Yuli Riswati: Ingin Bantu Sesama Pekerja, Malah Ditahan bak Pelaku Kriminal

Senin, 09 Desember 2019 | 20:24 WIB
Yuli Riswati: Ingin Bantu Sesama Pekerja, Malah Ditahan bak Pelaku Kriminal
Yuli Riswati, pekerja migran Indonesia sekaligus jurnalis warga yang ditahan dan dideportasi pemerintah Hong Kong, saat ditemui di Surabaya, Selasa (3/12/2019). [Suara.com / Arry Saputra]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sedekat apa Anda dengan warga lokal?

Mungkin kedekatan kami seperti kayak simbiosis mutualisme. Jadi mereka orang-orang yang bekerja di NGO, LSM, yang notabenenya peduli dengan pekerja migran. Saya dikenal sebagai PRT yang aktif memberikan informasi seputar PRT Indonesia. Akrab seperti sahabat, nggak menganggap saya sebagai warga asing. Teman dekat mereka. Kalau sedih, mereka juga merasakan kesedihan. Jadi habis dikunjungi nangis, karena terharu. Ternyata saya masih dipeduliin orang, meski mengalami keadaan buruk. Ada salam dari sana, dari sini, 'Kamu harus semangat, makan'. Deket banget, sebagai teman, sahabat, simbiosis mutualisme warga lokal dan pendatang yang berkontribusi untuk mereka dan negara mereka. Mereka menganggapnya seperti itu.

Setelah pulang ke Surabaya, apa yang akan dilakukan?

Hingga saat ini saya masih berkoordinasi dengan teman-teman yang selama ini mendukung dan mengikuti kasus saya di Hong Kong. Untuk beberapa hari ke depan ini, kami akan tetap berkoordinasi, kemungkinan mencari pendampingan pengacara di sini yang akan berkoordinasi dengan pengacara di Hong Kong sehubungan dengan deportasi saya yang banyak kejanggalan.

Baca Juga: Melawan, Jurnalis Yuli Korban Deportasi di Hong Kong Tempuh Jalur Hukum

Seperti misalkan (soal) saya dua kali diminta membuat statement. Pertama, diminta membuat statement bahwa saya yang menginginkan pulang ke Indonesia dan diminta untuk membatalkan aplikasi visa kerja yang sedang dalam proses. Padahal saya sudah mendapatkan balasan dari pihak imigrasi Wan Cay yang dikirimkan ke CIC, bahwa aplikasi visa saya diterima dan sedang dalam pertimbangan.

Kayak detik-detik terakhir saya mau dipulangkan pada tanggal 2 Desember. Ketika kami sudah berjalan ke bandara, lima menit kemudian arah mobilnya berbalik. Di situ ternyata saya diminta lagi membuat surat pernyataan di atas kertas putih, bahwa saya mengetahui pengaturan pemulangan ini dan mengizinkan Imigrasi memulangkan saya. Jadi kesannya, mereka ingin mengatakan bahwa saya bukan dideportasi tapi saya sendiri yang menginginkan pulang ke Indonesia.

Kemudian, ketika pengacara saya meminta pihak Imigrasi agar saat sampai di bandara boleh menghubungi saya, pihak Imigrasi mengatakan pada saya bahwa pengacara saya tidak bisa datang karena dihubungi tidak tersambung. Tapi ternyata pengacara mengaku tidak dihubungi. Sebaliknya, pihak Imigrasi menyatakan ke pengacara bahwa Yuli sudah membuat pernyataan bahwa dia merasa puas dengan pelayanan Imigrasi dan menginginkan pulang ke Indonesia. Jadi sampai dideportasi, saya tidak bertemu dengan pengacara.

Klarifikasi mengenai pemberitaan Yuli Riswati jurnalis warga di Hong Kong disampaikan di Kantor LBH Surabaya pada Jumat (6/12/2019). [Suara.com/Arry Saputra]
Klarifikasi mengenai pemberitaan Yuli Riswati, jurnalis warga di Hong Kong, disampaikan di Kantor LBH Surabaya pada Jumat (6/12/2019). [Suara.com / Arry Saputra]

Kalau perhatian KJRI sejauh ini?

Kepada pemerintah Indonesia sendiri saat ini saya tidak memiliki harapan apa pun, bahkan saya merasa sangat kecewa karena selama berada di dalam tahanan, ternyata pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong membuat pernyataan-pernyataan sikap yang dikutip beberapa media terkesan malah memanfaatkan kasus saya.

Baca Juga: Imdadun Rahmat: Sudah Ketahuan, Narasi Penistaan Agama Tak Lagi Efektif

Mereka membuat cerita tersendiri kepada media lain bahwa saya ditangkap ketika sedang berada di bandara. Kepada pihak lain bilang, mereka sedang melakukan pendampingan dan memastikan hak-hak saya dipenuhi, tetapi kemudian di media lain mengutip bahwa KJRI sedang berusaha melakukan pendampingan dan saya menolak didampingi.

Kenyataannya, dari awal proses kasus hingga saya dideportasi, tidak pernah ada satu pun pihak KJRI yang menawarkan bantuan atau mendampingi saya guna memastikan hak-hak terpenuhi. Sejauh pengalaman saya sendiri ketika berada di tahanan, bertemu dengan teman-teman sesama pekerja migran Indonesia yang sedang berada di tahanan, mengaku selama ini pihak KJRI selalu mengklaim bahwa mereka melakukan kunjungan-kunjungan ke penjara dan memastikan hak-hak warga negara Indonesia dipenuhi dan diperlakukan secara layak.

Sebelumnya, Anda sadar tidak bahwa akan ada konsekuensi ketika meliput demonstrasi di Hong Kong?

Terkait aktivitas saya sebagai jurnalis warga, sebenarnya di Hong Kong sendiri terkenal dengan kebebasan berbicara dan bersuara sebelum gerakan anti-ekstradisi berlangsung dan situasi seperti sekarang. Berbagi informasi dan lain sebagainya, terutama dalam kaitan bukan menyebar ujaran kebencian dan lain-lain, itu sebenarnya tidak merupakan pelanggaran hukum. Tujuan saya dari awal ingin berbagi informasi kepada sesama pekerja rumah tangga di Hong Kong, karena dari pengalaman sendiri, saya mengetahui bahwa banyak media baik itu media di Hong Kong atau media di Indonesia, kurang memperhatikan informasi yang dibutuhkan pekerja rumah tangga.

Itu yang membuat saya ingin berbagi kebutuhan informasi kepada teman-teman pekerja migran. Dengan mengetahui isu-isu terkini dan apa yang terjadi di Hong Kong, kami bisa melindungi diri sendiri, misalkan aksi ada di mana, kita harus ke mana, transportasi hari ini ada-tidak. Ketika kami bepergian atau bekerja di luar rumah majikan, kami akan tahu itu, dan bisa memproteksi diri kami, karena ketika terjadi aksi kemudian bentrokan, ada gas air mata dan lain-lainnya.

Pekerja migran juga harus melindungi kesehatan dan keselamatan mereka. Siapa yang akan melindungi, kalau bukan mereka sendiri yang mencari informasi? Kemudian kalau pada ujungnya informasi yang kami suguhkan membuat saya terjebak dalam situasi seperti ini, sebenarnya (itu) di luar prediksi.

Bagaimana Anda meliput di daerah konflik yang saat itu kejadiannya berhari-hari?

Karena kami kan liburnya setiap seminggu sekali ya, jadinya liputannya waktu libur. Nah, untuk demonstrasi yang awalnya gerakan anti-ekstradisi yang berlangsung seminggu sekali, berubah jadi sehari sekali. Untuk meng-cover berita harian, kami mengandalkan grup-grup warga lokal, grup jurnalis. Jadi saya tahu benar-benar apa yang terjadi di sana. Saya nggak memberitakan semuanya, tapi memberitakan yang menurut saya penting untuk diberitahukan ke PRT di sana. Informasi transportasi demonya di sini, nanti akan ada kereta ditutup (dan sebagainya). Jadi saya akan memilih yang memang informatif dan kebutuhan kami.

Kemudian saya juga mengikuti media mainstream di Hong Kong yang kredibilitasnya terpercaya. Kami memastikan langsung, bertanya kepada mereka berita itu benar apa enggak. Kalau khusus untuk hari Minggu, kami kan berenam, jadi tidak semuanya bisa ikut. Kami bagi, ada yang meliput kegiatan PRT apa, ada yang mengikuti event-event. Kemudian kami khusus, saya berdua dan yang lain nemenin. Karena apa? Untuk meliput aksi itu harus memastikan paham Bahasa (Indonesia), dan yang paham cuma saya. Yang lain hanya sekadar bahasa yang biasa. Kalau kita tidak paham Bahasa, takutnya terjebak.

Maka dari itu saya melarang teman-teman yang tak paham Bahasa tanpa seizin saya, karena untuk memastikan keselamatan dan tidak mengganggu kontrak kerja kami dengan majikan pulang tempat waktu. Seperti saya sendiri, harus pulang jam 8 malam sudah masuk rumah. Kami akan memilih tempat yang terjangkau dan punya alternatif transportasi. Jadi jam 5 kami harus sudah menemukan jalan pulang, jangan sampai pulang terlambat dan ada masalah dengan majikan.

Kami juga memilih, kadang dalam satu hari ada beberapa titik aksi, kami harus memilih di mana tempat yang kami bisa akses dan mudah ditinggalkan, (yang) kami bisa safety. Kami tidak memaksakan diri. Tapi kalau transportasi dan demonya di mana, kami harus punya karena berita itu dibutuhkan. Misalnya aksi di titik A, (sehingga) mereka (pekerja) akan melalui titik B untuk mendapatkan transportasi.

Setelah Migran Pos viral dan membutuhkan informasi, kemudian muncul beberapa (pihak) menginformasikan tentang informasi dan info-info lainnya. Sempat muncul pro-kontra, ada yang menganggap kami ikut campur, bahkan dari warga Indonesia sendiri. Kita kan pekerja rumah tangga, ngapain ikut. Sebetulnya kami tak ada niat itu, tapi kita harus mengetahuinya untuk kita.

Anda punya hobi lain?

Saya punya hobi fotografi, punya grup Lensasional, NGO lokal yang memberdayakan perempuan migran melalui fotografi. Ada dari Filipina dan Indonesia, bahwa perempuan bisa berdaya melalui fotografi emosional, bisa melalui gambar.

Kontributor : Arry Saputra

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI