Suara.com - Bakat pianis dunia bermarga Gurning ini sudah tampak saat dia masih kanak-kanak. Kala itu ia memang masih lebih tertarik pada gitar dan menyanyi. “Like real Batak,” ujarnya sambil tertawa saat berbincang dengan Rin Hindryati dari Suara.com via Zoom dari rumahnya di Brussels, Belgia.
Lahir di Belgia dari pasangan campuran Indonesia - Polandia yang bermukim di sana, Alexander belajar piano di Royal Conservatoire di Brussels. Di sana ia berhasil memenangi top prize. Setelah menyelesaikan studinya, ia lantas menjadi asisten di kelas pianis Rusia Evgeny Moguilevsky selama 3 tahun. Ia lalu pindah ke Moskow. Di sana, dia memperdalam ilmunya dengan berguru pada Naumov dan Merzhanov di Moscow Conservatory.
Naumov adalah profesor piano di Moscow Tchaikovsky Conservatory. Dia juga anggota juri di banyak kompetisi internasional. Sedangkan Merzhanov merupakan profesor di Moscow Conservatory sejak 1947 hingga kematiannya pada 20 Desember 2012 di Moskow.
Alexander Gurning kemudian acap tampil di banyak panggung dunia termasuk di Peking, Sapporo, Schleswig-Holstein, Obidos, Lugano, La Roque d'Antheron, Saratoga, Tanglewood, dan Verbier Festivals. Dia juga berkesempatan unjuk kemampuan bersama pianis klasik terbesar dunia, Martha Algerich. Musisi asal Argentina ini memang idolanya.
Baca Juga: Wawancara Khusus Sevo Widodo, Warga Global Pendiri Silicon Bali
Saat usianya baru 20 tahun, Alexander sudah konser sendirian di Jepang yang ditonton 5.000 orang.
Meski sudah malang melintang di pentas utama dunia, Alexander Gurning baru sekitar 3 tahun lalu tampil di Indonesia. Waktu itu dia menggelar konser terbatas di Sekolah Musik dan Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda di Jakarta.
"When you are mixed, sometimes your identity could be problematic [Kalau berdarah campuran, terkadang identitas Anda bisa menjadi masalah]. Saya khawatir jangan-jangan saya tidak diterima di sana,” kenangnya.
Ternyata ia beroleh sambutan hangat dari publik Indonesia kala itu. Pada sisi lain, pria berusia 47 tahun yang kini bermukim di Brussel kagum melihat bakat para pianis muda Indonesia. Itu ia saksikan sendiri di Sekolah Musik di Jakarta.
Dia masih menyimpan impian untuk kembali dan menggelar konser di Indonesia. Sebenarnya, dia dijadwalkan tampil bersama pemain selo asal Korea Selatan bulan ini di Jakarta. Namun karena pandemi Corona, acara tersebut terpaksa dibatalkan. Pun 20 konser lainnya.
Baca Juga: Penyanyi yang Bikin Heboh America's Got Talent 2020 Ini Orang Batak?
Dia bertekad untuk kembali ke Indonesia dan menggelar konser.
“We have to find one moment to make it happen.”
Alexander memang cinta Indonesia, terutama Parapat, kota turis di tepi Danau Toba, yang merupakan daerah asal ayahnya. Anak bungsu dari 2 bersaudara ini perrtama kali menjejakkan kaki di tanah leluhurnya tersebut saat masih berusia 8 tahun.
Sebagaimana umumnya anak blasteran, kebulean lebih mencuat pada penampakan Alexander Gurning. Kebatakannya hamper tak tampak. Meski demikian, dia menyatakan sangat bangga menjadi orang Batak.
“Secara hati-hati, Ayah terus menanamkan agar kami bangga menjadi Batak, menjadi marga Gurning. Tentu saja saya bangga menjadi marga Gurning,” ucap pria berambut keriting yang beristrikan seorang imigran Kongo, Afrika. Pasangan ini tengah menanti anak kedua.
Saat Suara.com meminta dia memainkan lagu batak berjudul “Lisoi” karya komponis-Batak terbesar, Nahum Situmorang, dengan antusias Alexander langsung meng-iyakan. Setelah kami kirimi rekaman lagu “Lisoi” yang dibawakan Trio Ambisi, dia pun meminta waktu untuk berimprovisasi. Hasilnya dapat dinikmati dalam video terlampir.
Perbincangan dengan Alexander berlangsung selama kurang lebih 45 menit. Berikut ini petikan wawancara lengkap (yang sudah diterjemahkan) kontributor Suara.com Rin Hindryati dengan Alexander Gurning di Brussels, Belgia, dengan aplikasi Zoom.
Bagaimana Anda menghadapi pandemi Covid-19?
Keadaan saat ini tidak seberat dulu ketika awal-awal impediment (kesulitan akibat pandemi Covid-19, Red). Pemerintah memberlakukan lockdown pada 16 Maret lalu. Sekarang pun kita masih belum boleh bertemu keluarga dan ke tempat kerja. Anak-anak belum diizinkan ke sekolah. Restoran dan kafe serta bioskop juga masih belum diizinkan buka. Kita harus (membiasakan) diri hidup dengan keadaan normal baru. Perlahan kita akan menuju ke keadaan normal.
Bagaimana pandemi Covid-19 mengganggju jadwal konser Anda?
Ya, tentu. Ada sekitar 20 konser saya (piano klasik) yang dijadwalkan hingga November, telah dibatalkan. Bahkan ada konser untuk digelar Desember pun nampaknya sulit terlaksana. Panitia kesulitan mengorganisir konser tersebut karena tidak bisa mempromosikan. Apalagi sebagian dana telah dialihkan untuk hal lain terkait penanganan kesehatan. Menurut saya itu wajar.
Untunglah saya masih puya posisi di sekolah musik sehingga masih dapat income.
Apakah pernah melakukan konser secara virtual?
Saya sedang melakukan itu. Ada dua konser virtual saya yang akan digelar di Brussels, Belgia. Jadi nanti saya akan pergi ke music hall yang kosong tanpa penonton, lalu bermain musik untuk TV streaming. Saya memainkan piano hanya untuk kamera. Normal, tapi tetap ada perasaan asing bermain di hall kosong tanpa penonton; hanya ada kamera. Rasanya beda jika bermain di hadapan penonton. Ini menjadi konser pertama saya tanpa penonton.
Selama di rumah saja, bagaimana Anda mengisi hari?
Ya tentu berlatih piano, sebab saya harus menjaga kebugaran dan kemampuan. Ternyata berada di rumah terus-menerus pun memberi ruang buat saya untuk mendapatkan inspirasi. Meski di rumah, dengan adanya anak, tentu keadaannya berbeda. Tetapi saya tetap bisa berlatih.
Berapa anak Alex?
Saat ini satu, usia 3 tahun. Kami sedang menunggu anak kedua yang akan lahir dalam beberapa hari ke depan.
Ketika lahir anak laki-laki saya, setiap anggota keluarga Gurning mengirim pesan selamat sambil memastikan: he is marga Gurning, right! Spontan saya jawab: yes, yes of course, don’t worry. Mereka ingin memastikan, haha..
Istri Alex orang Belgia?
Dia asli dari Kongo, Afrika. Keluarganya datang ke Belgia saat dia berusia 7 tahun. Dia seorang guru bahasa Perancis.
Bagaimana anda merespons kerusuhan di AS yang dipicu sikap rasis kaum kulit putih terhadap kulit hitam?
It’s very ugly. Aneh rasanya melihat negara yang mengklaim diri sebagai country of freedom, country of dream, sekarang situasinya seperti di masa abad pertengahan.
Salah satu faktor pemicunya karena lack of education. Kerusuhan terjadi karena kurangnya pendidikan. Education is the key against violence, against racism. Amerika bukanlah tempat yang terbaik untuk pendidikan.
Padahal orang Batak sangat hirau pada pendidikan.
Exactly! Masyarakat Batak menjunjung tinggi pendidikan. Nilai Batak tentang pendidikan itu sangat kuat. Mereka mampu bertransisi dari masyarakat tradisional ke modern berkat pendidikan yang kuat.
Saya masih ingat cerita ayah bagaimana orang tuanya berjuang menyekolahkan anak-anak mereka. Oang tua ayah tidak miskin tetapi juga tidak berkelimpahan. Orang tua ayah bekerja sebagai pedagang minyak, lalu pegawai di hotel. Mereka bekerja keras agara dapat mengirim sejumlah uang untuk anak-anaknya yang sedang bersekolah di universitas terbaik di Jakarta. They put all money for education, which is incredible!
Sekarang soal latar belakang keluarga. Ayah Alex bermarga Gurning dan Ibu orang Polandia. Bagaimana kemudian menetap di Brussels, Belgia?
Ayah saya, Bonar Edison Gurning, berasal dari Parapat (kota di tepi Danau Toba yang berada di Kecamatan Girsang Sipangan Bolon, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Red). Dia lahir sekitar tahun 30-an, tidak tahu persis kapan. Saat muda dia bersekolah ke universitas di Jakarta, lalu mendapat kesempatan melanjutkan studi ke Praha, ibu kota Ceko. Itu sekitar akhir tahun '60-an. Di sanalah dia bertemu ibu saya, Ewa, yang orang Polandia. Mereka kemudian menikah. Kakak laki-laki saya, Edward Gurning, lahir di Praha.
Mereka kemudian escape Ceko karena saat itu USSR (Uni Republik Sosialis Soviet) sangat posesif terhadap negara-negara komunis. Jadi, atmosfernya sangat tidak nyaman. Untunglah saat itu ayah masih memegang paspor diplomat. Semula mereka hendak kabur ke Belanda dengan pertimbangan banyak diaspora Indonesia di sana. Tapi kemudian kedua orang tua saya mendapat pekerjaan di Brussels. Itu sekitar tahun 1970. Ayah saya seorang ekonom yang bekerja untuk kedutaan besar Indonesia. Karirnya dihabiskan di sana hingga akhir 1980an.
Anda berapa bersaudara?
Kami hanya berdua. Saya dan kakak yang 7 tahun lebih tua. Dia seorang dokter, sekarang tinggal di kota Namur yang berjarak satu jam dari Brussels.
Sebagai seorang marga Gurning, apakah ayah memperkenalkan nilai-nilai Batak kepada anda?
Of course. Beliau banyak cerita kepada kami tentang keluarganya, tradisi, dan bagaimana suku Batak menjalani hidup. Secara hati-hati pula, beliau terus menanamkan agar kami bangga menjadi Batak, menjadi marga Gurning. Tentu saja kami bangga menjadi marga Gurning.
Keluarga banyak yang tinggal jauh, jadi agak sulit untuk keep contact. Tetapi kita punya kerabat yang tinggal di kota Luksemburg, Jerman. Kadang kami bertemu, meski complicated.
Ayah dulu sering datang ke Indonesia untuk membantu keluarga dan komunitasnya di Parapat. Pada era 80an, beliau bahkan datang 2 – 3 kali.
Kapan Alex pertama kali melihat kampung halaman ayah di Parapat?
Ketika saya pertama kali kembali ke Indonesia, saya masih anak-anak. Umur 8 tahun. Saya masih ingat ada perayaan di sana. Sebuah ritual yang sangat penting. Komunitas Batak itu besar sekali.
Nilai-nilai budaya Batak apa saja yang masih diingat?
Saya perhatikan ada beberapa perayaan penting bagi masyarakat Batak seperti pernikahan dan pemakaman. Dan bagi masyarakat Batak, leluhur itu penting sekali. Bagaimana kita diminta untuk selalu mengenang para leluhur.
Fakta lain adalah bagaimana mereka memaknai hidup. Bagi orang Batak, hidup itu lebih diibaratkan sebuah journey. Life is normal. Itu seperti siklus. Sementara kami di Eropa memandang hidup dengan cara berlawanan. Life is more tragic, I think.
Orang Batak dikenal sebagai masyarakat pecinta seni dan musik. Apakah bakat Anda mengalir dari darah Batak?
Oh yes. Tapi menurut saya dari kedua orang tua. Ibu saya orang Polandia. Dia selalu ingin saya main piano. Tentu karena ketenaran komposer besar asal Polandia Frederic Chopan.
Sebenarnya saat saya kecil, saya tidak mau main piano. Saya lebih suka bernyanyi dan main gitar. Like real Batak, ha ha..
It’s funny!
Ya, it’s funny. Tetapi di Eropa tentu lebih sulit untuk serius di bidang musik jika hanya bermain gitar dan bernyanyi. Sebaiknya memang mencoba memainkan piano klasik. Itu bagus. Dan bukan hanya memainkan piano, tetapi yang juga penting adalah belajar teorinya. So, then you have solid background.
Dan tentunya karena musik klasik itu memang musiknya orang-orang Eropa.
Apakah ada paksaan orang tua untuk memilih jalur piano klasik?
Tidak ada. Sebenarnya, kakak laki-laki saya yang pertama belajar piano. Saya menyaksikan dia bermain piano. I was admiring his play. Saya mencoba-coba karena di rumah juga ada piano. Kami sekeluarga juga kerap mendengarkan musik klasik lewat radio. Itulah kontak pertama saya dengan piano klasik. Dan kakak saya adalah guru piano pertama saya. Lalu saya mulai sekolah. Justru di sanalah mereka (para guru, Red) melihat bakat dan keseriusan saya. Setelah itu, ibu saya mulai secara hati-hati memastikan saya harus berlatih piano setiap hari.
Apakah orang tua tidak melihat bakat Alex?
They sensed something. Tapi karena mereka bukan musisi tentu tidak benar-benar mau mengatakan saya spesial. Tapi kemudian guru di sekolah memanggil mereka dan mengatakan: this kid is talented.
Jadi, guru anda yang menemukan bakat?
Yes, exactly!
Umur berapa Anda saat itu?
Delapan tahun.
Setelah itu apakah Alex bersekolah khusus musik?
Saya ke sekolah normal dan juga sekolah musik. Di sini (Brussles, Red) tidak ada sekolah khusus musik. Pagi ke sekolah normal, lalu setelah makan siang ke sekolah musik. Dan tentunya latihan banyak.
Apa rahasianya sehingga bisa menjadi pianis yang piawai?
I don’t think there is any secret. Satu-satunya cara adalah practice, practice, practice. Dan tentu Anda harus bermain sambil menikmatinya. Enjoy is the first thing. Karena berlatih tanpa menikmatinya maka tidak bisa pass the pleasure.
Kedua, saat bermain piano, nikmatilah. Enjoy it all the time.
Saya jadi teringat cerita Johann Sebastian Bach, komposer Jerman. Banyak orang bertanya kepadanya, bagaimana dia melakukan itu. Seperti kita ketahui dia dianggap sebagai salah satu orang jenius di bumi ini. Bach hanya menjawab: “I have nothing special. Hanya bangun pukul 4 pagi setiap hari and composed every day many hours."
Apakah Anda masih ingat kapan pertama kali tampil di konser tingkat dunia? Dan bagaimana rasanya?
It was very very nervous. Sebenarnya pertama kali tampi di pentas dunia saat berumur 15 tahun. Tapi, seingatku, saat itu saya tidak terlalu nervous. Saya hanya ingin bermain dan menikmatinya.
Tetapi ketika usia 20 tahun, saya masih ingat saat itu harus tampil di Jepang untuk pertama kali. Itu solo-concert. The music hall penuh. Ada sekitar 5.000 orang. Ketika saya buka pintu, bersiap menuju panggung, saya lihat ribuan orang. Tiba-tiba saja nafas saya seperti terhenti. I could not breath and went back stage again. Butuh waktu 10 menit untuk menenangkan diri sebelum tampil. I take big deep breath and went back to the stage.
Di atas panggung, saya masih perlu 30 menit untuk betul-betul enjoy what I am doing on stage. Lalu, segalanya berjalan lancar. Saya kembali bisa menikmati permainan piano di panggung. Konser ini berlangsung selama 1,5 jam. Saya rasa penonton puas. I think people enjoy it. Ya, it is successful.
Ada rencana untuk menggelar konser di Jakarta?
Sebenarnya saya ada rencana menggelar konser di Jakarta bersama pemain selo asal Korea Selatan. Dijadwalkan digelar Juni ini. Tapi karena pandemi, konsernya diundur. Mereka menjadwal ulang untuk digelar bulan November. Itu pun belum tentu, masih melihat situasi. But, it will happen anyway. Mungkin tahun depan. Saya pasti akan datang. Saya rindu masakan Indonesia, Batak khususnya.
I’d love to come. It would happen soon!
Saya juga pernah menggelar konser terbatas di Jakarta sekitar 2 atau 4 tahun lalu. Pertama di sebuah sekolah musik dan kedua, di pusat kebudayaan Belanda di Jakarta, Erasmus Huis. Saya juga belum lama main piano dengan sejumlah musisi batak di Hotel Inna, Parapat.
Jadi, pertama main di Indonesia saat usia saya sekitar 42 tahun, barangkali.
Mengapa butuh waktu lama untuk bermain di Indonesia. Padahal saat konser di Jepang, usia Anda masih 20 tahun?
Salah satu sebab mengapa saya tidak kembali ke Indonesia lebih awal karena ada dalam diri saya rasa takut to go back to Indonesia.
Kenapa takut?
Perasaan itu muncul karena saya berdarah campuran, ada Batak, Polandia, Belgia. When you are mixed, sometimes your identity could be problematic. Saya khawatir jangan-jangan saya tidak diterima di sana. Kita tidak tahu apakah orang akan senang bertemu anda. Sempat terpikir, apakah kita harus memilih one culture. Tentu saja tidak, tapi itulah ketakutan dalam diri saya sebagai orang berdarah campuran. Tapi sekarang saya sudah dapat mengatasinya. I embrace the culture very much. So no problem.
Apakah ada kendala lain untuk menggelar konser di Jakarta?
Jarak yang jauh (antara Brussels dan Jakarta) juga merepotkan terutama untuk urusan prosedur dan difficult to rehearse. Tapi saya harus kembali ke Indonesia untuk mewujudkan ini. We have to find one moment to make it happen.
Siapa pianis dunia yang Anda kagumi?
Martha Algerich (pianis klasik keturanan Argentina, salah satu pianis terbesar saat ini, Red). She is a great pianist. Saya sudah beberapa kali konser bareng. Kepribadiannya pun bagus. She is very generous, very giving.
Apakah orang kerap bertanya soal nama keluarga (Gurning) yang Anda pakai?
Oh of course, di banyak kesempatan orang bertanya-tanya. Mereka sering menyangka Gurning itu dari Jerman. I think because of the ‘Gu’ and ‘Ing’. Saya sering harus menjelaskan. Make lecture about it. Ha ha...
Kontributor : Rin Hindryati