Saya kalau jadwal tanggapan itu hampir di seluruh wilayah area sini ya, di Surabaya, Gresik, Lamongan, Mojokerto dan juga Sidoarjo. Yang paling jauh diundang dalam festival wayang Indonesia di Jakarta, di Kota Tua Jakarta. Di Taman Mini, Insya Allah sudah 4 kali di sana. Kalau kota lain di Solo, di kampus ISI Solo, juga meramaikan ulang tahun Pak Mantep Sudarsono.
Terus, awal mula bikin figur kartun dalam wayang Anda, kenapa? Sejak kapan itu?
Karena tokoh-tokoh seperti Dora, Doraemon, dan Spongebob seperti ini adalah tokoh populer, saya kira (akan) mudah diapresiasi anak-anak. Ini khusus wayang untuk anak seusia SD-SMP, bahkan TK. Saya pinjam figur wayang animasi kartun seperti ini untuk pendekatan. Nanti tentang bahasa atau dialognya, nanti kita tata kembali. Mungkin kalau apresiasi anaknya agak kental bahasa Jawanya, ya bisa mendominasi kalau di daerah-daerah. (Kalau di) Kota pakai Bahasa Indonesia, kita juga sedikit senggol (Bahasa) Inggris, walaupun hanya sebagai pengantar komunikasi aja.
Itu dapat inspirasi dari mana?
Baca Juga: Mengintip Pembuatan Wayang dari Daun Singkong
Itu dulu saya pernah dimintai acara Hari Ulang Tahun Gresik, di acara music Inbox. Saya juga berdialog sama tim kreatif acaranya itu. Akhirnya saya memilih atas prakarsa teman teman-tadi, apa yang didialogkan dulu, saya meminjam popularitasnya. (Ini supaya) Mudah dicerna, minimal anak-anak (mau) kumpul dulu, baru diberi materinya, dikasih guyonan ala anak.
Kita mencari standar suara harus cenderung lucu, memancing anak-anak untuk mengapresiasi. Mungkin Doraemon pakai suara-suara yang nyele (tak umum) atau khusus. Kita pakai suara yang khusus seperti ini untuk menarik perhatian, untuk anak-anak. Tak lupa juga diselipkan guyonan untuk anak juga.
Lalu, apa kira-kira tantangan memainkan figur kartun begini?
Tantangannya kan terbatas juga untuk komedian saja. Ketika kita menceritakan hal yang serius, yang diperuntukkan anak-anak milenial, itu beda lagi. Mungkin wayang-wayang ini hanya untuk anak-anak saja.
Misalkan kita ingin memberikan pesan untuk antinarkoba dan sejenisnya, itu harus kita pilah. Nanti mungkin kalau di anak-anak seusia SMA, bisa misalkan mengangkat antinarkoba, yang ditransfer ke bahasa wayang itu bubuk kolomunyeng. Bubuk itu tepung atau gelepung, kolomunyeng itu yang bisa bikin pusing tujuh keliling dan lupa segalanya. Yang pasti, wayang itu sesuai dengan khitoh-nya. Kita mengajak dan berkontribusi membentuk budi pekerti yang luhur, dan juga membentuk akhlakul karimah yang utama.
Baca Juga: Ki Putut Agusseno, Dalang Inovatif yang Bawa Wayang Hingga ke Korea Selatan
Sejauh ini, bagaimana Anda melihat ketertarikan wayang di kalangan milenial?