Suara.com - Sosok bernama Ki Puguh Prasetyo bukanlah seniman biasa. Tepatnya, Ki Puguh yang berusia 48 tahun adalah seorang seniman dalang wayang Jawa Timuran. Terlahir di Jember pada 3 Juli 1971, ia sebenarnya memiliki latar belakang dari keluarga yang bukan seniman. Tapi setelah menjalani pendidikan yang di jalur seni dan karena memang memiliki bakat, dia akhirnya mantap menjadi dalang.
Yang menarik, Ki Puguh punya sajian yang beda dengan biasanya dalam pementasan wayangnya. Sajian itu adalah dengan melibatkan figur tokoh-tokoh kartun atau animasi yang populer di kalangan anak-anak, dalam berbagai cerita yang ia pentaskan. Kenapa ia melakukan itu, dan bagaimana penerimaan anak-anak, juga generasi muda, terhadap pementasan wayangnya sejauh ini?
Mencoba mengenal lebih jauh sosoknya, sekaligus misi yang coba ia usung, berikut petikan wawancara Suara.com dengan Ki Puguh, belum lama ini di sanggarnya:
Baca Juga: Mengintip Pembuatan Wayang dari Daun Singkong
Baik. Mungkin bisa disampaikan di sini dulu, nama lengkap, dan apa tepatnya profesi Anda?
Nama saya Puguh Prasetyo. Profesi saya sebagai seniman dalang wayang Jawa Timuran.
Sudah berapa lama Anda menjadi dalang, dan bagaimana cerita awal mulanya?
Saya menjadi dalang belajarnya formil tahun 1987, masuk sekolah SMKI di Surabaya. Setelah lulus pada tahun 1991, saya menyantrik pada dalang-dalang senior. Jadi selain formil, saya juga belajar nyantrik, belajar secara tradisi. Dan saya mendalang (mulai) sekitar tahun 1996, itu sudah mandiri, dan dikaruniai laris di tahun 2004. Sudah mulai laris sampai sekarang.
Awal menjadi dalang karena sekolah formil itu, dulu waktu ada acara-acara tertentu mendatangkan siswa SMKI itu. Saya juga sering di Sidoarjo, Surabaya sendiri, sama kepala sekolah saya Bapak Suparli yang sudah almarhum. Kalau di masyarakat, juga pernah itu saya dengan Ki Surwedi mewakili waktu acara wayangan di rumah ibadat Tionghoa di Kelenteng Darmo kali sana. Itu sekitar tahun 1990-an, itu saya masih usia kelas 12 SLTA. Itu masih sekolah sambil ndalang. Karena sekolah saya pendalangan, jadi ya, otomatis. Jadi saya belajar mendalang di SMK itu lancar.
Baca Juga: Ki Putut Agusseno, Dalang Inovatif yang Bawa Wayang Hingga ke Korea Selatan
Sejauh ini sudah pentas di mana saja?
Saya kalau jadwal tanggapan itu hampir di seluruh wilayah area sini ya, di Surabaya, Gresik, Lamongan, Mojokerto dan juga Sidoarjo. Yang paling jauh diundang dalam festival wayang Indonesia di Jakarta, di Kota Tua Jakarta. Di Taman Mini, Insya Allah sudah 4 kali di sana. Kalau kota lain di Solo, di kampus ISI Solo, juga meramaikan ulang tahun Pak Mantep Sudarsono.
Terus, awal mula bikin figur kartun dalam wayang Anda, kenapa? Sejak kapan itu?
Karena tokoh-tokoh seperti Dora, Doraemon, dan Spongebob seperti ini adalah tokoh populer, saya kira (akan) mudah diapresiasi anak-anak. Ini khusus wayang untuk anak seusia SD-SMP, bahkan TK. Saya pinjam figur wayang animasi kartun seperti ini untuk pendekatan. Nanti tentang bahasa atau dialognya, nanti kita tata kembali. Mungkin kalau apresiasi anaknya agak kental bahasa Jawanya, ya bisa mendominasi kalau di daerah-daerah. (Kalau di) Kota pakai Bahasa Indonesia, kita juga sedikit senggol (Bahasa) Inggris, walaupun hanya sebagai pengantar komunikasi aja.
Itu dapat inspirasi dari mana?
Itu dulu saya pernah dimintai acara Hari Ulang Tahun Gresik, di acara music Inbox. Saya juga berdialog sama tim kreatif acaranya itu. Akhirnya saya memilih atas prakarsa teman teman-tadi, apa yang didialogkan dulu, saya meminjam popularitasnya. (Ini supaya) Mudah dicerna, minimal anak-anak (mau) kumpul dulu, baru diberi materinya, dikasih guyonan ala anak.
Kita mencari standar suara harus cenderung lucu, memancing anak-anak untuk mengapresiasi. Mungkin Doraemon pakai suara-suara yang nyele (tak umum) atau khusus. Kita pakai suara yang khusus seperti ini untuk menarik perhatian, untuk anak-anak. Tak lupa juga diselipkan guyonan untuk anak juga.
Lalu, apa kira-kira tantangan memainkan figur kartun begini?
Tantangannya kan terbatas juga untuk komedian saja. Ketika kita menceritakan hal yang serius, yang diperuntukkan anak-anak milenial, itu beda lagi. Mungkin wayang-wayang ini hanya untuk anak-anak saja.
Misalkan kita ingin memberikan pesan untuk antinarkoba dan sejenisnya, itu harus kita pilah. Nanti mungkin kalau di anak-anak seusia SMA, bisa misalkan mengangkat antinarkoba, yang ditransfer ke bahasa wayang itu bubuk kolomunyeng. Bubuk itu tepung atau gelepung, kolomunyeng itu yang bisa bikin pusing tujuh keliling dan lupa segalanya. Yang pasti, wayang itu sesuai dengan khitoh-nya. Kita mengajak dan berkontribusi membentuk budi pekerti yang luhur, dan juga membentuk akhlakul karimah yang utama.
Sejauh ini, bagaimana Anda melihat ketertarikan wayang di kalangan milenial?
Kalau sekarang sebenarnya ini sebuah tantangan yang berat. Tarik-menarik, ketika kita harus berkreasi baru dengan bahasa yang mudah dicerna oleh audiens, tapi sastranya cenderung mundur. Tapi kalau kita idealis dengan sastra-sastra tinggi, kadang-kadang penikmatnya susah.
Makanya ini pergeseran, dan saya juga sadar harus memakai standar bahasa lagi. Pelan-pelan kita tata kembali, dan (tergantung) diperuntukkan untuk siapa. Mungkin kalau anak seni berlatar belakang SMKI, ISI, Unesa, masih bisa mengapresiasi. Tapi kalau dari sekolah umum, kita memakai bahasa yang formal. Yang komunikatif saja, yang mudah dipahami.
Pernah ada pengalaman ditolak ketika menawarkan wayang ke kalangan milenial?
Ya, pernah saja. Pernah juga (ada yang komentar) "Nggak mau pak, ngantuk dengar wayang". Campursarinya saja dia dengar lagu-lagunya saja. Ada juga yang minta, tapi nggak lama, cuma 3 jam saja. Itu di Lamongan. Anak Karang Taruna, anak muda di sana itu ya, ndak kuat harus melek semalaman. Cukup dengan maksimal jam 2 harus selesai, (pentas selama) 3-4 jam lah.
Dalang sendiri saat ini merupakan profesi yang langka. Tapi apakah dengan profesi ini Anda bisa mencukupi kebutuhan keluarga?
Subur atau tidaknya suatu kesenian itu tergantung apresiasi masyarakat. Dan kebutuhan masyarakat, Insya Allah wayang cekdong di wilayah Gresik dan sekitarnya masih diminati masyarakat. Masyarakat penanggap, pengguna juga mereka untuk acara hiburan ini sebagian masih percaya. Untuk ritual sedekah bumu, ruwatan, selamatan menanam padi. Saya kira kalau masyarakat masih menggunakan wayang seperti itu, masih bisa lestari.
Kalau boleh tahu, Anda setiap kali pentas berapa penghasilannya, dan itu berapa lama durasinya?
Relatif. Biasanya kalau jauh itu, selisih transportasi. Kalau Gresik, Lamongan, ya 20 juta sama campursari. Yang pasti kalau Jawa Timuran 5 jam kan. Kalau Jawa Timuran (acaranya) sore, ada Tari Remong. Itu setelah Remong dulu, jam 10 mulai, jadi jam 11 main terus, usai jam 4 subuh selesai.
Apakah saat ini memiliki rencana untuk menambah lagi karakter atau figur kartun dalam wayang yang Anda pentaskan?
Sementara masih mengenalkan tiga sisi lain untuk banyol-banyolan komedi dan kritik sosial dengan menampilkan wayang-wayang ini. Ini bisa ditafsirkan (seperti) kupu-kupu malam, pelayan warung remang-remang. Ini antikritik sosial. Nanti ada juga bikin pakai tim pengaman, mungkin ada banyolan semacam ini: "Sarung yo, sarung mas, beli sarung yo, beli sarung. Tapi ojo sing larang-larang. Marung yo, marung mas, tapi ojo marung sing remang-remang." Jadi mengingatkan juga, kita turut membantu mengingatkan bahwa semacam itu ndak boleh.
Bagaimana biasanya Anda saat membawakan wayang figur kartun ke anak-anak?
Ini khusus dalam adegan goro-goro, masih belum. Sebenarnya ada wayang kancil khusus hewan, itu ada di Solo sana. Kalau kehadiran kartun seperti ini, hanya khusus saya gunakan untuk memberikan pesan-pesan tertentu kepada anak. Di sisipan acara goro-goro, ikut nembang dan sebagai bintang tamu. Kenalan dengan Semar Bagong, kalau di Jawa Timuran kenalan dengan Besut. Ini untuk memancing anak-anak (bahwa) ternyata Dora keluar dari situ. Ini anak-anak kan, kalau sudah senang, yang penting itu dulu. Jadi ini bisa dikenalkan yang lain.
Jadi begini. Bahwa kita dengan memunculkan boneka yang lucu, (itu) dia sudah tertarik, otomatis gitu. Kita suguhkan sesuai dengan selera dia. Dengan memunculkan begini, mungkin (dengan) suara khusus, mereka akan ikut ngumpul.
Anda sendiri, selain jadi dalang, apa kesibukan lainnya saat ini?
Saya juga sebagai pemusik tradisi pengrawit. Saya pemain gamelan, melatih anak-anak dan dititipi penyerapan sitem ganda atau prakerin jurusan SMK di Surabaya. Di sini (sanggar) tempat anak magang dan anak SD (berlatih) karawitan.
Untuk wayang masih proses, kalau karawitan sudah jalan. Kalau berdirinya, sudah lama. Kalau (soal) terdaftar, saya cari izin keabsahan notaris itu tiga tahun sebagai sanggar resmi. Kalau melatih, ya sudah lama, (mulai) tahun 2000-an. Yang SD ada, terus remaja SMA, diajari campursari karawitan klasikan. Murni sajian karawitan, ndak campur kibor dan gitar, termasuk dalang juga, gamelan pentatonis.
Terus, pesan apa yang ingin Anda sampaikan kepada anak-anak muda penerus budaya?
Pesan saya kepada para generasi muda, semoga tetap mencintai budaya kita. (Termasuk) Tradisi budaya wayang kulit dan karawitan, apalagi karena wayang kulit merupakan media untuk membentuk budi pekerti yang luhur dan membentuk akhlakul karimah.
Kontributor : Arry Saputra