Suara.com - Pengajuan Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja (Ciptaker) ---yang dikenal juga dengan Omnibus Law-- dari pemerintah ke DPR untuk dibahas, menuai banyak reaksi. Tidak saja komentar dari banyak pihak di berbagai media maupun jejaring sosial, tapi sejumlah aksi massa pun telah dilakukan demi menentang, menolak, atau setidaknya mempersoakan RUU yang juga banyak disingkat dengan istilah RUU Cilaka tersebut.
Kalangan buruh dan pekerja diketahui yang terutama aktif menggelar demonstrasi atau unjuk rasa menentang RUU tersebut. Ini karena memang di dalam draf RUU itu disebut ada banyak poin yang berhubungan langsung dengan nasib para buruh, yang bahkan dikatakan mengubah sejumlah aturan yang sebelumnya sudah berlaku di UU Ketenagakerjaan --termasuk yang menyangkut status maupun kesejahteraan para pekerja.
Sebagaimana diberitakan, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) adalah salah satu organisasi yang lantang menyuarakan penolakan para buruh tersebut. Apa latar belakangnya, dan bagaimana pemikiran mereka? Lantas, bagaimana rencana mereka ke depan? Berikut petikan wawancara Suara.com dengan Dedi Hardianto, Sekjen KSBSI, baru-baru ini:
Bagaimana KSBSI melihat Omnibus Law?
Baca Juga: Soal Omnibus Law, Rocky Gerung Tuduh Nawacita Jokowi Hina Pemikiran Sukarno
Kami melihatnya dari tiga aspek. Yang pertama, aspek yuridisnya, ini sudah bermasalah. Karena itu yang paling penting dalam membuat undang-undang; rumah besarnya sudah bermasalah. Kalau ini terus dilanjutkan, ke bawahnya akan jadi masalah. Kedua, aspek filosofisnya. Negara menjamin rakyat untuk mendapatkan kesejahteraan. Dalam hal apa? Ada pekerjaan layak, upah layak, dan kehidupan layak. Ketiga, dari kaedah hukumnya. Ketika UU dibuat, kaedah hukumnya UU harus lebih baik, bukan lebih buruk.
Pemerintah menyebut sudah melibatkan serikat buruh dalam membahas Omnibus Law ini. Apa benar begitu? Bagaimana sikap KSBSI?
Kemudian berkaitan dengan proses, pemerintah menyebut sudah mengajak serikat buruh untuk membahas "RUU Cilaka" ini. Tapi kami melihatnya ini adalah "(RUU) petaka" buat kaum buruh. Pemerintah berlomba-lomba mengatakan serikat buruh sudah dilibatkan. Itu adalah pembohongan publik. Kita tidak pernah diajak membahas "RUU Cilaka" itu. Yang ada cuma kita diajak pertemuan, dan dikasih drafnya dari pemerintah untuk sosialisasi.
Memang, kami melihat RUU itu lebih (pada) domainnya pemerintah dengan pelaku bisnis. Enam klaster lebih kepada bagaimana negara memungut pajak, bagaimana negara mensubsidi untuk peningkatan pajak. Kami lebih bicara Omnibus Law dalam (hal) cipta lapangan kerja. Kami minta urusan mengenai ketenagakerjaan dikeluarkan dari draf cipta lapangan kerja (ini). Bahwa ada irisan-irisan dengan sektor lain, itu belakangan.
Dalam proses tadi, untuk mendapatkan dokumennya saja susah. Padahal dalam pembuatan UU itu harus ada transparansi. Lalu ketika tekanan buruh semakin masif, lalu pemerintah membuat keputusan 121 (terkait) keterlibatan serikat pekerja. Sebenarnya bukan kita mendesain untuk terlibat. Jadi pemerintah mengundang serikat pekerja/serikat buruh, dan undangan itu diklaim. Setelah klaim itu dikeluarkan, kami langsung (menggelar) konferensi pers menolak itu.
Baca Juga: Putra Wiji Thukul, Fajar Merah: Penuntasan Kasus HAM Mengecewakan
Ada empat persoalan mendasar yang kami perjuangkan, terutama soal outsourcing. Sejak dulu kami selalu menyuarakan bahwa outsourcing, buruh kontrak, upah murah, itu harus dihapuskan. Karena banyak masalah dalam kelangsungannya. Kemudian upahnya boleh di bawah upah normatif. Ini yang terjadi. Lalu kedua, terkait PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Lalu outsourcing itu diperluas. Sementara ini hanya 5 sektornya: (antara lain) sekuriti, OB, driver, catering di pertambangan. Ini yang membuat kami melakukan penolakan.