Bisa juga seperti model Australia, pemerintah atau negara menanggung gaji dan jaminan-jaminan sosial untuk karyawan perusahaan media. Sehingga media tetap bisa berfungsi untuk menyebarkan informasi kepada publik. Jadi pertama alokasi iklan, kedua menanggung gaji dan tunjangan jaminan sosial untuk karyawan media. Jadi itu opsional.
Terus untuk media cetak, (bisa lewat) subsidi harga kertas. Di Eropa itu ada skema memberikan potongan pajak langganan media, baik yang cetak maupun online, khususnya untuk konsumsi muda atau keluarga rumah tangga. Jadi harga langganan media itu dihilangkan instrumen pajaknya. Kemudian ada pemotongan harga listrik untuk perusahaan media.
Khusus terkait media online yang makin menjamur di era digital, bagaimana sebaiknya mengelolanya? Lewat verifikasi Dewan Pers cukupkah? Bagaimana juga dengan keberlangsungannya?
Verifikasi itu penting, tapi saya kira perlu kerja sama antara Dewan Pers dengan asosiasi. Karena Dewan Pers sendiri kayaknya nggak mampu, terlalu lama nanti.
Baca Juga: Kala Wabah Virus Corona, Media Diminta Jadi Penentu Kebenaran informasi
Tapi verifikasi itu penting untuk menjamin bahwa pers online terdaftar, layak untuk beroperasi.
Ada bayangan kira-kira akan bagaimana perkembangan media di Indonesia dalam 5-10 tahun ke depan? Bagaimana dalam jangka panjang?
Ekosistem industri media itu sangat tergantung pada apakah teman-teman media itu mampu bernegosiasi dengan baik sama platform. Karena hubungannya sekarang timpang, platform sangat dominan sementara publisher selalu banyak kalah.
Jadi negosiasi yang bersifat B to B itu penting, yang di level playing field agar sama, tapi juga mendorong negara agar memberikan keberpihakan terhadap ekosistem pers nasional. Saya kira itu penting. Tapi di saat yang sama media massa konvensional, di Amerika media online ini kan bagian dari media konvensional, harus bisa menciptakan inovasi produk dengan new media.
Jadi kalau hoaks, informasi simpang siur itu sudah bicara di media sosial, maka media konvensional jangan garap itu lagi. Kalau ikut-ikutan garap itu untuk mengejar clickbait, itu namanya kan media massa (jadi) follower media sosial. Kalau itu yang terjadi, nanti yang mainstream itu mereka. Jadi yang disebut new mainstream itu adalah media sosial itu.
Baca Juga: Sirojudin Abbas (SMRC): Sekitar 134 Juta Warga Kondisi Ekonominya Menurun
Jadi kalau media massa mengikuti media sosial, itu seperti membesarkan musuhnya itu, membesarkan kompetitornya. Karena secara bisnis media sosial itu kadang-kadang menguntungkan media massa lewat mesin pencari. Kalau mengikuti media sosial, mereka yang besar, dan media massa jadi yang alternatif.