Suara.com - Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) belakangan menjadi topik hangat sekaligus memicu kontroversi --tepatnya melalui penolakan dari berbagai pihak. Sebagaimana terungkap dari berbagai pemberitaan, penolakan muncul mulai dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas besar Islam, hingga para purnawirawan TNI.
Berbagai pendapat maupun tudingan dan spekulasi pun kemudian bermunculan terhadap munculnya RUU HIP ini. Mulai dari pendapat bahwa tidak ada urgensinya, anggapan bahwa RUU ini terlalu sekuler, hingga dugaan ini akan membangkitkan komunisme. Sehubungan itu, Suara.com coba mendapatkan perspektif dari Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) yang juga adalah mantan tenaga ahli Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) mengenai RUU HIP berikut kontroversi yang menyertainya tersebut.
Berikut petikan wawancara dengan penulis beberapa buku, salah satunya "Islam, Pancasila dan Deradikalisasi" (2018) tersebut:
Bagaimana pandangan Anda terkait pro kontra RUU HIP?
Baca Juga: RUU HIP Dinilai Ngetes Umat, Politikus PKS: Reaksi Ustaz Abdul Somad Wajar
Pertama saya bicara sebagai mantan tenaga ahli di Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Karena RUU ini sebenarnya punya keterkaitan historis di UKP-PIP. Dalam Perpres UKP-PIP tahun 2017, Presiden mengamanatkan sebuah Garis-garis Besar Haluan Pembinaan Ideologi Pancasila (GBH-PIP), diamanatkan kepada kami, kami kerjakan, dan karena ada perubahan kelembagaan menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di mana saya sudah tidak terlibat di badan itu, namun penyusunan GBH-PIP itu tetap dikerjakan oleh teman-teman sampai sekarang. Nah, GBH-PIP itu belum selesai sampai sekarang.
Yang kedua, ini terkait dengan kontroversi yang sedang menyelimuti RUU HIP ini. RUU ini sebenarnya upaya dari DPR untuk menaikkan legal standing BPIP. Sejauh ini kan hanya berdasarkan Perpres No. 7 tahun 2018, nah (itu) dinaikkan menjadi UU. Sehingga kemudian program penguatan BPIP itu tidak hanya dilakukan oleh lembaga itu sendiri, namun juga menjadi concern dan mendapat dukungan dari DPR. Sehingga ini menunjukan secara simbolik teman-teman di DPR menyambut dengan baik upaya penguatan Pancasila yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi.
Nah, konteks sosiologis dari RUU HIP ini dua hal itu tadi. Artinya terkait dengan tugas GBH-PIP. Itulah yang menjadi titik ketidaksadaran Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan juga menjadi bagian dari ketidaksadaran kami dulu ketika masih di UKP-PIP, dan juga dialami oleh teman-teman di BPIP. Ketidaksadaran itu terkait dengan dua kata, yang pertama "haluan" ataukah "pembinaan". Haluan ideologi Pancasila atau pembinaan ideologi Pancasila.
Nah, di era UKP-PIP, nomenklatur yuridis yang disampaikan Presiden itu kan GBH-PIP, Garis-garis Besar Haluan Pembinaan Ideologi pancasila. Jadi haluan itu pedoman kan. Jadi GBH-PIP yang diminta untuk disusun Presiden kepada kami itu adalah Garis Besar Haluan Pembinaan, jadi proses pembinaan Pancasilanya.
Dulu di UKP-PIP, kami sudah menyusun itu GBH-PIP yang di dalamnya ada Haluan Ideologi Pancasila. Jadi di dalam GBH-PIP itu ada dua naskah. Yang pertama naskah programatik pembinaan Pancasila, lalu yang kedua naskah konseptual tentang prinsip-prinsip ideologi Pancasila. Jadi prinsip-prinsip ideologi Pancasila itulah haluan ideologi Pancasila. Kalau zaman Orde Baru kan bahan penataran P4, jadi itu haluan ideologi Pancasila di era Orde Baru. Di Orde Lama namanya Manipol Usdek. Manifesto Politik UUD 145, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, itu adalah haluan ideologi era Orde Lama.
Baca Juga: Tunda Pembahasan RUU HIP, KSP: Terjadi Perdebatan Luar Biasa
Dulu saat di UKP-PIP, kami sempat menyusun haluan ideologi Pancasila itu yang bersifat konseptual, yang merupakan salah satu materi dalam GBH-PIP. Nah tepat di situlah sebenarnya titik chaos yang sekarang terjadi.