Suara.com - Tepatnya Minggu, 22 Desember 2019, Indonesia kembali memperingati apa yang dikenal sebagai Hari Ibu. Sebagaimana tahun-tahun terdahulu, masih banyak yang mengira atau malah --termasuk lewat kampanye berbagai lembaga atau institusi-- mengidentikkan peringatan ini sebagaimana Mothers Day, atau harinya para ibu atau bunda/mama. Padahal jika menilik sejarah, bukan itu makna dan tujuan lahirnya Hari Ibu tersebut sebenarnya di Indonesia.
Salah satu yang sudah cukup lama berusaha mengoreksi dan mengampanyekan hal tersebut adalah Mariana Amiruddin, sosok yang kini menjabat sebagai salah seorang Komisioner Komnas Perempuan. Aktivis kelahiran 14 Maret 1976 yang pernah menjabat Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan, juga dikenal telah menulis beberapa buku, termasuk novel terkait perempuan, antara lain "Kesehatan Hak Reproduksi Perempuan: Panduan untuk Jurnalis" (2003), "Perempuan Menolak Tabu; Hermeneutika, Feminisme, Sastra, dan Seks" (2005), dan "Tuan dan Nona Kosong" (2006, novel bersama Hudan Hidayat).
Sehubungan momentum Hari Ibu kali ini, Suara.com pun berkesempatan melakukan wawancara dengan Mariana Amiruddin, tidak saja seputar peringatan hari besar nasional tersebut namun juga terkait perempuan Indonesia secara umum. Berikut petikannya:
Ada yang mengatakan Hari Ibu 22 Desember itu bukan Mothers Day. Maksudnya bagaimana? Dan posisi Anda sendiri seperti apa?
Baca Juga: Ucok Homicide: Penggusuran Tamansari, Ladang Ilmu Warga Melawan Oligarki
Iya, betul bahwa Hari Ibu itu bukan Mothers Day. Jadi, sejarahnya berkaitan dengan sejarah di negara lain ya, ada Mothers Day dan Fathers Day. Tetapi kalau di Indonesia itu, Hari Ibu itu awalnya dari gerakan perempuan pada 1928, bersamaan dengan jelang Sumpah Pemuda, di mana para perempuan untuk kemerdekaan bangsanya berkumpul dari berbagai wilayah, ada Jong Java, Jong Sumatera, Jong Celebes dan sebagainya.
Oke. Bisa beri penjelasan sejarah singkat tentang Hari Ibu ini? Karena banyak yang belum tahu.
Ya. Kemudian ada Kongres Perempuan pada 1928 di Yogyakarta. Mereka berkumpul untuk membicarakan soal kemerdekaan. Isu yang mereka bahas dalam Kongres Perempuan (pertama di Indonesia) ketika itu di antaranya adalah perkawinan anak, di mana para perempuan dipaksa menikah (di) usia dini. Kemudian poligami --banyak perempuan dimadu waktu itu, masalah pendidikan, dan masalah-masalah perempuan lainnya. Waktu itu banyak perempuan dari berbagai wilayah yang aktif berorganisasi, memikirkan pentingnya hak-hak perempuan menjadi bagian dari masalah bangsa, masalah kemerdekaan.
Kongres itu kemudian dijadikan oleh Presiden Soekarno sebagai Hari Ibu. Ibu yang dimaksud ini bukan "mothers", tetapi kaum perempuan dewasa kan kalau dipanggilnya itu "ibu" ya. Misalnya saya, walau belum punya anak, tetap dipanggil "ibu" kan. Karena itu panggilan hormat untuk perempuan dewasa. Jadi "ibu" bukan "mama" ya. Lalu, Soekarno menerbitkan Perpres dan menjadikan 22 Desember itu Hari Ibu. Perpres itu diterbitkan Soekarno setelah kemerdekaan.
[Lebih jauh, Mariana kemudian merujuk pada salah satu tulisannya beberapa tahun lalu di blog pribadinya. Berikut kutipan sebagian isinya:]
Baca Juga: Selain Indonesia, Intip Tradisi Hari Ibu di 6 Negara Ini
"Sejarah hari Ibu di Indonesia adalah untuk memperingati perjuangan nasib perempuan di Indonesia. Seperti yang diungkap oleh Suratmi Iman Sudijat sebagai saksi sejarah dalam video (sayangnya link video Youtube yang dicantumkan saat ini sudah tidak bisa diakses, Red).
Pada waktu zaman penjajahan Belanda, perempuan di mata masyarakat masih dipandang rendah daripada laki-laki. Pada waktu itu tidak semua orang menyekolahkan anak perempuannya, selalu yang didahulukan anak laki-laki. Hari Ibu di Indonesia adalah untuk memperingati gerakan perempuan di Indonesia yaitu digelarnya Kongres Perempuan Indonesia I yang diprakarsai oleh tiga orang yaitu: Ibu Soekonto dari Wanita Utomo, Nyi Hajar Dewantoro dari Wanita Taman Siswa, dan Ibu Soejatin dari Putri Indonesia. Namun, penyelenggaranya adalah 7 organisasi perempuan yang diadakan tanggal 22-25 Desember 1928, dan terdapat 30 organisasi perempuan yang hadir dari seluruh Jawa, Madura, Sumatra.
Kongres tersebut diadakan di Dalem Jayadipuran, Jogjakarta, sebuah rumah luas dan besar, rumah Kanjeng Joyodiporo dan dia adalah abdi dalem keraton. Mereka bolak-balik berkumpul mencari jalan keluar bagaimana caranya mengubah pandangan masyarakat supaya masyarakat menghormati kaum perempuan sebagaimana menghormati kaum laki-laki.
Jalan keluarnya adalah mereka mengadakan kegiatan-kegiatan untuk meyakinkan masyarakat bahwa perempuan bisa setara dengan laki-laki. Dan kegiatan itu akan diadakan pada hari tertentu, dan hari tertentu itu akan diberi nama Hari Ibu.
Dalam Kongres III, Istri Indonesia mengusulkan adanya Hari Ibu, oleh Istri Indonesia yaitu Ibu Sunaryo Mangun Puspito. Kongres Perempuan Indonesia yang ketiga menerima seluruhnya usul tersebut. Lalu muncul pertanyaan: "Hari apakah yang bisa kita jadikan hari Ibu?" Kemudian kongres ini menetapkan ketentuan dan persyaratan hari apa yang dipakai. Ketentuan persyaratan peringatan Hari Ibu adalah:
- Sebagai hari yang bersejarah.
- Sebagai hari yang berarti bagi bangsa Indonesia.
- Hari yang netral yang tidak memihak pada salah satu aliran atau golongan anggota kongres.
Dengan persyaratan tersebut, maka sejarah Kongres Hari Perempuan Indonesia Pertama ditetapkan sebagai Hari Ibu, dan mereka menemukan dalam arsip kongres tersebut jatuh pada tanggal 22 Desember dan berakhir tanggal 25 Desember tahun 1928 di Jogjakarta. Maka disepakati Hari Ibu diperingati tanggal 22 Desember. Kongres kemudian setuju.
Jadi Hari Ibu diputuskan pada tahun 1938 yang mengambil dari hari bersejarah Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928, dan dipilih sebagai tanggal Hari Ibu. Presiden Soekarno lalu menetapkan Hari Ibu sebagai hari besar nasional, yang sama nilainya dengan Hari Sumpah Pemuda, Hari Pendidikan Nasional dsb.
Bila di negeri Belanda Hari Ibu disebut sebagai "Moederdag", sebenarnya lain dengan makna Hari Ibu di Indonesia. Di Belanda, Hari Ibu tidak ada latar perjuangan, sementara di Indonesia ada latar belakang perjuangan perempuan untuk mendapatkan kedudukan yang sama dengan laki-laki."
Bagaimana kondisi kaum perempuan maupun kaum ibu pada era kekinian? Apakah yang disebut emansipasi itu sudah terjadi?
Nah ini, soal emansipasi itu, sebenarnya maknanya adalah setiap orang yang ingin mengalami perubahan dan kemajuan, termasuk mau merdeka, itu salah satu bentuk emansipasi. Ya, nggak ada penjajahan lagi, ya, itu emansipasi. Ya, tentu saja pada waktu itu, setiap orang yang ingin kemerdekaan adalah emansipasi, termasuk perempuan.
Masalah perempuan dalam bidang ekonomi kekinian?
Dalam bidang ekonomi, perempuan sekarang lebih banyak jalan, ya. Terutama karena untuk mencari nafkah itu tidak harus menjadi pegawai. Banyak perempuan punya banyak kesempatan di bidang ekonomi yang sifatnya bisa mandiri, bisa dilakukan di rumah, bisa dilakukan melalui online. Jadi terutama konteksnya sekarang sudah zaman internet, banyak tempat untuk berjualan melalui online. Intinya adalah bahwa setiap orang itu punya kemampuan untuk mencari pendapatan, tidak tergantung pada orang lain.
Apakah pemerataan kesempatan kerja belum tentu menuntaskan persoalan perempuan dalam bidang ekonomi? Artinya, masih ada diskriminasi di pabrik-pabrik dan lainnya?
Kesempatan kerja memang luas sekarang tempatnya bagi perempuan, tetapi masih banyak mengalami diskriminasi dalam hal apresiasi, dalam hal penghargaan. Karena perempuan dianggapnya tenaga kerja tidak produktif, karena suatu saat dia akan hamil atau melahirkan, atau cuti atau menikah, sehingga masih dihargai tidak layaklah secara gaji.
Kurangnya apresiasi lain seperti meragukan "emangnya perempuan bisa menjadi pilot, kenapa nggak menjadi pramugari saja?" misalnya.
Persoalan perempuan pada aspek politik kekinian?
Dalam dunia politik kekinian, perempuan punya kesempatan. Tetapi karena perempuan itu lebih kompleks, sementara dunia politik itu kan membutuhkan pertarungan yang luar biasa berat. Dengan situasi perempuan yang mengasuh anak, melayani suami, segala macam, itu agak terhambat untuk terjun di dunia politik. Dan sering kali disalahkan, perempuan yang lebih banyak di arena politik daripada di arena rumah tangga, dikaitkan (dengan) "tidak menjadi ibu yang baik"-lah, segala macam. Sehingga kesempatan itu sering dilewatkan. Kecuali Ibu Susi (mantan Menteri KKP), dia perempuan yang tidak banyak beban.
Setelah banyak kaum perempuan terlibat dalam politik, hal itu sudah menunjukkan adanya kesetaraan? Atau justru kaum perempuan tak memiliki posisi penting sebenarnya dalam politik Indonesia?
Secara kesempatan sudah memungkinkan perempuan posisinya bisa setara dengan laki-laki. Tetapi dalam hubungan sosial, keluarga dan lingkungan masih menganggap perempuan yang aktif begitu dinilai tidak bertanggung jawab bagi keluarga. Apalagi dalam dunia politik, jadi anggota DPR rapatnya sering sampai malam. Makanya harus didukung, baik secara keluarga, sosial, maupun lingkungan. Tanpa dukungan, mereka akan sulit untuk bisa bereksplorasi, mengembangkan dirinya.
Masalah perempuan dalam bidang sosial budaya kekinian? Apakah budaya patriarki masih lekat baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan seperti Jakarta? Bisa kasih contoh?
Masih sangat patriarki sih, ya, meskipun kesempatannya sudah banyak terbuka untuk perempuan bisa memilih. Tetapi faktanya, saya kasih contoh, masih banyak kekerasan seksual di dalam rumahnya, di kantor dan ruang kerja. Mereka belum bisa bebas untuk dirinya sendiri. Sebenarnya belum merdeka secara utuh, karena patriarki tadi.
Misalnya kasus pramugari, posisi sekretaris, posisi SPG, suster yang jadi objek seksual, bukan sebagai profesionalitas. Jadi masih dianggap rendah posisinya. Kebanyakan ruang-ruang kerja perempuan kan seperti itu, masih rawan sekali. Kalau jadi presiden sih, mungkin beda ya.
Apa catatan untuk Pemerintah, terutama Kementerian PPPA?
Kami sudah bertemu dengan Ibu Menteri yang baru, kami menyambut kerja sama yang lebih serius dengan KPPPA, supaya kita lebih luas dan lebih dalam mensosialisasikan pemberdayaan perempuan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Karena KPPPA itu punya jaringan lebih luas sampai ke tingkat desa dan berkoordinasi dengan kementerian yang lain dan langsung di bawah Presiden. Jadi dia sangat dibutuhkan peran mereka untuk memberikan pemberdayaan perempuan.
Apa yang harus dilakukan dan yang terpenting bagi kaum perempuan saat ini, di tengah beragam persoalan tersebut?
Yang terpenting pertama adalah percaya diri. Mempercayai bahwa sebagai perempuan mereka mampu mewujudkan cita-citanya. Jadi kalau ada halangan, ada apa-apa, itu bukan salah perempuan, sehingga menganggap diri kita ini tidak bisa apa-apa. Kita harus merasa berdaya, meskipun di depan kita banyak tantangan, banyak rintangan.