Tarsoen Waryono: Harusnya Normalisasi Sungai di Jakarta Tidak Dihentikan

Kamis, 02 Januari 2020 | 21:22 WIB
Tarsoen Waryono: Harusnya Normalisasi Sungai di Jakarta Tidak Dihentikan
Ilustrasi wawancara. Pakar lingkungan yang juga Kepala Prodi Geografi Universitas Indonesia, Dr Ir Tarsoen Waryono. [Dok./captured]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Berawal dari hujan yang mengguyur wilayah Jabodetabek khususnya sejak Selasa 31 Desember 2019, bersama beberapa kawasan sekitarnya, ibu kota Jakarta kembali harus dikepung banjir pada hari pertama 2020. Curah hujan kali ini sendiri di beberapa kawasan terkait memang disebutkan tinggi, tapi penyebab banjir Jakarta bukan hanya itu.

Masalah pengelolaan atau penataan kota dan lingkungan di wilayah DKI Jakarta sendiri misalnya, termasuk yang masih menjadi sorotan. Begitu pula dengan upaya penanganan yang sudah sempat berjalan, seperti naturalisasi atau normalisasi sungai. Masalahnya, sebagaimana antara lain diutarakan pakar lingkungan hidup Tarsoen Waryono, sudahlah pemanfaatan ruang (lewat bangunan) di DKI mencapai 90 persen, program normalisasi sungai sendiri tahun lalu (2019) malah dihentikan.

Lantas, apa lagi yang salah, dan apa kira-kira yang harusnya dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, juga pihak terkait lainnya, termasuk juga masyarakat, sehubungan masalah banjir yang seakan sudah menjadi "bencana rutin" ini? Berikut petikan wawancara Suara.com dengan Dr Ir Tarsoen Waryono yang juga adalah Kepala Prodi Geografi Universitas Indonesia (UI), baru-baru ini:

Baca Juga: Bantah Jokowi soal Banjir Jakarta karena Sampah, Anies: Apa Ada di Bandara?

Diterpa hujan berjam-jam, Jakarta dan sekitarnya kembali dilanda banjir cukup parah. Apa memang karena faktor lingkungan dan penataan kota? Bisa sedikit dijelaskan?

Tadi saya habis berkoordinasi dengan Kepala Balai DAS Ciliwung-Cisadane, ternyata bahwa banjir yang terjadi secara regional memang diakibatkan curah hujan yang mendekati ekstrem. Hujan semalaman, walaupun tidak besar, tetapi semuanya itu mengguyur dan arahnya ke Jakarta. Jadi, Jakarta itu disuplai oleh: satu, Sungai Ciliwung; kedua, Grogol, Pesanggrahan dan Krukut; kemudian Kali Angke juga; dan mungkin dari sebelah timur itu Cipinang dan Buaran, itu cukup besar juga. Dan hulu-hulunya itu ada di dekat Depok dan Bogor, sebagai penyuplai.

Tetapi kalau kita lihat Kali Ciliwung di Katulampa ketinggiannya itu lebih dari 150, bahkan mendekati 200 cm, ternyata Ciliwung Depok tidak juga mengkhawatirkan. Karena di sekitar antara perbatasan Kabupaten Bogor dan Depok tidak ada masalah, kemudian GDC (Depok) tidak ada masalah, Jembatan Panus (Depok) juga nggak ada masalah, sampai batas antara DKI dengan Depok juga tidak ada masalah.

Cuma memang, ada sebagian di dekat Ciliwung, ada tanah yang longsor dan ada rumah yang kena reruntuhan. Di Pesanggrahan dan Grogol sama Krukut, itu semuanya daya tampung sungai sudah tidak mampu lagi. Jadi itu airnya keluar dari badan sungai; tetapi tadi pagi sudah surut.

Nah, yang menjadi kendala adalah sampah. Sampah itu menjadi bagian yang tidak bisa terelakkan. Itu yang menjadi catatan di Kota Depok. Dan ada banjir-banjir yang sifatnya sementara, seperti Situ Rawa Besar, di sebelahnya itu Situ Pladen; itu merendam jalanan, tapi sifatnya sementara. Dan jalan masuk ke Beji juga terendam sampai sekarang, karena (air) tidak bisa meresap ke dalam tanah.

Baca Juga: Nenek 67 Tahun Selamatkan Diri dari Banjir, di Atas Loteng Hampir 10 Jam

Tapi sebenarnya, apakah memang banjir sudah sama sekali tak bisa dihindari oleh warga Jakarta dan sekitarnya? Kenapa?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI