Tarsoen Waryono: Harusnya Normalisasi Sungai di Jakarta Tidak Dihentikan

Kamis, 02 Januari 2020 | 21:22 WIB
Tarsoen Waryono: Harusnya Normalisasi Sungai di Jakarta Tidak Dihentikan
Ilustrasi wawancara. Pakar lingkungan yang juga Kepala Prodi Geografi Universitas Indonesia, Dr Ir Tarsoen Waryono. [Dok./captured]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Menurut saya bisa dihindari. Cuma kan, (itu) pemerintah yang harus melakukannya. Sebab DKI Jakarta itu ada pada dua posisi. Posisi pertama ada pada daerah kikisan, ketinggiannya itu lebih dari 7 meter di atas permukaan laut; dan posisi kedua 7 meter ke arah bawah. Bahkan dari 7 meter itu ada dua: di atas 3-7 meter dan di bawah 3 meter. Bahkan ada yang min meter, artinya di bawah permukaan laut yang akibat subsidence artinya amblasan, itu daerah yang terendam, dan itu menyusur dari Jakarta ke arah timur ke Pulogadung sampai ke Bekasi. Dan itu adalah daerah yang tergenang. Apalagi yang namanya Pulogadung, "pulo" artinya pinggirannya air itu muncul. Apalagi Rawasari, Kelapa Gading, itu daerah rendaman semua. Jadi memang kalau mau diatasi, satu-satunya jalan rumah harus dikurangi.

Intensitas pemanfaatan ruang betul-betul harus 30 persen. Saya yakin itu tidak akan banjir. Sekarang berapa intensitas pemanfaatan ruang? Itu sudah 90 persen; jadi 60 persen itu penyebab banjir. Itu sebenarnya yang menjadi permasalahannya. Jadi daya tampung sudah tidak mampu, daya dukung juga sudah tidak mampu. Daya dukung itu kemampuan tanah dalam menyerap air, di dalam menahan air. Tetapi kalau daya tampung, itu menampung air. Nah, (karena) itu mestinya di DKI Jakarta normalisasi dan naturalisasi (sungai) harus dilakukan.

Banjir merendam kawasan Kampung Pulo dan Bukit Duri di Jakarta, Kamis (2/1). [ANTARA FOTO/Nova Wahyudi]
Banjir merendam kawasan Kampung Pulo dan Bukit Duri di Jakarta, Kamis (2/1/2020). [ANTARA FOTO/Nova Wahyudi]

Apakah program normalisasi sungai dan naturalisasi dalam program Pemprov DKI saat ini belum ada kemajuan?

Normalisasi dan naturalisasi itu sudah dilakukan, akan tetapi pada 2019 dihentikan, karena alasan politik bahwa Gubernurnya (Anies Baswedan) tidak mau menggusur. Kalau itu (normalisasi sungai dan naturalisasi) dilakukan, saya yakin kalau sekarang banjirnya 100 cm, barangkali hanya 50 cm. Nah, itu baru dilakukan kurang lebih di bawah 50 persen (dari) total rencana yang ada. Jadi kalau itu dilakukan lagi, saya rasa akan aman.

Baca Juga: Bantah Jokowi soal Banjir Jakarta karena Sampah, Anies: Apa Ada di Bandara?

Apakah Anda juga melihat tidak ada kemajuan dalam penataan kota dan lingkungan, terkait persoalan ini? Atau sudah ada?

Kemajuan ada, tapi ya, bergerak di tempat. Artinya, apa yang dirancang untuk membenahi Jakarta bebas dari banjir, salah satu contoh tahap pertama itu adalah normalisasi dan naturalisasi, ternyata dihentikan. Yang kedua, membuat selokan-selokan. Selokan dibuat bagus, kedalamannya bagus dan lebarnya cukup, memiliki daya tampung, akan tetapi dia tidak berpikir bahwa di dekat Tanjung Priok amblesan tetap jalan dan air laut naik. Tidak pernah ada pemikiran yang arahnya ke sana. Mestinya kembali dari dasar, bahwa DKI Jakarta pada tahun 1800, itu memiliki ketinggian di bibir pantai itu lebih dari 3 meter. Sekarang (ketinggian) sama dengan pantainya, bahkan ada yang di bawah.

Jadi, DKI Jakarta kalau mau normal, tidak banjir, harus diuruk (timbun). Berapa ketinggiannya? Ya, minimal 3 meter. Tetapi siapa yang mau nguruk? Gunung mana yang harus dipindahkan? Nah, memang (ada) banyak teori, seperti Belanda membuat dam, (itu) adalah sebuah teori yang memang harus dipraktikkan.

Nah, permasalahan-permasalahan seperti ini yang tidak dibahas secara komprehensif dan secara regional, sehingga bertabrakan antara Pemprov DKI Jakarta dengan KKP, kaitannya dengan reklamasi pantai. Reklamasi pantai dibuat, tetapi daerah-daerah yang kumuh di kawasan Tanjung Priok tidak pernah diperhatikan. Itu sebenarnya.

Kalau menurut saya, DKI Jakarta (harusnya) hentikan membangun mal dan gedung-gedung lain, dan lakukan membuat tandon air. Buat situ-situ atau waduk. Karena apa? Kelapa Gading yang tadinya itu tandon air, sekarang sudah dibangun. Harus ada penggantinya, itu yang harus dilakukan.

Baca Juga: Nenek 67 Tahun Selamatkan Diri dari Banjir, di Atas Loteng Hampir 10 Jam

Situ-situ itu harus dihidupkan. DKI Jakarta situ cukup banyak, tapi kecil-kecil, ada 48 totalnya. Kalau itu dihidupkan, saya rasa mampu menampung. Situ-situ itu jalan, hanya penampungan, tetapi tidak disalurkan. Nah, kalau di Depok, ada 26 situ. Ternyata situnya ini dibiarin, bahkan terancam untuk diuruk untuk jadi permukiman.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI