Ucok Homicide: Penggusuran Tamansari, Ladang Ilmu Warga Melawan Oligarki

Rabu, 18 Desember 2019 | 07:15 WIB
Ucok Homicide: Penggusuran Tamansari, Ladang Ilmu Warga Melawan Oligarki
[Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketika para elite di lingkar kekuasaan berkoar-koar berkomitmen menegakkan HAM, nun di sudut kota Bandung, ada anak-anak yang menjerit melihat orangtuanya dipukuli aparat karena menolak digusur.

Hanya selang 2 hari setelah peringatan Hari HAM Sedunia dan Bandung mendapat predikat "Kota Peduli HAM", Kamis 12 Desember 2019, Satpol PP dan polisi sekonyong-konyong menggebrak RW 11 Tamansari yang masih ditempati 38 kepala keluarga pada 16 bangunan.

Sejak pukul 08.00 WIB, warga Tamansari sudah terkepung. Namun, mereka tetap berani melawan, mempertahankan ruang  hidupnya.

Penggusuran pemukiman warga RW 11, Kelurahan Tamansari, Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/12/2019). (Suara.com/Aminuddin)
Penggusuran pemukiman warga RW 11, Kelurahan Tamansari, Bandung, Jawa Barat, Kamis (12/12/2019). (Suara.com/Aminuddin)

Warga mengadang kedatangan aparat dengan cara menutup akses masuk ke area RW 11 Tamansari.

Baca Juga: Dua Personel Polisi Kena Pelanggaran Disiplin saat Penggusuran Tamansari

"Kami sudah bayangkan masalah itu (eksekusi lahan), kami pikirkan, kami pemerintah sifatnya regulasi. Sudah kita pikirkan dan diberi ruang longgar," kata Kepala Bidang Penegakan Hukum Daerah Satpol PP Kota Bandung, Idris Kuswendi saat bernegosiasi dengan warga saat itu.

Dia mengklaim, dari 197 warga Tamansari sebagian besar sudah pindah ke Rusunawa Rancacili dan hanya tersisa 11 warga masih bertahan.

Sementara perwakilan advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Rifki Zulfikat membantah data jumlah warga yang disebutkan oleh pihak Satpol PP. Menurutnya, masih ada sekitar 33 kepala keluarga yang masih menetap di kawasan tersebut.

"Masih ada 33 KK yang tinggal di sini, mereka tinggal di 16 bangunan yang masin bertahan, masih dihuni oleh keluarga," kata Rifki.

Dia menyebut eksekusi lahan yang dilakukan tersebut tidak sesuai dengan prosedur hukum. Sebab, pihak warga masih melayangkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung terkait izin lingkungan pembangunan Rumah Deret.

Baca Juga: Penggusuran di Tamansari Ricuh, Mahfud: Siapapun Tak Boleh Melanggar Hukum

"Mereka di sini selama berpuluh-puluh tahun, tidak ada yang merasa ini tanah pemkot, mereka (warga) taat bayar pajak juga. Sekarang kami masih menunggu putusan PTUN, masih pendaftaran sertifikasi tanah juga.” Seusai penggusuran, warga tamansari terpaksa mengungsi ke masjid.

Korban penggusuran Tamansari. (Suara.com/Aminuddin)
Korban penggusuran Tamansari. (Suara.com/Aminuddin)

Untuk diketahui, Pemerintah Kota Bandung sejak tahun 2017 berniat membangun proyek rumah deret di kawasan pemukiman padat penduduk tersebut.

Negosiasi berakhir buntu. Tanpa ba-bi-bu, Satpol PP merangsek melakukan represi untuk merobohkan rumah-rumah warga.

Adegan selanjutnya adalah aksi-aksi kekerasan aparat terhadap warga yang mempertahankan kampung mereka. Anak-anak menjerit histeris melihat keganasan aparat.

Dalam satu video yang viral di media sosial tampak polisi menarik seorang warga dan menggebukinya beramai-ramai.

Para relawan yang membantu mengamankan barang-barang milik warga juga menjadi sasaran aparat. Mereka ditembaki gas air mata.

Sebanyak 25 orang yang terdiri dari warga dan aktivis sempat ditahan polisi setelah penggusuran. Setelah dimintakan keterangan, mereka dilepas. Sedangkan 2 polisi dinyatakan melakukan tindak indisipliner saat penggusuran.

Enjo (39) salah satu warga RT 11 Tamansari, Bandung, yang menjadi korban pengeroyokan oleh oknum Satpol PP dan Polisi saat kerusuhan pembongkaran pemukiman di Tamansari, Bandung, Senin (16/12/2019). [Suara.com/Aminuddin]
Enjo (39) salah satu warga RT 11 Tamansari, Bandung, yang menjadi korban pengeroyokan oleh oknum Satpol PP dan Polisi saat kerusuhan pembongkaran pemukiman di Tamansari, Bandung, Senin (16/12/2019). [Suara.com/Aminuddin]

Herry Sutresna—musikus cum aktivis—adalah satu di antara aktivis yang bersolidaritas dengan warga Tamansari saat penggusuran.

Dia yang akrab disapa sebagai Ucok Homicide—merujuk pada kolektif hip-hop legendaris asal Bandung yang dibangunnya—memberikan kesaksian tentang penggusuran, tergerusnya ruang hidup warga Tamansari, kepada Suara.com.

Bisa ceritakan konflik dan perlawanan warga Tamansari hingga penggusuran?

Jadi prosedur pemerintah dalam upaya penggusuran warga Tamansari itu sudah ngaco sejak awal. Banyak yang dilanggar oleh pemerintah.

Sejak awal mereka datang untuk sosialisasi sudah enggak beres. Mereka mengklaim SP 1, SP 2 dan segala macam, sedangkan proses gugatan secara hukum masih berjalan.

Secara legalitas, pemerintah melalui pemberitaan di berbagai media mengklaim lahan itu milik mereka. Kalau benar, ya harus dibuktikan dengan sertifikat.

Warga memang tak memunyai sertifikat. Tetapi pemerintah juga enggak punya. Berbekal tanda jual beli tahun 1921, warga menggeruduk BPN, mereka tanya status tanahnya itu apa?

Nah, dari situ didapat informasi, status tanah di sana enggak ada yang punya, dalam arti sebagai status quo.

Status quo itu artinya bisa disertifikasi oleh warga. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria atau UUPA, dinyatakan kalau suatu lahan tak bertuan atau berupa lahan tidur lebih dari 20 tahun, warga berhak mendaftarkannya untuk disertifikasi.

Nah, hal itulah yang didugat warga melalui pengadilan dan sekarang proses hukumnya masih berjalan. Kemudian, tiba-tiba ada penggusuran sedemikian rupa. Jadi sudah berapa banyak aturan yang dilanggar pemerintah?

Pemerintah tidak menghormati proses pengadilan dan sebagainya, mereka berkukuh itu tanah negara. Secara prosedur hukum, mereka sudah cacat.

Izin lingkungan (untuk proyek kampung deret pemkot) kan butuh sertifikat, dari mana mereka punya izin lingkungan? Izin lingkungan sudah turun katanya, izin lingkungan bagaimana? kan izin itu butuh sertifikat, sedangkan mereka tidak punya.

Belum lagi pelanggaran lain yang dilakukan Pemkot Bandung, semisal pengembang (proyek kampung deret) yang ternyata masuk blacklist (daftar hitam).

Apa yang sudah dilakukan untuk melawan penggusuran tersebut?

Dalam konteks melawan sih sudah lama: menolak penggusuran dengan bertahan di sana, sampai melakukan gugatan secara hukum ke pengadilan. Jadi penggusuran kemarin itu kan rangkaian dari hampir setahun lebih prosesnya.

Bagaimana represifitas aparat saat melakukan penggusuran? Apakah melanggar HAM?

Jelas tindakan penggusuran itu merupakan pelanggaran HAM. Pelanggaran yang dilakukan pemerintah banyak, pelanggaran hukum juga termasuk.

Bentuk-bentuk kekerasan aparat saat penggusuran?

(Penggusuran) ini sudah yang ke beberapa kali, terhitung sejak zaman Ridwan Kamil (eks Wali Kota Bandung).

Penggusuran kemarin itu yang terakhir, sehingga memang warga yang ada di Tamansari adalah paling bersikeras memperjuangkan haknya.

Bentuk kekerasan aparat saat penggusuran banyak ya. Kalau kekerasan fisik seperti pemukulan itu sudah jelas terjadi.

Penembakan gas air mata tanpa aturan yang jelas, juga terjadi. Saat penggusuran, tanpa ada kerusuhan, mereka menembakkan gas air mata.

Secara kronologis, aparat datang pagi-pagi. Saat itu, belum banyak kawan-kawan bersolidaritas. Siangnya baru berdatangan kawan-kawan untuk membantu warga mengevakuasi barang.

Ketika kawan-kawan dan warga mengevakuasi barang, tiba-tiba ada yang dikeroyok, di situlah perang batu dimulai. Perang batu juga tak lama.

Sejam kemudian, aparat tiba-tiba masuk kembali, dengan menembakkan gas air mata. Ketika itu pun, kawan-kawan yang bersolidaritas, yakni bukan warga, sudah tarik mundur.

Tapi, ketika kami sudah keluar dari kawasan Tamansari, diburu aparat tanpa alasan yang jelas.

Media-media massa memberitakan ada kerusuhan. Kami bertanya, media-media massa mendefenisikan kerusuhan seperti apa? Tidak ada kerusuhan kok.

Kemudian kawan-kawan dituduh membakar rumah. Lha, rumah itu kena gas air mata kok. Kalau mau, turunkan saja tim forensik untuk membuktikan, kami berani, bisa diuji.

Tapi sekarang mau bagaimana diujinya, (rumah) sudah diratain. Kami tidak ada yang melakukan pembakaran.

Logikanya begini, itu rumah warga yang kami pertahankan, ngapain kami bakar. Jadi  logika kebanyakan media massa dan aparat tidak masuk akal banget. Itu fakta diputarbalikkan.

Kalau teror dari pihak-pihak yang ingin Tamansari digusur, sudah lama dirasakan oleh warga maupun kawan-kawan, kurang lebih sudah sejak satu setengah tahun lalu.

Apa imbas penggusuran ini secara ekonomi dan budaya?

Yang pasti begini, kalau dibilang menertibkan wilayah perkumuhan, tidak masuk akal juga. Perkumuhan tidak hanya di Tamansari, tapi wilayah Astana Anyar.

Soal aset, banyak aset Pemkot yang sudah jelas atau bukan bersengketa. Kalau ini kan bersengketa.  Jadi, kalau mau dipakai (untuk proyek kampung deret), kenapa tidak pakai yang tak bersengketa?

Imbas secara ekonomi sudah jelas, warga Tamansari kehilangan mata pencaharian, tak lagi bisa mencari nafkah. Kan mereka kebanyakan mata pencariannya di sektor informal.

Mereka buka warung di Tamansari, berdagang di sana, kemudian dipindahkan ke (Rusun) Rancacili yang jauh begitu.

Imbas secara kebudayaan, sejak lama Tamansari dikenal sebagai pusat perayaan ruang hidup di kampung kota, begitu. Jadi, di sana ada festival dan sebagainya.

Satu hal lainnya adalah, pelajaran penting yang didapat dari warga Tamansari. Warga Tamansari mampu melawan saat digusur. Kalau daerah lain di Bandung, ketika digusur ya digusur saja begitu.

Masjid Al-Islam yang menjadi tempat pengungsian untuk warga usai pembongkaran bangunan di Tamansari, Kota Bandung, Kamis (12/12/2019). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)
Masjid Al-Islam yang menjadi tempat pengungsian untuk warga usai pembongkaran bangunan di Tamansari, Kota Bandung, Kamis (12/12/2019). (ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi)

Tapi warga Tamansari melawan. Ini semacam teladan bagi warga lain di Bandung, karena ke depan, akan banyak penggusuran serupa.

Ada studi bahwa nanti progam Kotaku—Kota Tanpa Kumuh (milik Pemkot Bandung)—itu akan membenahi, dalam tanda kutip, permukiman kumuh, ada 300 sekian titik lagi.

Jadi, merujuk konteks itu, ke  depan akan lebih banyak daerah-daerah digusur. Buat saya, perlawan warga kemarin di Tamansari adalah semacam teladan buat daerah lainnya di Bandung.

Bagaimana nasib warga dan anak-anak seusai penggusuran?

Beberapa di antaranya ada yang tinggal menumpang di tempat saudara. Tetapi mayoritas masih di masjid. Di depan masjid, warga mendirikan posko, dan di lantai atas masjid dipakai buat tidur.

Selain itu, solidaritas dan bantuan dari warga lain masih mengalir. Karena ini bukan cuma 11 kepala keluarga, bukan cuma itu, ini soal simbolisasi bagaimana warga Bandung melawan kesewenang-wenangan.

Penggusuran menjadi bukti rezim bakal represif meski dicap populis?

Kalau itu otomatis, dan sudah diperingatkan juga sejak era pemilu lalu. Bahwa figur itu tidak penting, yang paling penting itu bagaimana kita melihat oligarki di belakangnya. Siapa oligarki di belakangnya? Ya selama ini pemodal-pemodal.

Hal ini tidak hanya terjadi di Bandung, tapi juga di Tumpang Pitu, Kulonprogo, Banyuwangi, Bekasi, di mana-mana.

Artinya, ada yang sedang bergerak hari ini di Indonesia, dan sebenarnya luput oleh media di banyak tempat.

Oligarki ada di balik bertahannya politik penggusuran?

Iya jelas, seperti yang saya sampaikan, bahwa yang berkuasa sekarang adalah oligarki.

Apa resolusi dari masalah penggusuran Tamansari ini?

Resolusi sudah jelas sih sebenarnya, bahwa pemerintah tarik mundur, hormati pengadilan dulu. Kemudian penuhi hak-hak warga, dan bikin solusi yang berpihak kepada rakyat.

Kan banyak proposal dari teman-teman bagaimana penanganan ruang kumuh—kalau mereka menyebut itu kumuh. Kemudian sudah ada studi bagaimana merekayasa ruang kumuh itu sedemikian rupa tanpa harus menggusur.

Kemudian rancangan-rancangan kampung kota seperti di Bukit Duri Jakarta itu, kan sudah ada usulannya.

REKOMENDASI

TERKINI