Suara.com - Di Indonesia, Wiji Thukul tidak saja dikenal sebagai salah seorang sastrawan sekaligus aktivis. Ayahanda dari musisi muda bernama Fajar Merah itu adalah juga ikon, sekaligus pengingat tentang masih tidak beresnya penuntasan kasus-kasus kekerasan dan penindasan, sekaligus pelanggaran HAM masa lalu, hingga sekarang.
Wiji Thukul yang dilaporkan hilang di sekitar peristiwa Juli 1998 --diduga karena diculik oleh kaki-tangan rezim-- sampai kini masih belum diketahui pasti nasibnya, tak tahu di mana rimbanya. Tokoh kelahiran Surakarta, 26 Agustus 1963 tersebut memang saat itu sudah banyak dikenal sebagai salah satu yang tegas melawan penindasan rezim.
Kini, hampir 22 tahun sejak masa-masa pergerakan reformasi yang telah banyak menelan korban aktivis, mahasiswa dan masyarakat sipil tersebut, nasib penuntasan kasus-kasus penculikan dan penembakan era itu pun masih tidak jelas. Sesuatu yang terasa mengecewakan bagi banyak pihak, terlebih bagi keluarga para tokoh aktivis, seperti Fajar Merah.
Belum lama ini, Suara.com pun sempat berbincang dengan putra Wiji Thukul tersebut. Berikut petikan wawancara dengan anak muda yang memilih menjadi musisi itu:
Baca Juga: Irna Narulita: Saya Yakin Pandeglang Bisa Menarik Perhatian Dunia
Pemerintah melalui Jaksa Agung beberapa waktu lalu, menyatakan kasus Semanggi I dan II tidak termasuk pelanggaran HAM berat masa lalu? Pendapat Anda?
Kacau sih, ya. Kalau itu memang sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelanggaran HAM banyak sekali terjadi di masa lalu, bahkan sampai sekarang. Kalau pemerintah sendiri tidak menganggap tragedi-tragedi itu sebagai pelanggaran HAM, berarti kacau. Itu sesuatu yang ironis, karena seharusnya pemerintah itu dapat menjamin secara utuh keamanan dan kenyamanan rakyat.
Dengan begini, dikhawatirkan banyak warga nanti tidak percaya dengan sila-sila Pancasila. Kalau sudah begitu, menurutku sudah gawat.
Bagaimana Anda melihat kebijakan dan komitmen pemerintahan Jokowi di periode kedua ini mengenai penegakan HAM? Anda optimistis pada pemerintahan sekarang di tengah menguatnya oligarki?
Sejak awal aku pesimis akan ada penanganan, penuntasan kasus-kasus HAM, terutama yang terjadi di masa lalu. Jadi menurutku, ya, sama saja.
Baca Juga: YLBHI Soal 100 Hari Kerja Jokowi-Maruf: Abadikan Impunitas Pelanggar HAM
Jadi mungkin, banyak orang yang merasa bingung, merasa aneh, sama orang-orang yang menggunakan isu HAM menjadi agenda kampanye politiknya. Sebenarnya sejak kampanye awal itu, saya pesimis melihatnya.
Akhirnya timbul kekhawatiran-kekhawatiran yang berdampak pada pemerintahan, bahwa kenyataannya semakin orang tidak percaya tentang apa saja yang mungkin jadi agenda-agenda mereka. Karena ya, salah satunya tadi, banyak mengecewakan.
Apakah semua lagu Anda lirik-liriknya berbicara tentang perjuangan rakyat dan isu-isu HAM?
Nggak semua, memang ada beberapa. Menurutku dunia ini memang banyak sekali jenis masalah dan cabang-cabangnya. Dan itu sebenarnya terjadi di mana-mana. Sebenarnya secara tidak lansung, semua memperjuangkan kemanusiaan dengan caranya masing-masing.
Kalau soal lagu, ada beberapa memang omong kosong saya tulis. Tetapi intinya, musik itu punya peran sendiri untuk memberi spirit terutama terhadap pendengarnya.
Menurutku, itu salah satu solusi yang nyata. Karena bisa saja memang tujuannya sekadar menghibur, tujuannya untuk istirahat. Kadang musik itu media yang tepat untuk saat istirahat. Dia bisa mengisi ulang semangat untuk melakukan apa pun itu yang terkait dengan perjuangan manusia.
Di luar kemanusiaan itu, kenyataannya banyak sekali orang yang mati-matian untuk sesuatu yang besar, namun keluarganya sendiri dia abai. Artinya, banyak sekali orang yang mati-matian untuk yang dituju sesuatu yang besar, namun mengabaikan yang kecil.
Aku sebenarnya memang inspirasinya itu datang dari cerita-cerita kemanusiaan. Pohon kemanusiaan itu buahnya banyak sekali. Terkadang terjadi dalam skala besar, tetapi banyak sekali dalam skala kecil.
Dari lirik-lirik yang Anda bikin tentang kemanusiaan dan HAM, apakah itu dilatari bapak Anda (Wiji Thukul yang hilang diculik)?
Sebetulnya apa yang pengen dibangun dari sebuah lagu itu, menurutku atas kesadaran personal. Misal, berbicara soal kekerasan di masa lalu. Menurutku goal-nya yang paling kecil: kekerasan itu tidak perlu dilakukan.
Bisa jelaskan bagaimana sejarah seni dalam politik Indonesia? Apakah seni itu menjadi alternatif dalam situasi politik?
Iya, menurutku memang seni itu adalah sesuatu yang menarik, bahkan tidak ada seorang pun yang tidak membutuhkan seni. Kemudian seni juga salah satu instrumen belajar juga.
Menurutku, dari dulu kita sama tahu, banyak sekali perjuangan yang dilakukan dan disampaikan lewat seni. Banyak sekali seni dapat mengubah pola pikir penikmat seni, terutama untuk orang-orang yang mungkin di sekitar kita banyak sekali orang yang tidak melek pendidikan (perpendidikan rendah). Seni itu bisa menjadi salah satu media untuk kita belajar sadar soal kemanusiaan. Itu saja.
Musisi kesukaan Anda yang menginspirasi, baik itu di luar maupun di dalam negeri, siapa sih?
Banyak sekali. Kalau di luar negeri itu, Kurt Donald Cobain, John Lennon, Green Day. Tetapi di Indonesia banyak sekali musisi-musisi yang pantas masuk dalam list referensi musik gitu. Jaman kecil, aku itu banyak mendengarkan Slank, Padi, Dewa 19, terus Efek Rumah Kaca, Navicula, Iksan Skuter, dan banyak lagi.
Kembali ke soal penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM di Indonesia, menurut Anda, apakah masih ada harapan?
Harapan itu tetap yang baik-baik. Dan itu seharusnya memang dilakukan oleh pemerintah sebagai yang punya wewenang. Karena cuma kepada mereka (pemerintah) pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat dilakukan. Kita kan cuma bisa mengingatkan, dan harapannya mereka benar-benar memaksimalkan penglihatannya, pendengarannya, perasaannya, karena sudah diberi kekuasaan yang besar.