Suara.com - Di antara sejumlah negara lainnya di dunia, Indonesia saat ini masih terus berada di fase lanjutan terdampak wabah atau pandemi corona Covid-19. Jumlah kasus dan pasien positif corona masih terus bertambah setiap hari, sementara banyak kota dan daerah pun sudah mengambil langkah karantina wilayah.
Kebijakan karantina wilayah atau yang banyak disebut sebagai lockdown di beberapa daerah itu pun kontan berdampak pada kehidupan ekonomi masyarakat. Hal itu seiring armada transportasi umum yang dihentikan atau dikurangi, pusat keramaian atau tempat publik yang ditutup, termasuk beberapa mal maupun pasar, hingga aktivitas warga itu sendiri yang memang dibatasi.
Sehubungan dengan dampak ekonomi itu, baru-baru ini Suara.com pun berbincang dengan salah seorang ekonom INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira, untuk mendapatkan pandangannya. Berikut petikan wawancara dengannya, termasuk soal seberapa berat krisis yang terjadi karena pandemi corona ini dan berapa lama Indonesia butuh waktu recovery.
Bagaimana Anda melihat kondisi perekonomian rakyat, khususnya sektor informal, sejak pandemi Covid-19?
Baca Juga: Curhat Ojol Dilarang Pulang Kampung: Ciawi Sudah Lockdown
Ekonomi saat ini sudah masuk dalam tahap krisis. Bukan "akan krisis", tapi "sedang berlangsung krisis", seperti IMF katakan.
Dibandingkan sektor formal, sebenarnya sektor informal yang paling terdampak dari adanya Covid-19. Profesi seperti pedagang asongan, buruh harian lepas, driver ojol, tukang becak yang penghasilannya langsung turun bahkan mendekati 0 rupiah.
Maka dari itu sebenarnya gelombang pengungsian ke daerah-daerah pasti didominasi oleh pekerja informal. Saya katakan "pengungsi" bukan "pemudik", karena mereka tidak punya kejelasan nasib di Jabodetabek. Sedangkan pekerja informal porsinya mencapai 55,7% dari total pekerja di Indonesia.
Lalu, kira-kira butuh berapa lama waktu recovery pasca pandemik?
Krisis ini bisa lebih parah dibandingkan krisis 2008 dan 1998, sehingga masa recovery (akan) berlangsung lebih lama. Kalau pemerintah sudah sampai membuat Perppu, (itu) artinya kondisi (krisis) cukup gawat. Tahun 1998 ada Perppu soal Kepailitan, di 2008 saat Bank Century di-bailout juga ada dua Perppu di sektor keuangan.
Baca Juga: Lima Cara Atasi Krisis Keuangan di Tengah Pandemi Virus Corona Covid-19
Melihat indikator efek ke ekonomi bisa menciptakan PHK massal, turunnya daya beli, dan pelemahan rupiah yang konsisten, mungkin dibutuhkan waktu 3-4 tahun untuk recovery.
Bagaimana Anda melihat peran pemerintah dalam menopang lesunya perekonomian ini, khususnya terhadap sektor informal?
Sejauh ini pemerintah baru memberikan paket insentif soal listrik subsidi, kartu sembako, penangguhan cicilan kredit dan kartu prakerja. Sebagian ditujukan untuk orang miskin. Sementara, informal itu ada juga yang masuk kategori kelas menengah. Dalam kartu prakerja, ada sasaran untuk sektor informal, tapi kurang nyambung. Apa dalam kondisi seperti ini perlu pelatihan kerja, baru dapat insentif? Jadi seakan pemerintah masih setengah hati memberi keringanan untuk sektor informal.
Apakah upaya pemerintah dalam menangani dampak pandemi ini terhadap perekonomian tidak cukup? Stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah, apakah tidak manjur?
Tidak cukup. Coba dibandingkan Indonesia dan Malaysia dalam hal stimulus. Indonesia baru Rp 405 triliun, sementara Malaysia hampir Rp 1.000 triliun. Jumlah penduduk Indonesia kan lebih banyak dari Malaysia, sektor UMKM juga jauh melebihi Malaysia. Di Malaysia itu bahkan ada anggaran Rp 2,2 triliun untuk mensubsidi internet. Kenapa pemerintah kita pelit sekali?
Apa yang seharusnya bisa dilakukan pemerintah dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, terkait kondisi pandemi ini?
Jangka pendek, lakukan universal basic income. Pekerja sektor informal di zona merah corona atau wilayah yang parah terdampak diberikan basic income dalam bentuk cash transfer senilai 80% dari UMP.
Saya coba hitung di Bali-Lombok. Di Bali, per Agustus 2019 ada 318.711 orang pekerja di sektor hotel dan restoran. Di Lombok ada 101.000 orang. Total Bali-Lombok pekerja hotel restoran adalah 420 ribu orang. UMP Bali dan Lombok rata-rata Rp 2,5 juta. Kalau asumsi 80% dari UMP, jadi Rp 2 juta.
Itu menanggung semua 420 ribu orang jadinya Rp 840 miliar. Nggak sampai kok Rp 1 triliun. Dananya ditanggung bersama APBN (dana transfer daerah) dan APBD, kan cukup.
Jangka menengah, fokus pada mempercepat recovery pasca krisis dengan efektifkan belanja pemerintah yang produktif. Proyek padat karya bisa jalan kalau wabah sudah selesai. Jangka panjang, fokus pada industrialisasi, sehingga orang yang di-PHK bisa kembali terserap maksimal.
Banyak mal, juga pusat grosir Tanah Abang kini sudah tutup karena corona. Seberapa besar sih ini dampaknya terhadap ekonomi rakyat?
Ini dampak Tanah Abang saja sudah besar sekali mempengaruhi sektor retail sampai ke daerah.
Perputaran uang di Tanah Abang mencapai Rp 200 miliar per hari. Itu baru di Tanah Abang saja. Jika barang dijual sampai ke daerah-daerah, ada nilai tambah sehingga mencapai Rp 400-500 miliar per hari. Ini uang yang hilang.
Pedagang kecil juga akan menanggung risiko, karena stok barang jualan turun. Padahal menjelang Ramadan-Lebaran biasanya permintaan pakaian berada dalam puncaknya.
Tidak hanya toko fisik, ya. Toko online, pedagang di platform maupun e-commerce juga kena imbas. Asal barangnya kan sama, bahan bakunya juga dari Tanah Abang. Yang jelas, ada daya beli yang merosot, (ada) PHK di sektor UMKM.
Bagaimana sebenarnya situasi ekonomi Indonesia saat ini yang tiap hari lesu? Apakah bisa seperti krisis keuangan pada 2008?
Situasinya jauh lebih buruk dari 2008, karena saat ini disertai oleh perlambatan konsumsi yang terjadi sejak 2015. Kemudian pertumbuhan kredit rendah, baik kredit modal kerja maupun kredit konsumsi. Bank kurang bergairah, dan pertumbuhan ekonomi rata-rata jelang krisis hanya 5%. Tahun 2008 pertumbuhan ekonomi masih 6,1%. Dulu 2008 episentrum krisisnya di AS, (sedangkan) saat ini merata di hampir seluruh dunia kena corona.
Bagaimana dengan kondisi industri saat ini?
Industri mengalami penurunan bahkan jauh sebelum corona masuk Indonesia. (Itu) Bisa dilihat dari porsi industri terhadap PDB (yang) berada di bawah 20%. Sudah terjadi de-industrialisasi prematur. Kemudian secara permintaan, ekspor anjlok. Ya, bencana-lah di industri ini.