Yuli Riswati: Ingin Bantu Sesama Pekerja, Malah Ditahan bak Pelaku Kriminal

Senin, 09 Desember 2019 | 20:24 WIB
Yuli Riswati: Ingin Bantu Sesama Pekerja, Malah Ditahan bak Pelaku Kriminal
Yuli Riswati, pekerja migran Indonesia sekaligus jurnalis warga yang ditahan dan dideportasi pemerintah Hong Kong. [Suara.com / Arry Saputra]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagaimana awal mula muncul kasus yang menimpa Anda ini?

Kami awalnya tak berpikir jika media kami akan menarik perhatian. Ternyata ada isu baru yang membawa nama Migran Pos menjadi perhatian arus utama para demonstran, baik itu pro government atau demokrasi. Di situ ada membawa (isu) bahwa Migran Pos itu media yang mendidik pekerja rumah tangga migran untuk melaporkan para majikan yang demonstrasi untuk mendapatkan upah. Pokoknya bermacam-macam. Karena saya tak merasa seperti itu, maka saya membuat pernyataan, dan dari situ yang membuat saya terjebak juga. Awalnya saya menghubungi fanspage yang menampilkan Migran Pos. Aku (kirim pesan lewat) inbox, kalian itu memang memberitakan begini? Bisa berbahasa Indonesia? Ternyata enggak. Terus, kenapa berani. Mereka bilang, kan udah menyebar. Seharusnya tanya aku dong, coba pakai Google translate, karena web kami kan dikunci, tidak bisa di-copas.

Jadi cuman capture-nya dan menyebar. Tulisan yang sampai viral, saya melihat website Hong Kong 29, dia di situ mem-posting berbagai bahasa. Di situ melaporkan kalau para demonstran dikasih upah segini. Kalau ini sampai dibaca teman-teman dan tahu, bagaimana? Saya di situ bikin berita ada web yang menyediakan hadiah iming-iming untuk orang yang melaporkan demonstran, tapi jangan pernah terpancing karena belum diketahui secara jelas apakah itu web pemerintah atau bukan, atau siapa yang mendanai.

Awalnya yang membaca sedikit, itu akhir Juli. Tiba-tiba Agustus sudah viral di Twitter, fanspage Hong Kong. Ada banyak orang yang terusik, bahkan NGO yang care sama PRT. Mereka langsung menghubungi kami. 'Tulisanmu itu merugikan PRT, bermasalah besar. Mereka sekarang jadi dicurigai oleh orang-orang lokal. Bisa nggak dihapus?' Kami kan punya prinsip, sejak kami membuat awal, memastikan jangan sampai menghapus. Kami memberikan standar sendiri, kalaupun ada salah kami harus meralatnya, bukan menghapus.

Baca Juga: Melawan, Jurnalis Yuli Korban Deportasi di Hong Kong Tempuh Jalur Hukum

Karena tak ada yang perlu dihapus, kemudian jadi masalah. Dan (saya) muncul menyatakan bahwa saya Yuli Riswati dari Migran Pos. 'Saya menulis tidak dibayar oleh siapa pun, dan perlu kalian ketahui kenapa Migran Pos memberitakan ini, karena memang itu bagi kalian PRT migran tidak ada. Tapi ini kebutuhan kami untuk mengetahui, karena kami hidup tinggal bersama kalian dan mempengaruhi kehidupan kalian.' Pernyataan ini saya bagikan ke orang yang viralin itu, jadi menyebar viral juga dan menyebar ke media lokal, dan akhirnya banyak yang meminta wawancara saya. Saya terjebak viral. Ada satu media lokal Mingpau berbahasa Chinese, mungkin ada yang tak suka melaporkan kita, nggak tahu, dugaan (ada) pengacara dan tim. Kemudian tanggal 23 September saya didatangi pihak Imigrasi (Hong Kong). Waktu didatangi itu sebenarnya tak perlu menanyakan nama saya, karena (mereka) memiliki data saya dan tahu saya siapa.

Bagaimana perasaan Anda saat ditahan di CIC (Castle Peak Bay Immigration Centre, fasilitas penampungan Imigrasi Hong Kong --red)?

CIC hanya tempat penampungan, bukan penjara. Jadi CIC itu adalah tempat penampungan sebelum warga asing dipulangkan ke negara asalnya atau mendapatkan status pengungsi. Di situ sebagai proses, bukan orang-orang kriminal. Biasanya di situ orang-orang baru, mengalami kasus di Hong Kong seperti drugs atau kasus penipuan, kasus trafficking, overstay yang tanpa majikan dan tanpa pekerjaan.

Banyak pekerja ilegal asing di situ setelah menjalani penahanan di tahanan wanita Thailam dan penjara wanita Low Wu. Mereka dibawa ke CIC untuk penentuan apakah mereka akan segera dideportasi ataukah akan mengajukan suaka. Nah, di situ seperti yang saya alami sendiri, juga kesaksian semua orang yang tinggal di CIC, mengaku bahwa perlakuan yang diterima lebih parah dari penjara para kriminal.

Padahal, ketika di penjara Low Wu dan Thailam, menurut pengakuan teman-teman dari Filipina, Bangladesh, Indonesia dan Vietnam, serta beberapa negara lain, mereka diperlakukan secara manusiawi. Hak makan, hak tidur, hak beraktivitas pribadi dan akses kesehatan, serta perlakuan lainnya, seperti disediakan air hangat, fasilitas mencuci, ada laundry dan sebagainya, terpenuhi. Tapi untuk di CIC itu tidak berlaku sama sekali.

Baca Juga: Imdadun Rahmat: Sudah Ketahuan, Narasi Penistaan Agama Tak Lagi Efektif

Kami lebih kayak berada di kamp militer, diperlakukan seperti tahanan militer. Disiplin-disiplin dan aturannya itu sangat ketat. Belum lagi kami harus mandi air dingin, tidak ada tempat menjemur baju. Harus mencuci dengan tangan, itu pun di tempat tidur kami sendiri. Kami senyum sedikit kena hukum, ngobrol sedikit kena hukum. Pokoknya, apa pun gerak kami itu kayak banyak menimbulkan stres, atau malah justru lebih depresi daripada di penjara.

Di CIC hanya tinggal di dua ruangan, ruang siang dan ruang malam. Ruang malam itu untuk jam 5 sore sampai jam 8 pagi, ruang siangnya untuk jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Jadi seharian harus duduk kayak patung dengan mendengarkan instruksi-instruksi. Setiap hari ada kunjungan dari kepala imigrasinya. Mereka setiap jam 10.30 pagi akan mengadakan sidak, menanyakan apakah ada komplain, apakah ada hal-hal yang ingin disampaikan. Kami harus menjawab dua kata, yaitu "Good morning, Sir" dan "Thank you, Sir". Hanya itu yang kami ucapkan, tidak boleh mengucapkan hal lain.

Pernah ada dari salah satu penghuni ruangan itu berani mengacungkan tangan untuk memprotes bahwa dia merasa tidak diperlakukan secara manusiawi. Di situ, bukan kemudian diterima komennya, tapi dia harus ditahan di single cell, atau sel yang khusus untuk satu orang dan tidak boleh ketemu siapa pun.

Yuli Riswati ialah aktivis dan jurnalis warga yang kerap menuliskan kisah dan isu-isu buruh migran dan sudah 10 tahun tinggal di Hong Kong. (AJI SURABAYA)
Yuli Riswati, pekerja migran Indonesia, juga aktivis dan jurnalis warga di Hong Kong yang kemudian dideportasi. (Dok. AJI Surabaya)

Sejauh mana intimidasi yang Anda alami saat berada dalam tahanan?

Intimidasi secara langsung tidak. (Tapi) Justru intimidasi yang saya dapatkan dari pemerintah Indonesia sendiri, dalam hal ini KJRI, mereka beberapa kali memperingatkan tim kami dari Migran Pos untuk menjauhi peliputan atau menulis soal isu-isu terkini di Hong Kong. Pernah beberapa kali pihak KJRI menelepon teman yang mengelola Migran Pos dan mengatakan 'bisa tidak menulis hal lain selain gerakan anti-ekstradisi?'.

Kalau dari pemerintah Hong Kong, meskipun pada ujungnya saya mengalami penahanan, sejauh ini cukup diperlakukan dengan baik, dan terkesan malah dibedakan dan diistimewakan.

Tapi bukan berarti saya mengatakan keadaan di sana baik, karena saya tidak boleh berbicara mewakili diri sendiri. Saya juga ingin menunjukkan bahwa banyak teman-teman saya tidak baik-baik saja. Toh, saya juga mengalami sakit, muntah-muntah, dan lain sebagainya.

Apa saja aktivitas selama di tahanan?

Kami cuma punya dua aktivitas, duduk kayak di kamp militer dan menunggu. Eksistensi kami ditentukan oleh angka, begitu masuk tahanan. Pelajaran pertama, saya harus mengingat angka 1672 sebagai pengganti nama.

Yang paling membuat saya depresi untuk seminggu pertama ada di tahanan adalah kaget, karena saya tidak merasa melakukan kriminal, tapi waktu itu mengalami pemeriksaan badan sampai bugil. Di situ saya tidak terima karena bukan penjahat kriminal, bahkan pengadilan tidak memvonis saya melakukan kejahatan.

Di situ juga dalam surat, saya mendapatkan kejanggalan, sempat terjadi perdebatan dengan pihak Imigrasi (Hong Kong), sebab tertulis saya diperiksa menggunakan baju, tapi faktanya saya diminta bugil. Saya pertama (awal) masuk tahanan (juga) dikasih daftar hak-hak yang tertulis detail, tapi faktanya tidak ada.

Hal apa yang paling membuat trauma (selama ditahan)?

Di awal saya datang, saya nggak menyangka akan ditahan, karena pengadilan sudah menyatakan bahwa kasus saya sudah selesai. Tanpa hukuman, hanya diperingatkan dalam satu tahun tak boleh melanggar. Dan harus berkelakuan baik. Saya nggak merasa menjadi penjahat, ya. Waktu itu awalnya diperiksa saya harus bugil tanpa busana, nungging diperiksa. Itu yang membuat saya syok, karena nggak pakai baju. Kita kan Muslim. Saya nggak terima, dan (itu) membuat depresi. Jadi itu semacam pemeriksaan fisik, semacam kepada kriminal.

Seharusnya pakai baju saja diperiksa pada umumnya. Tapi itu benar-benar memang perlakuannya seperti itu. Seminggu awal (saya) seperti syok, depresi, mungkin belum siap menjalani tahanan. Akhirnya saya bisa komunikasi dengan sesama orang yang ditahan. Saya tanya, apa yang saya lakukan dalam seminggu? Apa, kamu udah kayak orang gak jelas. (Katanya) Kita sampai mikir kamu kasusnya apa, sampai kasusnya seperti itu, aneh banget. Jadi saya setiap hari itu merem, kayak tidur, nggak pernah ngomong sama orang. Begitu nanti kaya kesenggol gitu, teriak, 'Jangan ganggu aku!' Kayak sensitif. Mereka mikir kayak orang stres gitu.

Selama di CIC ada yang menjenguk?

Untuk saya sendiri, beruntung karena banyak NGO dan warga lokal berinisiatif untuk menjenguk. Kita itu harus memasukkan nama visitor. Saya mengalami kendala karena saya nggak tahu siapa nama mereka. Kemudian warga lokal hanya mengetahui nickname mereka. Dan teman saya, alhamdulillah-nya, memberitahukan ke CIC untuk memberikan nama-nama yang akan mengunjungi saya. Jadi mereka yang ngasih daftar nama ke saya. Secara bergantian, dan itu hanya 15 menit dalam sehari satu orang. Itu pun dari balik kaca, kaya kedap udara gitu. Cuman 'gimana kabarmu', 'butuh apa'. Ya, seperti itu.

Banyak pekerja migran Indonesia yang berada di sana, juga ada yang 8 bulan, nggak ada yang ngunjungin. Saya beruntung karena ada yang mengunjungi.

Di laman berikutnya, simak rencana Yuli Riswati ke depan, sekaligus rekaman penuturan dan keterangan lengkapnya melalui video..!

Kontributor : Arry Saputra

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI