Yuli Riswati: Ingin Bantu Sesama Pekerja, Malah Ditahan bak Pelaku Kriminal

Senin, 09 Desember 2019 | 20:24 WIB
Yuli Riswati: Ingin Bantu Sesama Pekerja, Malah Ditahan bak Pelaku Kriminal
Ilustrasi wawancara Yuli Riswati. [Foto: Arry Saputra / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama Yuli Riswati tiba-tiba saja jadi bahan pemberitaan sekaligus bahan pembicaraan lumayan heboh beberapa pekan terakhir. Pekerja migran Indonesia atau yang juga biasa dikenal dengan istilah tenaga kerja Indonesia (TKI) itu tepatnya bermasalah dengan pihak berwenang Hong Kong, negeri tempatnya mencari nafkah selama beberapa tahun terakhir.

Tapi Yuli belakangan bermasalah terutama bukan sehubungan pekerjaan rutinnya sehari-hari, melainkan terkait aktivitasnya yang juga sebagai jurnalis warga atau citizen journalist. Tepatnya lagi, ini konon ada hubungannya dengan rangkaian reportase atau liputan-liputannya terkait demonstrasi warga Hong Kong belakangan. Yang jelas, ujung-ujungnya Yuli sempat harus ditahan berhari-hari di fasilitas Imigrasi Hong Kong, sebelum akhirnya dideportasi ke Indonesia.

Seperti apa cerita Yuli yang belakangan sudah menjalin kontak dan di-back up oleh sejumlah organisasi --antara lain seperti AJI Surabaya dan LBH Surabaya-- itu? Apa yang melatarbelakangi aktivitasnya di dunia tulis-menulis hingga menekuni citizen journalism? Bagaimana pula pengalamannya ditahan di Hong Kong, termasuk saat harus mengalami prosedur tak biasa? Berikut petikan wawancara dengannya, termasuk dari keterangan pers yang disampaikannya baru-baru ini, yang dirangkum Suara.com.

Apa latar belakang yang membuat Anda berangkat ke Hong Kong?

Baca Juga: Melawan, Jurnalis Yuli Korban Deportasi di Hong Kong Tempuh Jalur Hukum

Sebagai seorang buruh tani desa, alasan saya untuk pergi ke luar negeri untuk menjadi buruh rumah tangga sama dengan alasan ibu rumah tangga di Indonesia, karena faktor ekonomi dan ingin mencari uang lebih untuk mencukupi kebutuhan hidup yang kami dapatkan di Indonesia terutama orang yang berpendidikan rendah seperti kami. Jadi itu yang membuat saya pergi ke luar negeri untuk menjadi pekerja rumah tangga, (yaitu) adalah mimpi untuk lebih baik untuk memperbaiki persoalan ekonomi keluarga dan hidup layak. Karena saya notabenenya bukan orang yang memiliki ijazah dan melamar pekerjaan yang tinggi.

Bagaimana kemudian ketika di Hong Kong Anda bisa mempunyai aktivitas menulis?

Selain sebagai pekerja rumah tangga, awalnya ide itu muncul dari kebutuhan saya dan hobi. Ketika sesampainya saya di Hong Kong, saya mendapati banyak hal yang saya tidak tahu. Saya ingin tahu, tapi tidak tahu bagaimana cara mengakses apa yang saya ingin tahu itu. Terutama ada banyak masalah terkait hukum setempat, informasi yang saya butuhkan, bagaimana jika saya bermasalah, gimana mengaksesnya. Kemudian muncul ide: siapa sih yang mau bantu saya kalau bukan saya sendiri. Di situ saya mulai berusaha, entah itu lewat selebaran, perpustakaan setempat, rajin membaca.

Kemudian suatu hari saya, mendapati aktivitas pekerja rumah tangga lain di Victoria Park. Dari situ ternyata saya tahu ada aktivitas serikat para buruh di sana, buruh pekerja migran Indonesia di Hong Kong, namanya IMWU (Indonesian Migrant Workers Union). Dari situ saya kemudian tertarik dan ikut mereka. Di situ saya mendapat kesadaran tentang hukum-hukum perburuhan setempat. Di situ saya mulai aktif membantu teman-teman lainnya, aktif demonstrasi menuntut hak-hak buruh di sana.

Baca Juga: Imdadun Rahmat: Sudah Ketahuan, Narasi Penistaan Agama Tak Lagi Efektif

Saya sadar kemudian, saat aksi-aksi di jalan nggak ada yang dengerin setelah orasi. Kayak terabaikan, nggak ada media yang memberitakan. Dari situ timbul keinginan saya untuk, apa sih yang bisa memperpanjang suara kami. Kalau dipikir-pikir itu sebuah tulisan. Kenapa nggak ada berita yang aku inginkan? Cuma gitu-gitu aja, nggak ada berita yang mengangkat pekerja rumah tangga. Dari situ saya mulai kayak belajar menulis dan membaca. Dari situ awalnya masih belum berani untuk publikasi tulisan, karena (ragu entah) layak baca atau tidak. Kemudian suatu ketika ada perlombaan menulis bertema pekerja rumah tangga migran dan perjuangan hidupnya, yang diadakan Forum Lingkar Pena Hong Kong, suatu organisasi di Hong Kong. Salah satu tulisan saya menjadi pemenang, dan timbul rasa percaya diri.

Dari situ saya semakin (rajin) baca dan nulis. Pada akhirnya saya tertarik menulis puisi dan cerpen, dan berita, karena sejauh pengalaman saya sebagai paralegal di IMWU, saya tahu banyak kasus tentang pekerja asing di sana. Tapi saya nggak mungkin menulis, membeberkan tanpa adanya bukti atau menyembunyikan rahasia orang; jatuhnya semakin kayak mengada-ada. Jadi saya belajar menggunakan fiksi, menuliskan cerita yang sebenarnya fakta mereka, kasus mereka, dalam sebuah cerpen. Jadi dimulainya pada kesadaran dan kebutuhan diri sendiri. Jika saya sendiri membutuhkan sebuah informasi yang informatif dan berguna untuk saya, bagaimana dengan komunitas saya. Otomatis butuh dong. Akhirnya saya kemudian ada inisiatif untuk membangun sebuah portal online khusus untuk kami sendiri, Migran Pos itu.

Mengajak teman-teman PRT yang berkeinginan sama, tak berorientasi pada uang, tapi ingin berbagi, sharing pengalaman, dan bagaimana kita dari seorang pekerja rumah tangga (bisa) berguna untuk pekerja rumah tangga lainnya.

Kapan berdirinya Migran Pos?

Berdirinya tahun 2019, waktu Hari Perempuan Internasional. Baru berani bikin itu, (sempat) pesimis karena portal berita online sudah banyak. Kami itu notabenenya PRT, ini nanti akan ke mana? Tapi kita nggak berpikir itu, yang penting ini bisa bermanfaat sesama komunitas kita. Kita tidak pernah berpikir media kita dikenal banyak orang, bahkan sampai membawa saya ke dalam kasus yang saya alami. Awalnya kita pingin punya idealisme, kami pingin memberikan (alternatif bagi) media daring lainnya yang tak memberikan informasi soal komunitas kami.

Jurnalis Yuli Riswati yang dideportasi Pemerintah Hong Kong saat ditemui di Surabaya, Selasa (3/12/2019). (Suara.com/Arry Saputra).
Yuli Riswati, pekerja migran Indonesia yang juga jurnalis warga, yang akhirnya dideportasi pemerintah Hong Kong, saat ditemui di Surabaya, Selasa (3/12/2019). [Suara.com / Arry Saputra]

Yang menjalankan Migran Pos ini berapa orang?

Awalnya saya berdiskusi dengan salah satu teman, Aryo Adityo, dia wartawan Metro TV. Dia sebelum bekerja menjadi seorang wartawan, dia juga bekerja untuk NGO dan mengenal pekerja rumah tangga migran yang di Hong Kong. Dan dia juga pernah menjadi wartawan koran Suara atau koran berbahasa Indonesia untuk pekerja rumah tangga migran di Hong Kong. Saya ingin bikin web, terus dibantu, dan terpikir nama Migran Pos. Aku ingin portal ini menjadi pos-nya untuk migran. Aku memilihkan menu, karena banyak berita hoaks, ada banyak makanan nggak sehat, kita bisa memilihkan menu yang sehat. Karena itu kita ingin membuat Migran Pos.

Kemudian dibantu bikin website dan domain-nya, mendonasikan bantu untuk beli. Kemudian saya punya tim, ngajak teman dekat, tapi cuma dua orang. Kita nawarin nggak ada imbalan, tapi belajar bareng, berproses bareng. Jadi kita bisa bertemu dengan belajar menulis, menyalurkan hobi kita dengan belajar dengan benar. Jadi kita ada 6 perempuan, semuanya PRT. Jadi kami menganggap kerja itu sukarela karena dari hati, ingin berguna untuk orang lain. Kami belajar membeli buku jurnalis, berusaha dapat narasumber mulai dari nol.

Seperti apa di sana (cara) mendapatkan info untuk liputan?

Media ini dibangun jelang Pemilu kan. Saya menghubungi KJRI, (melaporkan) membuat media Migran Pos, meminta izin melakukan peliputan jalannya pemilu di Hong Kong. Minta izin, KJRI pada detik-detik terakhir menjawab, 'Iya, kami memberi izin Anda untuk meliput, tolong kirim data siapa yang meliput.' Waktu itu ada 3 TKP, butuh 3 orang, akhirnya meminta bantuan yang lain untuk membagi, (itu) berita awal.

Karena efek Pemilu, membuat PRT di sana terbagi dua kubu, saling sebar berita hoaks. Jadi kayak harus ada sesuatu yang beda. Itu berhasil diberikan Migran Pos. Ternyata banyak yang tertarik, dan akhirnya kami ada dan berhasil melakukan peliputan aktual dari tempatnya. Dari semua berita yang ada, hanya kami yang bisa menyajikan nggak bela sana dan nggak bela sini.

After Pemilu, kita butuh misi jalan-jalan, berproses memasukkan info jalan-jalan dan aktivitas PRT di Hong Kong. Kita akhirnya juga belajar video, karena orang-orang lebih suka lihat Youtube. Kita belajar semuanya dari nol, (termasuk) menggunakan HP. Maksimal banget, awalnya jelek, dan meningkat (dan) meningkat.

Awal memberitakan demo (protes warga Hong Kong)?

Pada suatu waktu, saya terjebak macet. Kita tulis juga ada macet besar di MTR, ketika di pusat libur pekerja rumah tangga ternyata ada demonstrasi. Berbasis pengalaman saya di serikat buruh, bahwa demo di Hong Kong adalah kegiatan sah, dilindungi hukum, ada izin dan tidak mengganggu demonstrasi. Tapi ada bus terjebak dan taksi yang terjebak. Saya tanya, ternyata dapat info ada demo untuk menentang ekstradisi. Ternyata aksi itu melebihi (jumlah) orangnya, akhirnya membuat transportasi terjebak.

Kita beritakan itu, karena merasa (sebagai) kebutuhan informasi, yang terjadi di Hong Kong seperti apa. Kemudian kami continue memberitakan itu dan aktivitas lainnya. Jadi kayak sudah menjadi acuan teman-teman kami. Awalnya nggak terpikir, konfiden bahwa itu kebutuhan, nggak mikir secara politik. Otomatis soal seperti ini (kan orang) harus tahu.

Kemudian yang awalnya yang aksi mingguan, jadi demo harian, terjadi kerusuhan dan vandalisme. Itu kami kontinyu memberitakan, karena tidak diberitakan media lain. Jadi mereka benar-benar membutuhkan berita yang berbahasa Indonesia. Dan itu tidak bisa didapatkan media di Indonesia, karena mereka hanya mengutip dari media asing atau mengutip video yang viral.

Bagaimana kejadian yang menimpanya itu bermula, serta pengalaman buruknya selama ditahan, dituturkan oleh Yuli Riswati di laman berikutnya..!

Kontributor : Arry Saputra

Bagaimana awal mula muncul kasus yang menimpa Anda ini?

Kami awalnya tak berpikir jika media kami akan menarik perhatian. Ternyata ada isu baru yang membawa nama Migran Pos menjadi perhatian arus utama para demonstran, baik itu pro government atau demokrasi. Di situ ada membawa (isu) bahwa Migran Pos itu media yang mendidik pekerja rumah tangga migran untuk melaporkan para majikan yang demonstrasi untuk mendapatkan upah. Pokoknya bermacam-macam. Karena saya tak merasa seperti itu, maka saya membuat pernyataan, dan dari situ yang membuat saya terjebak juga. Awalnya saya menghubungi fanspage yang menampilkan Migran Pos. Aku (kirim pesan lewat) inbox, kalian itu memang memberitakan begini? Bisa berbahasa Indonesia? Ternyata enggak. Terus, kenapa berani. Mereka bilang, kan udah menyebar. Seharusnya tanya aku dong, coba pakai Google translate, karena web kami kan dikunci, tidak bisa di-copas.

Jadi cuman capture-nya dan menyebar. Tulisan yang sampai viral, saya melihat website Hong Kong 29, dia di situ mem-posting berbagai bahasa. Di situ melaporkan kalau para demonstran dikasih upah segini. Kalau ini sampai dibaca teman-teman dan tahu, bagaimana? Saya di situ bikin berita ada web yang menyediakan hadiah iming-iming untuk orang yang melaporkan demonstran, tapi jangan pernah terpancing karena belum diketahui secara jelas apakah itu web pemerintah atau bukan, atau siapa yang mendanai.

Awalnya yang membaca sedikit, itu akhir Juli. Tiba-tiba Agustus sudah viral di Twitter, fanspage Hong Kong. Ada banyak orang yang terusik, bahkan NGO yang care sama PRT. Mereka langsung menghubungi kami. 'Tulisanmu itu merugikan PRT, bermasalah besar. Mereka sekarang jadi dicurigai oleh orang-orang lokal. Bisa nggak dihapus?' Kami kan punya prinsip, sejak kami membuat awal, memastikan jangan sampai menghapus. Kami memberikan standar sendiri, kalaupun ada salah kami harus meralatnya, bukan menghapus.

Karena tak ada yang perlu dihapus, kemudian jadi masalah. Dan (saya) muncul menyatakan bahwa saya Yuli Riswati dari Migran Pos. 'Saya menulis tidak dibayar oleh siapa pun, dan perlu kalian ketahui kenapa Migran Pos memberitakan ini, karena memang itu bagi kalian PRT migran tidak ada. Tapi ini kebutuhan kami untuk mengetahui, karena kami hidup tinggal bersama kalian dan mempengaruhi kehidupan kalian.' Pernyataan ini saya bagikan ke orang yang viralin itu, jadi menyebar viral juga dan menyebar ke media lokal, dan akhirnya banyak yang meminta wawancara saya. Saya terjebak viral. Ada satu media lokal Mingpau berbahasa Chinese, mungkin ada yang tak suka melaporkan kita, nggak tahu, dugaan (ada) pengacara dan tim. Kemudian tanggal 23 September saya didatangi pihak Imigrasi (Hong Kong). Waktu didatangi itu sebenarnya tak perlu menanyakan nama saya, karena (mereka) memiliki data saya dan tahu saya siapa.

Bagaimana perasaan Anda saat ditahan di CIC (Castle Peak Bay Immigration Centre, fasilitas penampungan Imigrasi Hong Kong --red)?

CIC hanya tempat penampungan, bukan penjara. Jadi CIC itu adalah tempat penampungan sebelum warga asing dipulangkan ke negara asalnya atau mendapatkan status pengungsi. Di situ sebagai proses, bukan orang-orang kriminal. Biasanya di situ orang-orang baru, mengalami kasus di Hong Kong seperti drugs atau kasus penipuan, kasus trafficking, overstay yang tanpa majikan dan tanpa pekerjaan.

Banyak pekerja ilegal asing di situ setelah menjalani penahanan di tahanan wanita Thailam dan penjara wanita Low Wu. Mereka dibawa ke CIC untuk penentuan apakah mereka akan segera dideportasi ataukah akan mengajukan suaka. Nah, di situ seperti yang saya alami sendiri, juga kesaksian semua orang yang tinggal di CIC, mengaku bahwa perlakuan yang diterima lebih parah dari penjara para kriminal.

Padahal, ketika di penjara Low Wu dan Thailam, menurut pengakuan teman-teman dari Filipina, Bangladesh, Indonesia dan Vietnam, serta beberapa negara lain, mereka diperlakukan secara manusiawi. Hak makan, hak tidur, hak beraktivitas pribadi dan akses kesehatan, serta perlakuan lainnya, seperti disediakan air hangat, fasilitas mencuci, ada laundry dan sebagainya, terpenuhi. Tapi untuk di CIC itu tidak berlaku sama sekali.

Kami lebih kayak berada di kamp militer, diperlakukan seperti tahanan militer. Disiplin-disiplin dan aturannya itu sangat ketat. Belum lagi kami harus mandi air dingin, tidak ada tempat menjemur baju. Harus mencuci dengan tangan, itu pun di tempat tidur kami sendiri. Kami senyum sedikit kena hukum, ngobrol sedikit kena hukum. Pokoknya, apa pun gerak kami itu kayak banyak menimbulkan stres, atau malah justru lebih depresi daripada di penjara.

Di CIC hanya tinggal di dua ruangan, ruang siang dan ruang malam. Ruang malam itu untuk jam 5 sore sampai jam 8 pagi, ruang siangnya untuk jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Jadi seharian harus duduk kayak patung dengan mendengarkan instruksi-instruksi. Setiap hari ada kunjungan dari kepala imigrasinya. Mereka setiap jam 10.30 pagi akan mengadakan sidak, menanyakan apakah ada komplain, apakah ada hal-hal yang ingin disampaikan. Kami harus menjawab dua kata, yaitu "Good morning, Sir" dan "Thank you, Sir". Hanya itu yang kami ucapkan, tidak boleh mengucapkan hal lain.

Pernah ada dari salah satu penghuni ruangan itu berani mengacungkan tangan untuk memprotes bahwa dia merasa tidak diperlakukan secara manusiawi. Di situ, bukan kemudian diterima komennya, tapi dia harus ditahan di single cell, atau sel yang khusus untuk satu orang dan tidak boleh ketemu siapa pun.

Yuli Riswati ialah aktivis dan jurnalis warga yang kerap menuliskan kisah dan isu-isu buruh migran dan sudah 10 tahun tinggal di Hong Kong. (AJI SURABAYA)
Yuli Riswati, pekerja migran Indonesia, juga aktivis dan jurnalis warga di Hong Kong yang kemudian dideportasi. (Dok. AJI Surabaya)

Sejauh mana intimidasi yang Anda alami saat berada dalam tahanan?

Intimidasi secara langsung tidak. (Tapi) Justru intimidasi yang saya dapatkan dari pemerintah Indonesia sendiri, dalam hal ini KJRI, mereka beberapa kali memperingatkan tim kami dari Migran Pos untuk menjauhi peliputan atau menulis soal isu-isu terkini di Hong Kong. Pernah beberapa kali pihak KJRI menelepon teman yang mengelola Migran Pos dan mengatakan 'bisa tidak menulis hal lain selain gerakan anti-ekstradisi?'.

Kalau dari pemerintah Hong Kong, meskipun pada ujungnya saya mengalami penahanan, sejauh ini cukup diperlakukan dengan baik, dan terkesan malah dibedakan dan diistimewakan.

Tapi bukan berarti saya mengatakan keadaan di sana baik, karena saya tidak boleh berbicara mewakili diri sendiri. Saya juga ingin menunjukkan bahwa banyak teman-teman saya tidak baik-baik saja. Toh, saya juga mengalami sakit, muntah-muntah, dan lain sebagainya.

Apa saja aktivitas selama di tahanan?

Kami cuma punya dua aktivitas, duduk kayak di kamp militer dan menunggu. Eksistensi kami ditentukan oleh angka, begitu masuk tahanan. Pelajaran pertama, saya harus mengingat angka 1672 sebagai pengganti nama.

Yang paling membuat saya depresi untuk seminggu pertama ada di tahanan adalah kaget, karena saya tidak merasa melakukan kriminal, tapi waktu itu mengalami pemeriksaan badan sampai bugil. Di situ saya tidak terima karena bukan penjahat kriminal, bahkan pengadilan tidak memvonis saya melakukan kejahatan.

Di situ juga dalam surat, saya mendapatkan kejanggalan, sempat terjadi perdebatan dengan pihak Imigrasi (Hong Kong), sebab tertulis saya diperiksa menggunakan baju, tapi faktanya saya diminta bugil. Saya pertama (awal) masuk tahanan (juga) dikasih daftar hak-hak yang tertulis detail, tapi faktanya tidak ada.

Hal apa yang paling membuat trauma (selama ditahan)?

Di awal saya datang, saya nggak menyangka akan ditahan, karena pengadilan sudah menyatakan bahwa kasus saya sudah selesai. Tanpa hukuman, hanya diperingatkan dalam satu tahun tak boleh melanggar. Dan harus berkelakuan baik. Saya nggak merasa menjadi penjahat, ya. Waktu itu awalnya diperiksa saya harus bugil tanpa busana, nungging diperiksa. Itu yang membuat saya syok, karena nggak pakai baju. Kita kan Muslim. Saya nggak terima, dan (itu) membuat depresi. Jadi itu semacam pemeriksaan fisik, semacam kepada kriminal.

Seharusnya pakai baju saja diperiksa pada umumnya. Tapi itu benar-benar memang perlakuannya seperti itu. Seminggu awal (saya) seperti syok, depresi, mungkin belum siap menjalani tahanan. Akhirnya saya bisa komunikasi dengan sesama orang yang ditahan. Saya tanya, apa yang saya lakukan dalam seminggu? Apa, kamu udah kayak orang gak jelas. (Katanya) Kita sampai mikir kamu kasusnya apa, sampai kasusnya seperti itu, aneh banget. Jadi saya setiap hari itu merem, kayak tidur, nggak pernah ngomong sama orang. Begitu nanti kaya kesenggol gitu, teriak, 'Jangan ganggu aku!' Kayak sensitif. Mereka mikir kayak orang stres gitu.

Selama di CIC ada yang menjenguk?

Untuk saya sendiri, beruntung karena banyak NGO dan warga lokal berinisiatif untuk menjenguk. Kita itu harus memasukkan nama visitor. Saya mengalami kendala karena saya nggak tahu siapa nama mereka. Kemudian warga lokal hanya mengetahui nickname mereka. Dan teman saya, alhamdulillah-nya, memberitahukan ke CIC untuk memberikan nama-nama yang akan mengunjungi saya. Jadi mereka yang ngasih daftar nama ke saya. Secara bergantian, dan itu hanya 15 menit dalam sehari satu orang. Itu pun dari balik kaca, kaya kedap udara gitu. Cuman 'gimana kabarmu', 'butuh apa'. Ya, seperti itu.

Banyak pekerja migran Indonesia yang berada di sana, juga ada yang 8 bulan, nggak ada yang ngunjungin. Saya beruntung karena ada yang mengunjungi.

Di laman berikutnya, simak rencana Yuli Riswati ke depan, sekaligus rekaman penuturan dan keterangan lengkapnya melalui video..!

Kontributor : Arry Saputra

Sedekat apa Anda dengan warga lokal?

Mungkin kedekatan kami seperti kayak simbiosis mutualisme. Jadi mereka orang-orang yang bekerja di NGO, LSM, yang notabenenya peduli dengan pekerja migran. Saya dikenal sebagai PRT yang aktif memberikan informasi seputar PRT Indonesia. Akrab seperti sahabat, nggak menganggap saya sebagai warga asing. Teman dekat mereka. Kalau sedih, mereka juga merasakan kesedihan. Jadi habis dikunjungi nangis, karena terharu. Ternyata saya masih dipeduliin orang, meski mengalami keadaan buruk. Ada salam dari sana, dari sini, 'Kamu harus semangat, makan'. Deket banget, sebagai teman, sahabat, simbiosis mutualisme warga lokal dan pendatang yang berkontribusi untuk mereka dan negara mereka. Mereka menganggapnya seperti itu.

Setelah pulang ke Surabaya, apa yang akan dilakukan?

Hingga saat ini saya masih berkoordinasi dengan teman-teman yang selama ini mendukung dan mengikuti kasus saya di Hong Kong. Untuk beberapa hari ke depan ini, kami akan tetap berkoordinasi, kemungkinan mencari pendampingan pengacara di sini yang akan berkoordinasi dengan pengacara di Hong Kong sehubungan dengan deportasi saya yang banyak kejanggalan.

Seperti misalkan (soal) saya dua kali diminta membuat statement. Pertama, diminta membuat statement bahwa saya yang menginginkan pulang ke Indonesia dan diminta untuk membatalkan aplikasi visa kerja yang sedang dalam proses. Padahal saya sudah mendapatkan balasan dari pihak imigrasi Wan Cay yang dikirimkan ke CIC, bahwa aplikasi visa saya diterima dan sedang dalam pertimbangan.

Kayak detik-detik terakhir saya mau dipulangkan pada tanggal 2 Desember. Ketika kami sudah berjalan ke bandara, lima menit kemudian arah mobilnya berbalik. Di situ ternyata saya diminta lagi membuat surat pernyataan di atas kertas putih, bahwa saya mengetahui pengaturan pemulangan ini dan mengizinkan Imigrasi memulangkan saya. Jadi kesannya, mereka ingin mengatakan bahwa saya bukan dideportasi tapi saya sendiri yang menginginkan pulang ke Indonesia.

Kemudian, ketika pengacara saya meminta pihak Imigrasi agar saat sampai di bandara boleh menghubungi saya, pihak Imigrasi mengatakan pada saya bahwa pengacara saya tidak bisa datang karena dihubungi tidak tersambung. Tapi ternyata pengacara mengaku tidak dihubungi. Sebaliknya, pihak Imigrasi menyatakan ke pengacara bahwa Yuli sudah membuat pernyataan bahwa dia merasa puas dengan pelayanan Imigrasi dan menginginkan pulang ke Indonesia. Jadi sampai dideportasi, saya tidak bertemu dengan pengacara.

Klarifikasi mengenai pemberitaan Yuli Riswati jurnalis warga di Hong Kong disampaikan di Kantor LBH Surabaya pada Jumat (6/12/2019). [Suara.com/Arry Saputra]
Klarifikasi mengenai pemberitaan Yuli Riswati, jurnalis warga di Hong Kong, disampaikan di Kantor LBH Surabaya pada Jumat (6/12/2019). [Suara.com / Arry Saputra]

Kalau perhatian KJRI sejauh ini?

Kepada pemerintah Indonesia sendiri saat ini saya tidak memiliki harapan apa pun, bahkan saya merasa sangat kecewa karena selama berada di dalam tahanan, ternyata pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong membuat pernyataan-pernyataan sikap yang dikutip beberapa media terkesan malah memanfaatkan kasus saya.

Mereka membuat cerita tersendiri kepada media lain bahwa saya ditangkap ketika sedang berada di bandara. Kepada pihak lain bilang, mereka sedang melakukan pendampingan dan memastikan hak-hak saya dipenuhi, tetapi kemudian di media lain mengutip bahwa KJRI sedang berusaha melakukan pendampingan dan saya menolak didampingi.

Kenyataannya, dari awal proses kasus hingga saya dideportasi, tidak pernah ada satu pun pihak KJRI yang menawarkan bantuan atau mendampingi saya guna memastikan hak-hak terpenuhi. Sejauh pengalaman saya sendiri ketika berada di tahanan, bertemu dengan teman-teman sesama pekerja migran Indonesia yang sedang berada di tahanan, mengaku selama ini pihak KJRI selalu mengklaim bahwa mereka melakukan kunjungan-kunjungan ke penjara dan memastikan hak-hak warga negara Indonesia dipenuhi dan diperlakukan secara layak.

Sebelumnya, Anda sadar tidak bahwa akan ada konsekuensi ketika meliput demonstrasi di Hong Kong?

Terkait aktivitas saya sebagai jurnalis warga, sebenarnya di Hong Kong sendiri terkenal dengan kebebasan berbicara dan bersuara sebelum gerakan anti-ekstradisi berlangsung dan situasi seperti sekarang. Berbagi informasi dan lain sebagainya, terutama dalam kaitan bukan menyebar ujaran kebencian dan lain-lain, itu sebenarnya tidak merupakan pelanggaran hukum. Tujuan saya dari awal ingin berbagi informasi kepada sesama pekerja rumah tangga di Hong Kong, karena dari pengalaman sendiri, saya mengetahui bahwa banyak media baik itu media di Hong Kong atau media di Indonesia, kurang memperhatikan informasi yang dibutuhkan pekerja rumah tangga.

Itu yang membuat saya ingin berbagi kebutuhan informasi kepada teman-teman pekerja migran. Dengan mengetahui isu-isu terkini dan apa yang terjadi di Hong Kong, kami bisa melindungi diri sendiri, misalkan aksi ada di mana, kita harus ke mana, transportasi hari ini ada-tidak. Ketika kami bepergian atau bekerja di luar rumah majikan, kami akan tahu itu, dan bisa memproteksi diri kami, karena ketika terjadi aksi kemudian bentrokan, ada gas air mata dan lain-lainnya.

Pekerja migran juga harus melindungi kesehatan dan keselamatan mereka. Siapa yang akan melindungi, kalau bukan mereka sendiri yang mencari informasi? Kemudian kalau pada ujungnya informasi yang kami suguhkan membuat saya terjebak dalam situasi seperti ini, sebenarnya (itu) di luar prediksi.

Bagaimana Anda meliput di daerah konflik yang saat itu kejadiannya berhari-hari?

Karena kami kan liburnya setiap seminggu sekali ya, jadinya liputannya waktu libur. Nah, untuk demonstrasi yang awalnya gerakan anti-ekstradisi yang berlangsung seminggu sekali, berubah jadi sehari sekali. Untuk meng-cover berita harian, kami mengandalkan grup-grup warga lokal, grup jurnalis. Jadi saya tahu benar-benar apa yang terjadi di sana. Saya nggak memberitakan semuanya, tapi memberitakan yang menurut saya penting untuk diberitahukan ke PRT di sana. Informasi transportasi demonya di sini, nanti akan ada kereta ditutup (dan sebagainya). Jadi saya akan memilih yang memang informatif dan kebutuhan kami.

Kemudian saya juga mengikuti media mainstream di Hong Kong yang kredibilitasnya terpercaya. Kami memastikan langsung, bertanya kepada mereka berita itu benar apa enggak. Kalau khusus untuk hari Minggu, kami kan berenam, jadi tidak semuanya bisa ikut. Kami bagi, ada yang meliput kegiatan PRT apa, ada yang mengikuti event-event. Kemudian kami khusus, saya berdua dan yang lain nemenin. Karena apa? Untuk meliput aksi itu harus memastikan paham Bahasa (Indonesia), dan yang paham cuma saya. Yang lain hanya sekadar bahasa yang biasa. Kalau kita tidak paham Bahasa, takutnya terjebak.

Maka dari itu saya melarang teman-teman yang tak paham Bahasa tanpa seizin saya, karena untuk memastikan keselamatan dan tidak mengganggu kontrak kerja kami dengan majikan pulang tempat waktu. Seperti saya sendiri, harus pulang jam 8 malam sudah masuk rumah. Kami akan memilih tempat yang terjangkau dan punya alternatif transportasi. Jadi jam 5 kami harus sudah menemukan jalan pulang, jangan sampai pulang terlambat dan ada masalah dengan majikan.

Kami juga memilih, kadang dalam satu hari ada beberapa titik aksi, kami harus memilih di mana tempat yang kami bisa akses dan mudah ditinggalkan, (yang) kami bisa safety. Kami tidak memaksakan diri. Tapi kalau transportasi dan demonya di mana, kami harus punya karena berita itu dibutuhkan. Misalnya aksi di titik A, (sehingga) mereka (pekerja) akan melalui titik B untuk mendapatkan transportasi.

Setelah Migran Pos viral dan membutuhkan informasi, kemudian muncul beberapa (pihak) menginformasikan tentang informasi dan info-info lainnya. Sempat muncul pro-kontra, ada yang menganggap kami ikut campur, bahkan dari warga Indonesia sendiri. Kita kan pekerja rumah tangga, ngapain ikut. Sebetulnya kami tak ada niat itu, tapi kita harus mengetahuinya untuk kita.

Anda punya hobi lain?

Saya punya hobi fotografi, punya grup Lensasional, NGO lokal yang memberdayakan perempuan migran melalui fotografi. Ada dari Filipina dan Indonesia, bahwa perempuan bisa berdaya melalui fotografi emosional, bisa melalui gambar.

Kontributor : Arry Saputra

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI