Agus Sudibyo: Negara Harus Hadir untuk Membantu Pers agar Tetap Hidup

Selasa, 19 Mei 2020 | 07:15 WIB
Agus Sudibyo: Negara Harus Hadir untuk Membantu Pers agar Tetap Hidup
Ilustrasi wawancara. Agus Sudibyo, Koordinator Kelompok Kerja Keberlanjutan Media atau Task Force Media Sustainability. [Foto: Dok. Dewan Pers / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Badai pandemi corona Covid-19 telah menimbulkan berbagai dampak ekonomi di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, di mana salah satu yang terdampak adalah industri pers atau perusahaan media. Sementara, industri pers sendiri bahkan sejak sebelum pandemi pun sebenarnya sudah berada dalam situasi sulit, terutama dalam hal menjaga keberlanjutan media (media sustainability) karena bisnis yang cenderung tidak menguntungkan.

Sehubungan itu, keberadaan Kelompok Kerja Keberlanjutan Media (Task Force Media Sustainability) yang diresmikan oleh Dewan Pers pada Januari 2020 lalu, menjadi kian penting dalam membuat rumusan-rumusan hingga mengurai persoalan media atau industri pers di era digital ini. Untuk diketahui, kelompok kerja yang dibentuk berdasarkan SK Dewan Pers Nomor 12/SK-DP/I/2020 ini memiliki masa kerja selama satu tahun. Duduk sebagai koordinatornya adalah Agus Sudibyo, yang juga adalah Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga & Luar Negeri di Depan Pers periode 2019-2022.

Lantas, apa yang sudah bisa disimpulkan dan disampaikan dari telaahan Task Force Media Sustainability tersebut sejauh ini? Kepada Suara.com, Agus Sudibyo, peneliti yang juga mantan wartawan ini menyampaikan beberapa hal penting. Berikut petikan wawancara khusus dengannya:

Bisa dijelaskan sedikit sudah sejauh mana kerja Task Force Media Sustainability saat ini? Apa saja yang sudah bisa disimpulkan sejauh ini?

Baca Juga: Kala Wabah Virus Corona, Media Diminta Jadi Penentu Kebenaran informasi

Sebelum Covid-19 kita sudah membuat rumusan-rumusan tentang bentuk bentuk aspirasi yang kita ajukan ke pemerintah mengenai model kerja sama antara news publisher dan news platform.

Nah, secara umum itu ada dua, yang pertama soal asas similaritas atau asas kesetaraan. Jadi kesetaraan itu menyangkut tiga hal. Jadi, news publisher dan news platform itu kerja samanya ada tiga, yaitu sharing konten, harus diikuti dengan sharing revenue yang adil dan transparan, juga harus diikuti dengan sharing data yang adil dan transparan.

Nah, soal sharing revenue dan sharing data ini belum transparan. Misalnya sebuah media online seperti Suara.com ingin mendapatkan data Google, itu kan data profiling harus beli ke Google. Padahal Google mendapatkan data profiling bisa jadi dengan memanfaatkan kontennya Suara.com. Jadi dalam (hal) sharing konten terjadi, tetapi ketika sharing data itu seakan-akan milik platform sendiri. Padahal platform itu mendapatkan data itu dengan kontribusi konten dari news publisher. Jadi menegakkan prinsip kesetaraan dalam sharing konten, sharing revenue, sharing data.

Kedua, menciptakan yang disebut sebagai equal level playing field, iklim persaingan usaha yang setara. Kesetaraan ini, antara platform dan publisher (dalam) berkompetisi. Dalam kompetisi itu kan harus fair. Kalau Suara.com harus membayar pajak untuk setiap revenue yang didapatkan, maka platform juga harus bayar pajak.

Kalau Suara.com beritanya dianggap melanggar kode etik, itu harus membuat hak jawab, bisa diadukan ke Dewan Pers, bahkan bisa dipidanakan. Platform harus seperti itu juga.

Baca Juga: Sirojudin Abbas (SMRC): Sekitar 134 Juta Warga Kondisi Ekonominya Menurun

Nah, selama ini platform itu ketika mendapatkan konten dari media online, dia memberlakukan diri sebagai perusahaan media. Tetapi ketika dia harus bertanggung jawab atas konten yang ia sebar, dia berlagak bungkam. 'Kami itu hanya perusahaan teknologi. Kami hanya menyediakan platform. Bagaimana platform digunakan itu bukan tanggung jawab kami.' Dia seakan-akan mengatakan, 'Kami menyediakan platform tapi isi di luar tanggung jawab kami.' Sehingga persoalan hoaks, itu hanya direduksi, hanya persoalan orang yang membikin hoaks dan korban. Padahal persebaran hoaks itu kan (juga) menggunakan platform.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI