Suara.com - Belum lama ini, seorang ahli dari Yogyakarta meraih Habibie Award, tepatnya terkait program Eliminate Dengue Project (EDP) yang dijalankan. Dia adalah Prof dr Adi Utarini MPH MSc PhD.
Apa saja yang bisa dijelaskan dari programnya itu, serta kenapa bisa meraih penghargaan dan apa manfaatnya? Berikut petikan wawancara dengannya belum lama ini.
Bagaimana perasaan Anda akhirnya meraih Habibie Award?
Tentu ini jadi penyemangat ya yang pasti. Tapi saya terus terang tidak tahu kok bisa dapat, mestinya ada pertimbangan dan kebermanfaatan.
Tentu ini bukan kerja saya sendiri ada tim juga. Kami pun berterima kasih kepada tim yang terlibat dalam World Mosquito Program (WMP) dan utamanya kepada seluruh masyarakat yang sudah mau berpartisipasi dan mendukung program ini, karena tanpa dukungan masyakarat, program nyamuk berwolbachia ini tidak memiliki arti apa-apa.
Bisa minta tolong jelaskan, apa sih program yang membuat Anda mendapat Habibie Award ini? Secara singkat saja.
Secara singkat, dulu kami menyebutnya Eliminate Dengue Project (EDP). Sekarang kemudian nama itu berubah menjadi WMP. Karena teknologi Wolbachia itu, di laboratorium bisa juga untuk chikungunya, zika dan yellow fever. Dulu kan kami memulai 2011, tapi kemudian ada fase-fasenya.
Fasenya seperti apa?
Dulu 2011-2012 banyak kegiatan, mulai dari feasibility, infrastruktur, capacity building, uji keamanan dan kemampuan kami sampai menghasilkan nyamuk berwolbachia yang karakter genetik dan fisiknya mirip dengan populasi nyamuk lokal di sini.
Kemudian pada 2013 hingga 2015 dilakukan penyebaran nyamuk berwolbachia, diawali dengan empat dusun. Di Sleman bertempat Nogotirto (Gamping) dan Kronggahan (Mlati), sedangkan Bantul bertempat di Jomblangan dan Singosaren (Banguntapan). Karena baru mulai maka skala masih kecil, dusun.
Kami mulai melepaskan nyamuk dewasa di Sleman, kalau yang di Bantul metodenya sudah berkembang, bukan lagi melepaskan nyamuk dewasa. Melainkan menitipkan ember berisi telur nyamuk. Kami beri air, pelet dan embernya ini 'diasuh' oleh masyarakat yang ketempatan ember itu. Tidak semua rumah mendapat ketempatan, ada dalam jarak tertentu.
Dan yang paling penting, kami bisa membuktikan bahwa wolbachia itu kalau sudah dilepaskan dalam waktu tertentu dan distop, dia tetap ada di area itu. Ketika dia secara natural kawin dengan nyamuk setempat kemudian telurnya sudah mengandung wolbachia.
Sekarang sudah lima tahun, kami tahu mereka stabil secara statistik. Jadi di wilayah pelepasan itu, kalau kami tangkap dan kami periksa, pasti sudah ada wolbachianya.
Pada 2016 sampai akhir 2017 merupakan fase ketiga dan kami lakukan di separuh wilayah Kota Yogyakarta (Kricak, Karangwaru, Bener, Tegalrejo, Pakuncen, Wirobrajan, Patangpuluan, Purbayan, Rejowinangun, Prenggan). Setelah itu wolbachianya stabil tinggi dan yang paling tinggi adalah apakah kasus demam berdarahnya turun. Kami masih mengumpulkan data, semoga rencana akhir 2020 kami selesai mengumpulkan data dan menarik kesimpulan dari studi ini. Setelah itu, kami lebih berbicara bagaimana teknologi ini bisa dibawa ke wilayah-wilayah lain yang demam berdarahnya tinggi.
Pernah ingat seperti apa penolakan masyarakat terhadap program ini, dulu?
Itu pembelajaran penting bagi kami. Dulu waktu di Sleman, kami teknologinya adalah melepas nyamuk dewasa. Kami yakin ada kekurangan dari kami juga dalam meyakinkan, menjelaskan kepada masyarakat. Saat itu kami juga diminta komisi etik untuk minta persetujuan masyarakat itu satu per satu individu [bukan per Kepala Keluarga]. Itu bukan model yang cocok bagi masyarakat kita, karena masyarakat kita itu tidak individu, tapi komunal, rembuk ndeso, rembuk adat. Saya yakin ada masyarakat yang kurang terinfomasikan saat itu dan mengajak yang lainnya untuk menolak.
Tapi ada yang saya syukuri, pertama itu penelitian. Dalam penelitian itu kami harus menjunjung tinggi yang menolak, mereka kami lindungi, mereka punya hak sepenuhnya untuk menolak. Ya tidak apa-apa, menolak ya sudah. Jadi ada suatu wilayah yang tidak kami lepaskan nyamuk berwolbachia.
Kedua, kalau dibuat dalam persentase, yang menolak itu kurang dari 1%. Jadi mungkin ada belum diyakini, walau sebagian sudah memahami. Selain itu kekhawatiran ya.
Tapi beberapa tahun setelahnya, hubungan kami dengan masyarakat tetap baik. Melepas nyamuk itu hanya salah satu, karena kalau ada tersangka DBD kami dampingi berobat dan lainnya. Bahkan, hingga pada di titik tertentu, mereka minta dilepasi nyamuk. Tapi mereka kan sudah memberikan somasi, kami tidak dapat melepaskan nyamuk sebelum somasi itu ditarik.
Sekarang ini di Sleman, hingga November 2019 ada 692 kasus demam berdarah dengue (DBD) dan satu di antaranya meninggal dunia. Kabarnya, Dinas Kesehatan Sleman menyebut ini merupakan siklus empat tahunan. Itu bagaimana?
Sebetulnya sekarang ini patokannya tidak bisa 'berapa tahun sekali' ya, tidak bisa. Dulu disebut siklus lima tahunan, sekarang ini empat tahunan, tiga tahunan itu sudah tidak bisa dipegang, karena ada faktor musim. 2017 dan 2018 secara umum rendah sekali, salah satu faktor kuat adalah saat itu musim kering. Tapi lalu 2018 akhir-2019 di mana-mana tinggi. Ini pegaruh musim cukup besar, mungkin tidak terlalu berpatokan pada berapa tahun sekali. Tapi kita melihat, kalau habis tinggi kemudian drop dan bertahap naik lagi.
Siklus lima tahunan itu tidak bisa dipakai sebagai patokan mati, bahwa ini akan empat tahun, ini akan tiga tahun. Karena kalau melihat data di Kota Yogyakarta, ada yang baru dua tahun itu dia [kasus DBD] sudah tinggi. Jadi yang penting, jangan melihat empat, tiga atau lima tahunnya. Tapi saya kira DBD ini penyakit yang membutuhkan kewaspadaan terus-menerus. Terutama kalau kemudian memang sebagian besar wilayah itu hujan.
Jadi bagaimana pengukurannya?
Pengukuran kan dilakukan lewat pantauan terus-menerus yang dilakukan oleh dinas [Dinas Kesehatan] seperti itu. Ketika sudah tak bisa jadi patokan tadi, saya kira alternatifnya [tolok ukur] ya kira tren yang dikeluarkan oleh dinas. Karena ketika di satu tahun tinggi, dipastikan di tahun berikutnya mulai rendah lalu naik tinggi lagi. Mmm.... patokannya apa ya?
Problemnya DBD itu begini, telur itu kan tidak mudah mati. Di musim kering pun dia 6-9 bulan tetap hidup. Jadi sulit membuat patokan, mungkin kewaspadaan dini yang dinas bisa terus share ke masyarakat. Daerah ini kok mulai meningkat, mungkin itu yang sudah menjadi kewaspadaan. Kalau di masyarakat, yang paling mudah saya kira ketika di suatu daerah ada beberapa pasien dengue, itu sudah cukup menjadi pengingat masyarakat. Tidak perlu menunggu tiga tahun atau empat tahun.
Kemudian, di Gamping kan ada dua dusun yang diintervensi nyamuk wolbachia. Tapi ternyata, kasus DBD di Gamping itu masuk tiga besar tertinggi. Ada yang bisa dijelaskan dari sini?
Ya, Gamping tertinggi [sembari mengangguk]. Ya memang pada saat ujicoba [nyamuk berwolbachia], seingat saya penduduknya [di dusun ujicoba] itu penduduknya hanya 2.000 sampai 2.500 jiwa penduduk. Tidak sampai 5.000 jiwa penduduk, sangat kecil skalanya. Sedangkan kalau kita berbicara Gamping, kan itu skala kecamatan, lebih besar.
Nah, DBD itu uniknya, karena mobilitas penduduk itu penting, dan kita semua tahu, mungkin mobilitas orang di Yogyakarta dan Sleman itu tinggi. Sehingga memang kalau bicara nantinya supaya intervensi ini efektif, maka harus diterapkan di skala yang lebih luas.
Misalnya di Kabupaten Sleman itu mana lokasi tertinggi kasus DBD di mana, nah itu perlu kita jangkau. Nah, kalau itu diterapkan luas, baru kita kemudian mengetahui impactnya terhadap penularan DB.
Apa yang bisa dilakukan masyarakat untuk menekan DBD?
Saat ini, yang dilakukan program ini [WMP] prinsipnya adalah memberantas sarang nyamuk, perilaku hidup bersih dan di lingkungan. Kadang saya merasa, program kami ini akan sangat bagus kalau masyarakat proaktif. Karena masyarakat kita itu kadang-kadang begitu musim kering tidak ada yang cerita sakit DBD, mungkin kemudian kurang konsisten melakukan terus-menerus [perilaku hidup bersih, tubuh dan lingkungan]. Nah, sekalius saya titip [pesan] kepada masyarakat, sekarang memasuki musim hujan, harapannya masyarakat terus-menerus melakukan gerakan.
Apalagi ditambah sekarang ada gerakan 'satu rumah satu jumantik', supaya benar-benar bertanggungjawab mengurangi genangan air di rumah. Misalnya di bawah kulkas, kamar mandi, punya tanaman tebal dan cekung saja bisa jadi sarang. Karena telur [nyamuk] tidak butuh air banyak untuk berkembang. Jadi tempat berkembang biak itu cukup banyak, termasuk sumur. Itu yang sangat dibutuhkan masyarakat dari sisi partisipasi masyarakat.
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) itu efektif mencegah DBD?
Sebetulnya bisa efektif, tapi tidak bisa misalnya RT-RW sini dan sini aktif [PSN], tetangganya enggak aktif. Tidak bisa begitu. Jadi memang perlu gerakan yang meluas dan itu terus-menerus. Mau musim kering ataupun hujan.
Nah, masalah sekarang itu bukan efektif atau tidak. Tapi sebagai satu-satunya strategi, masih perlu dilengkapi dengan banyak intervensi lain juga. Wolbachia ini kan pelengkap, untuk melengkapi apa yang sudah ada pada program [PSN].
Tidak bisa juga misalnya, "Oh, di sini sudah dilepas nyamuk wolbachia, jadi tidak usah PSN". Tidak bisa seperti itu. Karena nyamuk itu ada banyak. Saya selalu menekankan kalau menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan, itu punya andil dan value jauh lebih tinggi daripada yang kami lakukan. Ini [WMP] adalah komplementer, pelengkap. Jadi mereka tidak bisa mengandalkan WMP. Yang primer itu tetap, mulai dari pola hidup, kebersihan lingkungan. Terlebih lagi, orang bisa kena dengue dari mana saja.
Apa harapan Anda terhadap program WMP, selain bisa diterapkan di fase yang lebih tinggi?
Sejak awal, kami ini bisa membantu pemerintah memberikan tools lain, dalam hal ini teknologi, supaya demam berdarah itu bisa turun. Karena trennya di Indonesia, makin lama makin tinggi, di beberapa negara juga begitu. Kita [Indonesia] nomor dua. Dan saya pikir kalau dari sisi masyarakat kadang-kadang juga tidak kurang yang dilakukan. Maka harus ada teknologi yang baru, itu niat awal sampai sekarang. Kalau ini efektif, setelah itu kami akan membuat model supaya program ini bisa dikerjakan oleh mitra-mitra yang lain. UGM kan tidak akan terus kemana-mana bawa ember. Sehingga baik mitra, Pemda atau masyarakat bisa mengerjakan itu di wilayahnya. Itu yang kami inginkan.
Artinya, kami membuat desain, lalu di masyarakat siapa yang bisa menaruh ember, apakah itu ibu-ibu, jumantik? Itu kami mengidentifikasi itu. Atau bahkan bekerja sama dengan penyedia ojek daring [menyebut merk salah satu penyedia layanan]? Mereka membawakan ember?
Kami ingin ada akses yang lebih mudah bagi masyarakat dalam program ini, peran perempuan sangat penting.
Bagaimana peran perempuan itu?
Kuncinya ya perempuan, yang menggerakkan perempuan. Posyandu ya perempuan, kader PKK ya perempuan.
Keluar dari bahasan nyamuk, perihal konser di mana Anda kerap mengisinya dengan permainan piano. Sepertinya Anda kerap mengisi konser amal, ya?
Pertama kali saya lakukan pada tahun lalu, itu bekerja sama dengan Yayasan Kanker Indonesia. Tahun lalu saya konser amal bagi difabel. Tapi kalau saya bermain dalam konser yang diselenggarakan 17 Desember 2019 malam, bekerja sama dengan yayasan kanker dan pihak Jerman itu, saya ada alasan pribadi. Suami saya leukimia, tapi kondisinya alhamdulillah baik.
Jadi faktor sosial itu ikut menghidupi hobi Anda, ya?
Ya jadi saya itu kalau hobi musik itu sudah lama ya, biasanya kan untuk senang-senang. Tapi kalau sekarang itu, saya main musik untuk apa to? Tidak mencari karir juga di musik. Ya menemukan kecocokan, saya di Kedokteran, di public health. Ya kemudian kenapa tidak, saya bermain musik untuk amal.
Ketemu hubungannya tidak sih, antara bermain piano dan aktivitas Anda mengurusi nyamuk berwolbachia?
Oh ada, kalau main piano kadang-kadang digigit nyamuk. Hahahaha.
Aktivitas selain sebagai jadi dosen, istri, jadi seorang ibu, apa saja?
Saya membina UGM Choir Orchestra, saya juga aktif di tenis meja. Saya pembina Unit Kegiatan Mahasiwa Tenis Meja. Dan ruangan berlatih tenis meja itu ada pianonya. Hahahaha.
Kontributor : Uli Febriarni