Perawat RSPI, Maulia Hindun: Keinginan Menolong Kalahkan Takut pada Corona

Kamis, 26 Maret 2020 | 07:20 WIB
Perawat RSPI, Maulia Hindun: Keinginan Menolong Kalahkan Takut pada Corona
Ilustrasi wawancara. Maulia Hindun Audhah, perawat di RSPI Sulianti Saroso. [Foto: Muhammad Yasir / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seiring penyebaran wabah atau pandemi corona Covid-19 yang terus meluas hingga jumlah pasien pun terus bertambah, kiprah sekaligus nasib tenaga medis termasuk para perawat pun menjadi perhatian. Banyak sudah yang melontarkan kekaguman, menyebut mereka pahlawan, bahkan menciptakan lagu; sementara tak sedikit pula yang merasa khawatir dengan posisi rentan para tenaga medis tersebut.

Yang khawatir ini pun ada dua sisi: pertama, mereka yang mengkhawatirkan nasib para tenaga medis yang rentan tertular, apalagi dengan kenyataan bahwa memang sudah ada beberapa dokter yang jadi korban dan wafat karenanya. Namun kedua, ada sisi lain pula yang justru khawatir ketika tahu ada tenaga medis atau perawat pasien corona di lingkungannya, lantaran stigma bahwa tenaga medis berpotensi jadi pembawa virus itu.

Lantas, bagaimana sebenarnya perasaan, sekaligus juga suka-duka dan pengalaman sehari-hari seseorang seperti Maulia Hindun Audhah, perawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi atau RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, bekerja di tengah pandemi corona ini? Secara eksklusif kepada wartawan Suara.com yang berkesempatan menemuinya baru-baru ini, Maulia tanpa ragu menyampaikan ceritanya. Berikut petikan wawancara singkat dengannya:

Sudah berapa lama Anda jadi perawat di sini? Bisa ceritakan sedikit suka-dukanya, termasuk saat wabah (pandemi) corona sekarang ini?

Baca Juga: Sopir Bus Jurusan Bogor Positif Virus Corona di Wonogiri

Saya bekerja di RSPI kurang lebih 15 tahun. Sebelumnya saya kerja di ruang rawat inap biasa. Setahun ini, pas setahun ini, saya dipindahkan ke IGD.

Jadi, pengalaman (dengan penyebaran infeksi) Covid-19 ini benar-benar luar biasa, ya. Ada haru, sedih, panik juga. Karena kita kebetulan lagi wabah, jadi (secara) psikis pasien yang kalangan elite yang ke sini kan. Pasien itu merasa pengennya buru-buru, karena panik juga. Jadinya (dia) pengen semuanya serba cepat.

Jadi kita sebagai perawat harus pintar-pintar menenangkan pasiennya, sering-sering ngejelasin. Kadang kita udah crowded di dalam, keluarganya itu manggil, "Gimana suster?" Karena kan mereka nggak boleh masuk kan. Jadi itu setiap lima menit nanya, "Suster gimana... suster gimana?" Jadi kita ikut nenangin keluarganya juga. Kita kasih pengertian, (bahwa) ini tuh bukan perawatan biasa, keadaannya sedang mewabah. Jadi kita bilang ke keluarga pasien, (agar) tetap bantu doa, biar bapaknya semakin tenang, pasiennya juga akan semakin tenang. Gitu kan.

Kadang-kadang pasien sendiri juga kan masih megang HP, diteleponin terus. Lagi mendesak malah ngobrol, gitu. Jadi, begitulah.

Baca Juga: Kronologi 2 Perempuan Anggota Ombudsman RI Dinyatakan Positif Virus Corona

Anda sudah 15 tahun di RSPI, berarti lulus (kuliah) langsung bekerja di sini?

Iya. Jadi saya lulus langsung ikut CPNS. Akademi perawatannya di Bina Insan Jakarta Utara dengan Islamic Center.

Apa sih alasan utama Anda memilih menjadi perawat?

Oh, yang pertama sih, sebenarnya saya lebih sukanya itu ke bidan. Tapi, waktu itu karena tingginya kurang, jadi ya udahlah, (jadi) perawat. Kebetulan lulus di perawat, (dan) lama-lama mencintailah pekerjaan ini.

Apa pernah terbayangkan sebelumnya akan berada di situasi saat ini? Merawat pasien pandemi Covid-19 yang penyebarannya begitu masif?

Sebelumnya sih udah ada kasus kayak flu burung, SARS, cuma saat itu saya dapat di ruang biasa, jadi tidak terlalu terjun langsung lah. Cuma pas Covid ini kebetulan saya di IGD, terus wabahnya juga banyak, jadi sempat stres juga sih. Cuma ya, udahlah, jalanin aja. Insyaallah kalau kita bantuin orang, Insyaallah akan dibantu Allah juga.

Jadi, pertama kali merawat pasien positif Covid-19 itu, awal Maret?

Nggak. Sebelumnya kita awal-awal Januari itu sudah merawat pasien yang suspect, tapi kan tidak ada hasil yang positif. Nah, yang baru mulai akhir Februari lah itu mulai ada pasien. Dengar berita di luaran sana kan Indonesia wabahnya telat dibandingkan negara lainnya. Awal-awal itu memang udah banyak yang panik, sehari itu bisa 40 lebih. Dinas pagi aja, itu (banyak) pasien yang udah datang mempertanyakan, (bilang) "Saya pulang dari luar negeri". Padahal dia nggak ada riwayat sakit apa-apa, nggak ada keluhan apa-apa, cuma punya riwayat bepergian.

Situasi terkini RSPI Saroso, Senin (2/3/2020) (Suara.com/Ade Dianti)
Situasi di RSPI Sulianti Saroso pada Senin 2 Maret 2020 lalu. (Suara.com/Ade Dianti)

Pertama kali menangani pasien Covid-19, bagaimana perasaan Anda? Apa ada kekhawatiran tersendiri atau takut misalnya, mengingat ini virus baru yang belum banyak diketahui?

Ya, takut sih ada. Manusiawi ya. Cuma ya, karena kita sudah tahu ilmunya, terus kita juga disiapkan dengan APD (alat pelindung diri) yang lengkap, ruangannya juga ada ruangan isolasinya, jadi Insyaallah rasa takut itu lama-lama menghilang. Jadi lebih rasa yang lebih tingginya itu, rasa ingin menolong orangnya, gitu lho.

Karena kalau IGD kan emang keadaan emergensi ya, pasien yang mendesak. Jadi, nggak tega aja gitu. Jadi rasa ingin menolongnya lebih tinggi dari rasa takutnya sih.

Selama merawat pasien, ada momen tertentu yang berkesan?

Kalau tadi sih, (itu) pasien yang dia benar-benar takut banget. Dipegang kita aja (dia bilang), "Duh, jangan ini ya, saya". Terus saya ajak bercanda, udah tuh, nafasnya (jadi) enak. Jadi kita merasa, "Oh, ternyata pasien tuh butuh lho, untuk didengar, dikasih penjelasan, 'Bu, ibu dibawa santai aja, ibu lagi sakit. Kalau ibu stres, nanti imunnya makin nurun'". Kita jelasin gitu, alhamdulillah, tadi kondisinya juga jadi cukup bagus. Jadi, senang aja gitu, kalau melihat pasiennya ada perbaikan.

Sehari biasanya Anda mengobservasi atau melayani berapa pasien?

Kalau di IGD ini kebetulan lagi banyak, kurang lebih ya, bisa enam (pasien). Jadi gantian. Misalkan enam itu, satu pasiennya butuh pasang infus, ya udah, kita berdua pasang infus. Gitu.

Selama bertugas merawat, Anda kan menggunakan APD, ada visor, kacamata, hazmat, juga masker N95, yang cukup membuat pernapasan tidak nyaman. Bisa diceritakan, bagaimana rasanya?

Awalnya waktu di awal di IGD belum ada pasien sih, kita nggak pakai. Terus pas perbantuan di Ruang Mawar Satu, kita mulai pakai APD. Ya, sempat pertama pakai karena harus benar-benar tertutup, sempat merasa sesak juga sih awal-awalnya. Cuma saya berusaha santai, mungkin karena faktor stres juga kan (jadi) takut. Jadi, tarik napas, dibawa santai. Alhamdulillah sih sekarang udah mulai terbiasa.

Biasanya untuk melayani pasien dengan menggunakan APD lengkap itu berapa lama?

Karena di IGD satu ruangan itu kita bikin banyak, berapa bed (tempat tidur) gitu, jadi kurang lebih tiga sampai empat jam kita pakai APD. Itu tidak dilepas, karena berisiko. Kita berada di ruangan yang sama, tiga sampai empat jam pakai APD itu.

Setelah selesai itu, baru ke ruang anteroom (ruang tunggu, ruang antara)? Dan ketika seluruh APD dilepas, itu sudah mandi keringat, gitu ya?

Iya. Terus terkadang pasien juga bilang, "Suster, kedinginan". (Dia) Minta AC-nya dipanasin. Padahal kan kita pakai bajunya baju plastik. Ya udah, basah semuanya. Tapi kita tetap berorintasi kepada pasien, buat (mereka) senyaman mungkin lah. Kalau pasiennya tidak nyaman, kan semakin banyak keluhan juga. Jadi kita bikin pasien nyaman. Kalaupun kitanya tersiksa sih ya, ya udah, yang penting pasiennya nyaman.

Next, di laman berikutnya, Maulia bercerita bagaimana interaksinya sebagai perawat dengan pasien di tengah wabah corona. Termasuk soal apa yang biasa ditanyakan pasien..!

Ketika melayani atau mengobservasi pasien (kasus dugaan corona), apa saja yang biasanya dilakukan, dan komunikasi seperti apa yang dijalin?

Yang pertama sih, kita lakukan pengkajian dulu, apa sih yang dikeluhkan, ada riwayat perjalanan dari mana gitu, ada riwayat kontak. Setelah pengkajian, ya udah, kita lakukan pemeriksaan tanda-tanda vitalnya, tensinya, semuanya kita periksa. Setelah itu, kalau kita mau melakukan tindakan, kita jelaskan dulu (bahwa) kita akan melakukan ini, mau ambil darah untuk lab, hasilnya berapa lama. Kan kalau untuk lab itu agak lama pemeriksaannya, bisa dua jam. Jadi terkadang pasien suka jenuh kan, "Kok nggak ada hasil?" Gitu. Jadi dari awal, biar pasiennya nggak jenuh dan tenang juga, udah kita jelasin. Jadi nanti jam segini hasilnya, jadi pasien lebih tenang.

Apa yang paling sering ditanyakan pasien?

Ya, itu, (soal) hasilnya (pemeriksaan) kapan. Terus, "Gimana ya nanti ke depannya, saya akan seperti apa suster? Nanti perawatan di dalam seperti apa?" Gitu. Paling nanti kita jelaskan.

Apakah pasien sering mengeluhkan soal kondisi psikis mereka? Seperti Pasien 01 dan 02 yang mengaku sempat depresi, lantaran identitasnya sempat dibuka ke publik oleh media?

Banyak. Dari awal pasien datang juga udah (sering mengeluh). Padahal dia cuma gejala demam, sesaknya enggak. Dia datang, "Suster, saya sesak, saya sesak". Ya udah, kita tenangkan dulu. Saya periksa ya. Nanti kalau pemeriksaannya bagus, kita arahkan ke posko screening. Jadi nggak semua masuk IGD kan, karena kita (untuk) pasien-pasien yang kritisnya lumayan.

Soal APD, itu kan sekali pakai buang ya? Terus, sehari Anda bisa berapa kali ganti APD?

Kalau APD, karena nanti stoknya semakin menipis kan, jadi kita udah diatur. Jadi yang dinas pagi dan operan malam itu siapa, sampai jam berapa. Udah, nanti dia keluar, gantian dia pakai APD minimalis untuk pasien yang datang dengan keluhan yang ringan. Jadi yang di dalam aja yang full. Itu nanti kita udah jadwal tuh, siapa aja. Jadi biar nggak terlalu banyak juga pemakaian, ya udah, kita jadwal. Nanti pas di luar, kita sehabis mandi habis ganti semua, baru kita nangani pasien yang di luar dengan APD yang minimal. Tapi kita tetap pakai N95, cuma pakai barak scort (pakaian perawat) doang yang biasa.

Pertama kali ditugaskan merawat pasien Covid-19, itu kapan? Arahan atasan sendiri seperti apa?

Awal-awal yang merebak mulai banyak itu, kurang lebih Februari. Jadi kita ada Karo dan Katim, terus dijelaskan kondisinya seperti ini, gitu. Karena kebetulan kita ini kan rumah sakit infeksi, jadi kita sudah terbiasa lah sakit-sakit yang kaya MERS-Cov. Jadi diingatkan sama atasan, ya udah, kita terima aja. Awalnya ya, sempat takut-takut. Cuma kan sebelum kita pakai APD, masuk ke ruangan juga kan ada IPCN. Jadi dia memastikan, kita benar nggak nih pakai APD-nya. Jadi sama dia, kita dibantu makai masker, (sudah) bener nggak. Jadi sebelum masuk dipastikan dulu, kita benar atau belum memakai APD. Kalau benar, baru boleh masuk.

Jadi IPCN juga memantau. Insyaallah aman sih. Salah satu keuntungan kerja di rumah sakit infeksi, ya, seperti itulah, dibandingkan di rumah sakit lain. Itu sisi positifnya.

Pernah menangani pasien dalam kondisi kritis?

Ya, kalau yang agak-agak kritis gitu sih, lumayan ya. Jadi (biasanya) segera kita koordinasikan. Kasihan sih kalau kondisinya tuh jelek, jadi kita biar dapat penanganan cepat. Ya, jadi gerakan kita juga mesti cepat. Walaupun kita pakai pakaian APD, sepatu boot, kan jalannya lumayan susah ya. tapi karena pasiennya kritis, ya kita mesti sigap menangani pasiennya biar tertolong.

Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta Utara, menjaga ketat ruang pasien yang berstatus suspect virus corona, Jumat (24/1/2020). [Suara.com/Fakhri Fuadi Muflih]
Suasana di Rumah Sakit Penyakit Infeksi atau RSPI Sulianti Saroso, Jakarta Utara, di masa-masa awal adanya pasien suspect virus corona, 24 Januari 2020 lalu. [Suara.com/Fakhri Fuadi Muflih]

Anda kerjanya shifting (mengikuti pembagian shift kerja)?

Iya, dibagi tiga. Kebetulan saya Katim (Kepala Tim), jadi (masuk) pagi terus. Dari setengah 8 sampai jam 4 sore. Kalau yang shift setengah 8 sampai setengah 3, setengah 3 sampai jam setengah 9, terus setengah 9 sampai jam setengah 8 pagi.

Semenjak menangani pasien Covid-19, volume pekerjaan Anda tentu semakin bertambah. Bisa diceritakan seperti apa?

Ya, karena satu, kita menghadapi pasien yang tidak biasa, yang rata-rata dalam keadaan sesak. Kedua, panik juga. Terus, kita pakai APD yang sepatu boot-nya berat dan (model) baju astronaut, ya, lumayan capek. Jadi pergerakannya juga lumayan kan.

Tadi Anda sempat menyebut, ada pasien yang sampai "parno" nggak mau disentuh. Bisa diceritakan?

Iya, sangat. Jadi dia itu mungkin karena dasarnya, karakter dia takut, terus sakit gini kan, semakin jadi stres kan. Jadi dipegang sedikit aja, dia, "Aduh suster, mau diapain? Mau diapain?" Jadi kita ajak bercanda aja. "Udah bu, santai aja" Gitu. Dia udah ketakutan pas mau diambil darah. Pas udah diambil darah, dia bilang, "Udah?" Saya bilang, "Sudah. Apa mau diambil lagi?" "Jangan, jangan suster!" Hehe, gitu lah, kita ajak bercanda biar nggak stres. Itu sih trik kita.

Anda sudah berkeluarga, dan apakah memiliki anak?

Sudah, anak satu, perempuan kelas 5 SD.

Reaksi dari anak Anda bagaimana, mengetahui bahwa ibunya merawat pasien Covid-19?

Hm, dia sempat kan kemarin sekolahnya diliburkan. Dia terus ngeh, dan bilang, "Umi kerjanya di rumah sakit itu ya (RSPI)? Aku nggak mau dekat-dekat Umi ah, takut ketularan." Gitu kata dia.

Sampai sebegitunya?

Iya. Karena kan dari gurunya dijelaskan begini-begini, karena ada wabah ini makanya diliburkan. Jadi dia, "Ih, Umi ya. Udah, aku nggak mau dekat Umi, nanti ketularan Umi." Gitu. Kebetulan teman-teman saya juga gitu. Dia sampai rumah jaga jarak lah sama anak kecil, (karena) rentan gitu. Jadi ya, begitulah.

Cuma kalau dari keluarga, dari suami, dari orangtua juga, alhamdulillah sih ngedukung.

Bagaimana cara Anda meyakinkan anak supaya tidak terlalu khawatir?

Ya, paling kan, sekarang ini banyak ya di media sosial, kayak petugas (itu) lagi pakai baju astronaut. Saya jelaskan, "Umi kalau kerja itu pakai baju seperti ini, (terus) sebelum pulang Umi mandi dulu, cuci tangan. Jadi nggak usah khawatir. Ya, insyaallah kita sama-sama berdoalah, supaya tetap sehat." Gitu aja sih ngejelasinnya ke anak.

Lebih jauh, perawat pasien corona di RSPI ini mengungkap kepasrahan dirinya dan sang suami, andai dirinya tertular... dan bagaimana dengan rekannya sesama perawat? Baca laman berikut!

Tapi, apakah ada rasa khawatir Anda menularkan ke keluarga? Apalagi sebagai garda terdepan, petugas medis ini kan paling rentan tertular?

Ada, sempat ada seperti itu. Saya bilang ke suami saya, "Abi, kalau aku jadi PDP gimana? Status aku ini kan ODP." Terus kata suami saya, "Ya udahlah, lillahi ta'ala aja." Gitu.

Kan banyak teman-teman lain malah juga ada yang pengennya stay dulu di RS, nggak usah pulang. Ada yang sampai berpikiran seperti itu.

Kebetulan kalau saya kan, rumahnya dekat-dekat sini, jadi nggak terlalu khawatir. Cuma kan teman-teman yang rumahnya jauh, (harus) naik mobil, naik kereta, nah itu masih khawatir lah, takutnya nanti di kereta. Di rumah sakit kita aman karena pakai APD lengkap, tapi kan di tempat itu (umum) kita nggak tahu ya, kita bisa tertular juga.

Apa yang diterapkan di keluarga Anda untuk mengantisipasi penularan Covid-19?

Ya, seperti itu tadi. Saya juga langsung mandi, baju yang kita pakai di rumah sakit diusahakan langsung ganti. Ya, untuk saat ini nggak nyium-nyium anak dulu. Itu sih sedihnya. Takut juga sih. Tapinya, bismillah sih, (saya) tetap pulang.

Sampai teman saya ada yang bilang, "Udah, saya mau nginep aja di rumah sakit, daripada nanti ada yang ketularan jadinya. Karena saya kerja di rumah sakit ini, saya (jadi) tersangka yang menginfeksi mereka gitu." Sampai mereka berpikirnya seperti itu, (bahwa mereka) lebih baik di rumah sakit saja.

Benarkah sampai ada yang seperti itu?

Ya, karena ya, stigmanya seperti itu ya (soal tenaga medis dan penularan).

Umumnya seperti apa curhatan sesama petugas medis, khususnya perawat?

Ya, itu. Awalnya katanya dia yang menjauh. Tapi ke sini-sini, kok dia yang merasa dijauhin. Ya, keluarganya jadi menjaga jarak lah, karena takut juga kan. Karena merawat pasien, semakin ke sini semakin banyak, ya, keluarganya mereka juga katanya (jadi) menjaga jarak.

Terlebih karena sampai ada beberapa petugas medis yang kemudian berguguran (wafat) ya?

Iya. Sampai ada yang suaminya bilang, "Udahlah, izin aja, cuti aja." Cuma kan, lagi kondisi begini nggak bisa cuti. Ya, jadi kita jelaskanlah ke keluarga. Banyak sih yang jelasin ke suaminya (bahwa) kita tuh aman, ada IPCN, APD-nya insyaallah lebih lengkap, gitu. Jadinya rasa khawatir itu lama-lama hilang juga.

Deretan karangan bunga dukungan untuk para perawat dan tenaga medis di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, di tengah wabah corona. [Suara.com / Muhammad Yasir]
Deretan karangan bunga dukungan untuk para perawat dan tenaga medis di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, di tengah wabah corona. [Suara.com / Muhammad Yasir]

Lalu, apa pesan yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat, khususnya untuk sama-sama berjuang melawan wabah ini?

Alhamdulillah ya, kalau sekarang ini kan ada media sosial kayak Facebook gitu. Setiap hari, alhamdulillah teman-teman berkampanye, kayak di status Whatsapp kita, (di) Facebook, kalau keadaannya seperti ini lho. Jadi, ikutilah anjuran pemerintah untuk berdiam diri di rumah.

Saya tahu masyarakat bosan di rumah. Kayak anak sekolah, selama hampir seminggu lebih ini di rumah pasti merasa bosan. Tapi alangkah lebih baiknya untuk berdiam diri di rumah, gitu. Karena wabah ini cepat sekali menular. Jadi untuk kepentingan semuanya, bukan hanya untuk kami petugas kesehatan, tapi untuk semua, keluarganya, teman-temannya. Jadi kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Kita semua punya peranan penting. Kayak saya perawat, saya merawat pasiennya. Nah, masyarakat perannya itu (adalah) stay di rumah. Itu peran penting juga. Jadi, saya berharap sih, ke depannya (masyarakat) betul-betul mengikuti. Kalau diperpanjang pun (masa berdiam di rumah), ya, tetap bersabar. Karena setiap kebijakan (meski) ada sisi negatifnya, tapi demi kebaikan kan.

Terkadang kita melihat sesuatu yang baru itu pasti, "Kenapa seperti ini?" Dan (lalu) berpikirnya negatif. Padahal di balik itu, ada sisi positif yang lebih besar, demi kepentingan dan kebaikan semuanya.

Kondisi teman-teman Anda perawat di RSPI sendiri, saat ini bagaimana? Benarkah banyak yang sampai kelelahan?

Kebetulan sih, kayaknya yang habis shift malam biasanya yang suka langsung ngedrop. Karena kan yang masuk sesi malam itu dia habis menangani pasien harus mandi. Misalkan jam 12 malam, ya, mereka harus mandi jam 12 malam juga. Mungkin itu yang bikin mereka drop. Udah mereka capek nangani pasien gitu, stres juga. Beberapa teman juga udah ada yang izin sakit begitu.

Anda sendiri pernah pengalaman sampai kondisi drop?

Alhamdulillah sih enggak. Cuma paling capek-capek aja sih. Kita juga kan dapat suplemen. Paling kita minum suplemen itu aja. Terus kita juga ada grup. Misalkan ada yang sakit, ya, kita saling mendoakan dan kasih semangat sama-sama. Jadi saling menguatkan lah ya.

Pernah dengar ada curhatan perawat yang sampai menyerah atau gimana, gitu?

Nggak sih. Ya paling, misalkan dia datang, pasien di dalam udah banyak, terus pasien terus mengalir gitu. Jadi kita (kayak), "Aduh, pengen belah diri aja" Gitu. Supaya yang dalam bisa kita tangani, yang luar juga begitu. Pas lagi pasien datang nggak berhenti-henti. Belum lagi keluarga pasien yang emosi karena pengen cepat-cepat dilayani, panik juga. Kalau kita nggak pintar-pintar, (bisa) ikut tersulut emosi juga.

Udah kita jelasin berkali-kali, tetap aja nggak ngerti dan maunya serba cepat. Paling nanti kalau kita sudah emosi, kita panggil teman yang lain yang belum ngadepin. Setidaknya dia lebih tenang. Kita cari orang yang pinter ngademin lah, gitu.

Bagaimana dengan pandangan suami Anda, dengan kondisi saat ini?

Suami saya, alhamdulillah bekas perawat juga, jadi mengerti lah dengan kondisi saat ini. Kadang saya ngeluh juga, "Aduh, capek Abi". Udahlah, semangat, kita kan bantu orang. Begitu (katanya). Ya, semangatnya itu (bangkit) lagi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI