RUU itu tak menyertakan TAP MPRS No. XXV/1966, sehingga ditakutkan bangkitnya ideologi komunis? Pendapat Anda?

Pertama memang ini adalah kelemahan di awal, para perumus RUU ini tidak sensitif konflik ideologi di tengah masyarakat Indonesia kontemporer yang sangat sensitif. Aturannya memang sejak awal, itu semua ideologi-ideologi besar itu dimasukkan saja pada awalnya. Sehingga muncul asumsi dengan tidak dimasukkan Tap MPRS ini, RUU ini setuju dengan ideologi ini. Kan begitu jadinya yang muncul. Itu satu kecurigaan saja, yang secara norma hukum itu tidak beralasan. Karena meskipun tidak dimasukkan di dalam, Tap MPRS ini masih menjadi ketetapan hukum yang masih berlaku.

Menurut saya itu suatu kekhawatiran yang berlebihan. Tetapi semuanya berangkat dari ketidaksensitifan pada situasi.

Disebut ini membuka kotak pandora konflik ideologi, ada benarnya. Jadi penghapusan Tap MPRS No. 2 tahun 78 tentang P4 itu sudah tepat, sehingga kemudian tidak perlu ada P4 baru. Dalam haluan ideologi Pancasila ini kan P4 baru, sebuah pedoman ideologi yang dirumuskan oleh negara. Di tengah era reformasi yang masyarakatnya cukup kritis (ini) menjadi kontra produktif.

Jadi harus dicari titik temunya. Kalau nggak, Pancasila ini menjadi bebas nilai dan ditafsirkan sesuai dengan perspektifnya masing-masing. Seperti yang terjadi saat ini, kelompok Islamis menafsirkan Pancasila seperti Piagam Jakarta, dan kelompok lain juga menafsirkan sesuai tafsiran mereka sendiri.

Monumen Pancasila Sakti (Google Maps)
Monumen Pancasila Sakti di Jakarta. (Google/maps/screenshot)

Lalu, boleh nggak sih negara merumuskan dan membuat haluan ideologi itu?

(Bagi) Saya sih, prinsip-prinsip cara kita memahami Pancasila itu tetap butuh dirumuskan. Secara sederhana saja, misalnya berdasarkan para pembentuknya. Pertama tentu Soekarno, karena Keppres No. 24 tahun 2016 menyatakan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Artinya, pidato 1 juni adalah rahim Pancasila. Kemudian pemikiran Soekarno itu tidak bisa kita abaikan sebagai asal mula, atau kimialogi. Terus, pemikiran Mohammad Hatta tentang Pancasila, dari kelompok Islam juga ada M. Natsir, diramulah itu.

Itu menjadi concern kami Pusat Studi Pemikiran Pancasila untuk menghadirkan kembali khasanah Pancasila.

Kelompok militer juga menolak RUU ini. Menurut mereka isi draft-nya sekuler dan ateistis. Bagaimana menurut Anda?

Menurut saya sih, ya memang, asumsi RUU ini sekuler dan ateistis berangkat dari Pasal 7 atau berapa, saya lupa, yang menyatakan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial itu. Itu mereka berangkat dari situ. Kenapa? Karena menurut mereka sendi pokok Pancasila adalah ketuhanan, bukan keadilan.

Nah menurut saya, dua pandangan ini sama-sama ekstremnya. Baik yang menyatakan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial di ekstrem yang lain, dan yang mengatakan sendi pokok Pancasila adalah ketuhanan juga di ekstrem yang lain. Kenapa? Karena sendi pokok Pancasila itu berada di titik tengah, antara ketuhanan dan keadilan sosial. Jadi cara membaca Pancasila itu tidak bisa dari satu nilai saja. Kebangsaan saja, kerakyatan saja, itu nggak bisa.

Jadi sila keadilan itu tidak bisa sendiri, karena itu adalah perintah Tuhan. Begitu juga sebaliknya, sila ketuhanan itu tidak bisa terlepas dari nilai-nilai di bawahnya. Di dalam alat pikir Pancasila, pengamalan nilai ketuhanan Pancasila itu demi apa? Ya, demi kemanusiaan, demi kenegaraan, demi keadilan sosial. Jadi kalau kita tawarkan satu istilah, sendi pokok Pancasila itu bisa "ketuhanan yang berkeadilan". Nilai ketuhanan yang berkeadilan sosial, itulah sendi pokok Pancasila. Di sini kita terbebas dari titik sekularitas dan titik formalitas keagamaan.

Tuduhan bahwa RUU ini sekuler dan ateistis tidak tepat. Jadi, Bung Karno menempatkan ketuhanan itu sebagai akar, sebagai dasar. Jadi kenapa Soekarno menempatkan ketuhanan sebagai sila kelima, karena ketuhanan sebagai akar, sebagai dasar sila-sila di atasnya. Saya sepakat sendi-sendi pokok Pancasila ini perlu direvisi.

Lantas, apa yang harus diperbaiki dari RUU ini?

Pertama, judul dari RUU itu harus diubah. Tidak lagi RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), tetapi RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI