Suara.com - Seiring penyebaran infeksi virus corona atau Covid-19 yang terus meluas di Indonesia di mana jumlah kasus terkonfirmasi makin tinggi, soal obat yang bisa mengatasi pandemi ini pun kembali mencuat. Salah satu yang membuat heboh adalah ketika baru-baru ini pemerintahan Presiden Joko Widodo disebut siap mengimpor sejumlah besar obat yang mengandung klorokuin fosfat dan dianggap bisa menjadi obat anti Covid-19.
Namun sementara itu, yang juga belum lama ini sempat direkomendasikan sebenarnya adalah obat dari tanaman kina, yang selama ini identik atau lebih dikenal sebagai obat malaria. Salah satu yang sempat menyuarakan itu adalah Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, di mana di baliknya antara lain ada rekomendasi kuat dari Profesor Keri Lestari, guru besar yang juga Dekan Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran (Unpad).
Terkait hal itu, beberapa hari lalu Suara.com pun berkesempatan melakukan wawancara dengan Prof Keri Lestari, terutama demi mengulik kenapa muncul rekomendasi kina sebagai obat, termasuk soal kandungan dan cara kerjanya. Berikut petikannya:
Prof, bisa dijelaskan terkait tanaman kina yang katanya mampu memblokade virus corona jenis baru Covid-19 ini?
Baca Juga: Meski WHO Tidak Yakin, AS Resmi Jadikan Klorokuin untuk Pengobatan Covid-19
Jadi begini, awalnya kan terjadi pandemik dari Covid-19. Nah, menangani kondisi pandemik yang sangat darurat dan tiba-tiba ini tentu tidak bisa kita. Memang idealnya kita mencari obat baru dengan cara riset, mulai dari in vitro, in vivo, uji praklinik, uji klinik. Tetapi dalam kondisi darurat itu tidak realistis. Penemuan obat baru itu memerlukan waktu tahunan, sampai dekade, barulah jadi itu obatnya.
Sehingga, dalam farmakologi dikenal dengan metode reverse pharmacology, yaitu untuk senyawa-senyawa atau obat-obatan yang sudah ada, digunakan dengan konsep obat yang sudah ada, (yang) itu sudah jelas aktivitas dan khasiatnya. Jadi dalam rangka mencari obat untuk pasien dalam kondisi pandemik ini, utama berpijaknya adalah berpegang pada mutu obat dan berpegang pada patient safety atau keselamatan pasien.
Sehingga karena kita juga berkejaran dengan waktu, maka kita mencari obat baru juga agak sulit kalau dari nol. Sehingga kita melihat, obat-obat mana yang punya potensi untuk diberikan terapi terhadap pasien dari Covid-19 tersebut. Sehingga berdasarkan evidence base medicine dan critical appraisal yang kita lakukan, maka berdasarkan hasil uji klinis yang juga dilakukan oleh farmakologi di China dan juga di USA itu, mereka menyarankan menggunakan beberapa senyawa obat. Ada senyawa obat HIV, ada senyawa obat untuk Ebola, ada senyawa obat untuk Hepatitis C. Kenapa menggunakan senyawa obat tersebut? Karena virus-virus itu mempunyai klasifikasi genetik yang sama dengan coronavirus tersebut, yaitu virusnya MRNA. Sehingga pola pikirnya mungkin mempunyai cara yang sama.
Nah, ternyata setelah dicobakan, memang mempunyai hasil yang lumayan baik. Namun di China disampaikan bahwa coronavirus ini dengan menggunakan klorokuin fosfat itu mempunyai waktu penyembuhan lebih cepat. Nah, akhirnya klorokuin fosfat ini juga, salah satu juga ditemukan oleh mereka yang menguji klinik di Amerika. Jadi dua center ini mempunyai dua irisan yang sama, yaitu klorokuin fosfat. Sehingga pilihan di Indonesia yang memang baru terkena, ya, kita mengikuti center tersebut, (karena) mereka sudah langsung uji klinik. Hasil uji klinik merekalah yang menjadi evidence base kita untuk memilih obat di Indonesia.
Sebetulnya klorokuin fosfat di Indonesia ada, tetapi klorokuin di Indonesia itu adalah sintetis dan bahan bakunya juga impor. Selama ini impornya dari China dan India. Nah, dalam kondisi seperti ini, mereka juga lagi ngurusin negaranya dulu dong. Sehingga kita melihat klorokuin fosfat ini mempunyai base structure yang mirip dengan kuinin sulfat. Dan pada kenyataannya, kuinin sulfat ini juga sama, mempunyai mekanisme kerja yang sama pada anti malaria.
Baca Juga: Jokowi: Sudah Ada Obat untuk Corona, Akan Dibagikan dari Rumah ke Rumah
Maka dengan demikian, kalau klorokuin fosfat itu mempunyai aktivitas yang bagus untuk penanganan coronavirus di China, sesuai dengan apa yang dilakukan oleh peneliti dari sana, maka dapat diambil satu kesetaraan bahwa adanya kesamaan mekanisme kerja di malaria kemungkinan mempunyai potensi kesamaan juga untuk kerja di penanganan Covid-19 ini. Kemudian hal itu bukan tanpa dasar. Karena tahun 1940 juga, pada saat klorokuin fosfat ini mengalami resistensi, diganti dengan kuinin, dan (itu) mempunyai aktivitas yang baik. Kurang lebih seperti itu. Jadi ini bisa menjadi alternatif, (bisa) dikatakan begitu.