Jadi apa sebenarnya yang memicu kontroversi?
Jadi kalau kita lihat, di dalam perjalanan RUU HIP itu ternyata terjadi perubahan nomenklatur RUU yang awalnya itu RUU Haluan Pembinaan Pancasila. Jadi beda dengan kami dulu, kalau kami kan Haluan Pembinaan kan. GBH-PIP, jadi haluan pembinaannya. Ketika sudah masuk di Baleg DPR, berubah menjadi Pembinaan Haluan, jadi titik tekannya membina haluan. Jadi membina haluan ideologi.
Kenapa bisa berubah nomenklaturnya di Baleg?
Nah, itu saya nggak tahu. Coba tanyakan ke teman-teman para perumus itu. Kami kan tidak masuk di dalamnya. Coba di cek hasil rapatnya di web DPR, nomenklatur pertama adalah RUU Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila. Nah, kalau nggak salah di rapat ketiga terjadi perubahan lagi, pembinaannya dihapuskan, menjadi RUU HIP. Dan di titik inilah kemudian chaos yang terjadi hari ini. Karena yang dimaksud haluan ideologi Pancasila itu memang suatu tafsir bernegara atas Pancasila. Jadi haluan ideologi Pancasila itu sama dengan P4 atau Manipol Usdek.
Baca Juga: RUU HIP Dinilai Ngetes Umat, Politikus PKS: Reaksi Ustaz Abdul Somad Wajar
Kenapa kemudian menimbulkan kontroversi?
Karena di dalam itu kan ada ide-ide Soekarno yang dimasukkan, misalnya Trilisa, Ekasila, Ketuhanan Yang Berkebudayaan, segi pokok Pancasila. Nah, tidak semua kelompok mau menerima ide-ide itu. Kalau saya pribadi misalnya sebagai peneliti Pancasila, sepakat dengan gagasan Soekarno itu. Tetapi kemudian kalau ide atau gagasan Pancasila itu dijadikan norma hukum, ini harus membutuhkan kesepakatan semua elemen bangsa.
Dalam konteks inilah kemudian, kita menyayangkan penghakiman terhadap pemikiran Pancasila Soekarno itu. Penghakimannya tidak dalam kapasitas dialektika pemikiran, tapi yang terjadi penghakiman oleh logika yang tidak disiplin, misalnya dalam prosedur berfikir, prosedur mengkritik. Para pengkritik Trisila, Ekasila, itu kan tidak memahami gagasan itu, kemudian membuat kesimpulan yang sangat simplistik dan tidak sesuai sama sekali dengan apa yang dimaksudkan Soekarno.
Misalnya soal Ketuhanan Yang Berkebudayaan. Soekarno itu menyebut "Ketuhanan Yang Berkebudayaan" sebagai sifat dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi kalau dilihat dari pidato Soekarno pada 1 Juni, sebelum Bung Karno bicara tentang marilah kita mengamalkan ketuhanan dengan cara berkebudayaan, sebelum bicara itu di paragraf di atasnya itu dia bicara soal prinsip kita yang selanjutnya adalah taqwa kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan yang dijadikan, yang disembah oleh Soekarno dalam sila kelima itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Cara mengamalkannya baru secara kebudayaan.
Terus kita baca selanjutnya, apa yang dimaksud dengan cara kebudayaan itu? Cara bertuhan yang berbudi pekerti luhur. Artinya apa? Artinya adalah saling menghormati satu sama lain, tidak boleh ada egoisme beragama, kita harus bergotong royong.
Baca Juga: Tunda Pembahasan RUU HIP, KSP: Terjadi Perdebatan Luar Biasa
Kalau para kritikus gotong royong menyebut Ekasila itu menghilangkan Ketuhanan, oh bukan. Jadi maksud Ekasila itu artinya, setiap sila kita amalkan dengan cara gotong royong, dalam rangka menjaga persatuan, dalam rangka kesejahteraan rakyat. Jadi ujung semua sila itu keadilan sosial, maka semua sila itu bersifat gotong royong.