Tarsoen Waryono: Harusnya Normalisasi Sungai di Jakarta Tidak Dihentikan

Kamis, 02 Januari 2020 | 21:22 WIB
Tarsoen Waryono: Harusnya Normalisasi Sungai di Jakarta Tidak Dihentikan
Ilustrasi wawancara. Pakar lingkungan yang juga Kepala Prodi Geografi Universitas Indonesia, Dr Ir Tarsoen Waryono. [Dok./captured]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Jadi kalau kondisinya masih tak berubah, kalau ada cuaca ekstrem misalnya, banjir akan tetap parah ya?

Hujan ekstrem itu milik Tuhan, kita tidak bisa apa-apa. Kalau hujan gede, daya tampungnya untuk mengalirkan juga harus gede, (makanya) jangan dibuangin sampah. Jangan kita mengharapkan hujan ekstrem direm, itu nggak bisa, karena itu miliknya Tuhan.

Ya, soal (cuaca) ekstrem itu, Tuhan yang mengatur. Apa kita bisa mengatur Tuhan? Ya, nggak bisa. Karena kronologisnya itu, angin di wilayah Khatulistiwa apakah dari utara atau selatan, sekarang banyak dari selatan menuju ke Khatulistiwa atau dari utara menuju Khatulistiwa, dan ternyata ada belokan angin di udara yang di atas Pulau Jawa, bahkan lebih ekstrem lagi di atas Jabodetabek. Buktinya malam tahun baru kemarin, pawang hujan itu kalah semua. Biasanya hujan dari Jakarta bisa "dipindah" oleh pawang hujan ke Depok atau Bekasi, tapi (saat itu) ternyata nggak bisa.

Warga melintasi jalanan yang terendam banjir di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, Kamis (2/1). [Suara.com/Angga Budhiyanto]
Warga melintasi jalanan yang terendam banjir di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, Kamis (2/1/2020). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

Lalu, kondisi ideal seperti apa sebenarnya yang dibutuhkan Jakarta dan sekitarnya agar tidak atau jarang terkena banjir lagi?

Baca Juga: Bantah Jokowi soal Banjir Jakarta karena Sampah, Anies: Apa Ada di Bandara?

Sebenarnya kalau kita bicara Ciliwung, itu ada 5 faktor penyebab banjir Jakarta. Pertama bahwa Jakarta membentuk aluvial (jenis tanah yang terbentuk karena endapan) dari 13 aliran sungai, dengan ketinggian elevasi yang di datarannya itu rendah, kurang dari 3 meter. Itu harus diperbaiki. Bagaimana caranya? Harus diuruk. Rumah harus dikurangi. Bagaimana cara mengurangi rumah? Bikin apartemen, dan orang harus mau membayar dan beli apartemen. Tetapi orang kita belum saatnya seperti itu, itu yang menjadi masalah.

Terus yang kedua, kalau musim hujan banjir, tergenang; kalau kemarau kekeringan air. Nah, ini harus menghidupkan situ-situ atau tandon air. Harus dihidupkan dan disalurkan agar bisa menyuplai air tanah. Ketiga, di daerah hulu Ciliwung itu ada lahan kritis lebih dari 3.000 hektare, itu harus ditanami pohon. Orang tidak boleh lagi 100 persen menanam sayur, harus kombinasi. Itu ada 3.000 hektare lebih.

Begitu turun ke bawah lagi, daerah dataran banjir di Jakarta, kita itu bingung. Intensitas pemanfaatan ruang, artinya tanah yang dipondasi, itu 90 persen. Air tidak bisa menyerap. Semuanya dibeton, diaspal, airnya bingung. Nah, airnya (yang) bingung itu merendam Jakarta. Ditambah dengan di depan itu air lautnya naik, ada banjir rob yang sebulan itu 2 kali yang besar. Harian itu ada tapi tidak besar, tapi kalau bulan mati dan bulan terang itu bisa mencapai 1,5 meter. Air lari ke daratan.

Airnya rob, hujannya deras, jadi airnya tidak bisa ke mana-mana. Ke laut tidak bisa, ditahan oleh air laut, mau turun juga sulit, akhirnya merendam Jakarta. Itu permasalahannya, jadi sangat komprehensif. (Solusinya) Tidak bisa DKI Jakarta saja diucek-ucek, tapi di hulunya juga harus dibenahi.

Konon, jika ibu kota RI jadi pindah, banjir juga mungkin masih akan tetap dirasakan warga, baik di lokasi ibu kota baru itu sendiri maupun kelak di Jakarta. Menurut Anda?

Baca Juga: Nenek 67 Tahun Selamatkan Diri dari Banjir, di Atas Loteng Hampir 10 Jam

Iya, saya kira akan tetap begitu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI