Suara.com - Sebuah kegiatan bertajuk Reuni 212 yang identik dengan massa umat Islam dalam jumlah besar, kembali digelar pada Senin (2/12/2019), berpusat di kawasan Monas, Jakarta. Diawali sejak dini hari dengan ibadah salat Tahajud dan kemudian Subuh berjamaah, kegiatan ini menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain mulai dari para tokoh GNPF Ulama, Habib Rizieq Shihab yang berpidato melalui video, hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Meski kenyataannya masih banyak di antara peserta Reuni 212 ini yang rela datang jauh-jauh dari berbagai daerah, bahkan sampai mengambil cuti atau melakukan persiapan khusus, banyak pihak menilai ajang kali ini tidak lagi seakbar yang lalu-lalu --apalagi Aksi 212 aslinya yang terjadi pada 2016 lalu. Hal itu tidak saja sebagaimana disampaikan oleh sebagian warga, oleh netizen di berbagai saluran media sosial, namun juga oleh sejumlah pengamat.
Lantas, akan bagaimanakah kelanjutan gerakan ini? Apa dan bagaimanakah kini peran sosok seperti Habib Rizieq Shihab, juga Prabowo Subianto, di dalamnya? Lebih jauh, bagaimana pula kedudukannya dalam gelombang (gerakan) Islam politik? Apakah ini merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai populisme Islam?
Mencoba mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, berikut petikan wawancara Suara.com dengan Imdadun Rahmat, Direktur Eksekutif Said Aqil Siroj Institute atau SAS Institute, baru-baru ini:
Aksi Reuni 212 pada Senin ini, bagaimana Anda melihatnya? Apakah masih kuat, atau sudah bisa dinilai tak lagi masuk hitungan?
Dari luasnya dukungan, sudah sangat jauh merosot. Saya kira itu wajar, sebagai akibat dari proses politik yang berlangsung. Yang pertama soal kesadaran umat Islam, bahwa apa tujuan yang mau dicapai dari demonstrasi itu tidak lagi dipahami sebagai membela Islam.
Kalau 212 dulu begitu masif dukungan dari umat Islam, karena gencarnya kampanye terjadi penistaan terhadap Islam; ketika itu terkait Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang menyebut surat Al-Maidah ayat 51. Ketika itu memang kampanyenya berhasil, sehingga menarik dukungan dan simpati dari publik umat Islam yang sangat kuat. Jadi menjadi "korban" dari politisasi agama.
Setelah proses politik berlangsung, maka umat mulai memahami tujuannya apa, yang tidak lain tidak bukan itu tujuannya adalah politik. Sehingga dukungan terhadap 212 dan kelompoknya ini makin kempes, karena publik yang non FPI dan yang non kelompok berkepentingan, artinya publik Islam di luar itu, tidak menganggap ini barang (Reuni 212) dalam rangka membela Islam. Jadi tidak ada lagi simpati yang meluas.
Kedua, momentum politiknya hilang. Dulu Aksi 212 itu didorong oleh kepentingan politik FPI dan partai politik, ada Gerindra, PKS, PAN, Demokrat dan kelompok-kelompok kontra Ahok. Jadi ketika itu, terjadi bertemunya kepentingan partai politik dan ormas Islam. Sekarang dukungan umat Islam dan ormas Islam kempes, dukungan dari partai politik juga kempes. Misalnya Gerindra yang dulu menjadi pendukung utama dari event 212 itu, kini sudah masuk ke pemerintahan. Jadi sudah tidak lagi terjadi "perselingkuhan politik" antara FPI dan kawan-kawan dengan Gerindra dan kawan-kawan.
Baca Juga: Wayan Suparta: Iklim dan Cuaca untuk Umat Manusia
Meskipun kemarin masih muncul sosok-sosok Gerindra, PKS, dan lain-lain, seperti Anies, masih muncul di situ, tetapi tidak sebesar dulu. Dulu kan sumber-sumber pendanaan besar sekali, baik dari partai-partai maupun dari elit politik tertentu dari kelompok itu.
Gelombang Islam politik di Indonesia ini sebenarnya pasangnya sejak kapan, dan kenapa? Apakah saat Pilkada DKI 2017, atau itu adalah "puncak gunung es" saja? Apa yang melatarinya?
Pilkada DKI itu sebenarnya tidak bisa disebut sebagai puncaknya. Saya kira hanya momentumnya saja dapat. Sementara gerakan kebangkitan Islam itu sama seperti semula, artinya, saat ini tidak bisa disebut grafik turun dalam gerakan kebangkitan Islam, dalam pengertian gerakan Islam garis keras.
Sebenarnya ini sudah cukup lama. Embrionya tahun 1980-an, ketika muncul Islamisasi kampus-kampus umum melalui gerakan masjid. Gerakan mahasiswa halaqoh-halawoh, kelompok kecil yang terlihat (sebagai) clandestine movement. Setelah reformasi, mereka punya momentum; dari yang sembunyi di era orde baru, mendapat momentum untuk manifes, untuk terbuka.
Berbagai organisasi Islam garis keras itu mulai terbuka dan berdiri. Seperti HTI, PK (Partai Keadilan, cikal bakal PKS), munculnya MMI, kemudian berkembang menjadi JAT, Forum Umat Islam (FUI), termasuk FPI, muncul semua, dan gerakan bawah tanah terus jalan. Lalu munculnya ormas-ormas berikut kegiatannya. Jadi memang reformasi memberikan peluang bagi gerakan garis keras itu untuk menjalankan misi dan gerakannya.

Jadi, Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 itu momentum saja. Kalau ada momentum yang menyamai itu, ya, akan muncul peristiwa yang sama. Cenderung modal sosial dan modal politik kelompok garis keras ini tidak berhasil dibina oleh pemerintah. Ini sih menunggu momentum saja, (masih) akan muncul gerakan-gerakan serupa.
Apa yang melatarinya? Pertama, setelah 1979 pasca momentum revolusi Iran. Nah, revolusi Iran itu di Timur Tengah memunculkan kebangkitan baru yang berefek pada bangkitnya Ikhwanul Muslimin dan varian-variannya termasuk HTI. HTI itu kan pecahan dari Ikhwanul Muslimin.
Di Indonesia, Pak Soeharto begitu kuat, sampai ke kampus-kampus dan kritisisme anak muda tidak tersalurkan melalui gerakan pro-demokrasi. Gerakannya perlawanan ideologis, melawan orde baru tidak dari sisi otoritariannya, tetapi sisi "ini sistem yang tidak Islami", "ini sistem kufur yang harus dilawan". Jadi oposisi yang berwatak ideologis yang terpengaruh Islamisme, tuntutan untuk mendirikan negara Islam, negara khilafah dan penerapan syariat Islam sebagai konstitusi.
Nah, dalam situasi seperti ini, banyak alumni-alumni dari Timur Tengah yang pulang ke Indonesia membawa ide-ide Wahabi, khilafah. Watak yang lebih keras masuk ke Indonesia sebagai pengaruh dari Timur Tengah. Ada PKS di level partai, ada ormas seperti HTI, juga ada kelompok-kelompok keras yang terpengaruh Arab Saudi. Hal itu membuat sebagian orang Indonesia mengeras dari sisi simbolisme, tensi memaksakan kehendak.
Peran dari kelompok-kelompok Islam politik kental mewarnai Pilpres 2019, dan cukup berpengaruh. Apa yang menyebabkan hal demikian?
Politik itu kan siasat untuk meraih kekuasaan. Maka, faktor-faktor yang membuat keuntungan politik bertambah akan dipakai. Salah satunya adalah menguatnya rasa beragama orang Indonesia, khususnya umat Islam. Jadi kebangkitan agama-agama itu tidak hanya Islam saja. Tetapi di konteks Indonesia yang paling fenomenal, ya, Islam. Makanya sentimen agama dipakai.
Untuk apa? Karena ini yang paling mudah untuk meraih kemenangan politik, untuk memukul lawan, dan paling gampang melahirkan kesetiaan kepada kelompoknya. Itulah agama, yang mempunyai kekuatan untuk menolak orang lain dan menguatkan dukungan kepada kepentingan politiknya.
Itulah konteks mengapa politisasi agama begitu menggiurkan. Sampai orang yang berlatar belakang betul-betul sekuler seperti Prabowo, berikut orang-orang yang bergabung di Gerindra, itu kan abangan-sekuler, sedikit yang santri. Tapi mengapa justru mereka yang paling getol memanfaatkan isu agama. Itu, ya, untuk kepentingan politik.
Ciri populisme Islam di Indonesia kini bagaimana? Apakah bisa dikategorikan sebagai gerakan efektif, atau justru terkooptasi dengan elite-elite yang memiliki duit?
Populisme itu kan fenomena politik yang cenderung memanfaatkan; satu keterancaman, ketakutan; kedua sentimen identitas, bisa identitas ras, bisa identitas suku, bisa identitas agama. Yang ketiga, cirinya adalah politik yang menggunakan media sebagai cara untuk memanipulasi opini publik. Untuk membentuk dan memperbesar ketakutan ini dan menolak identitas lain yang bukan identitas dirinya, itu ciri dari politik populisme.
Dalam konteks populisme Islam, diciptakan musuh-musuh Islam. Jadi untuk menciptakan musuh-musuh, maka ada atau tidak adanya musuh harus diciptakan seolah-olah ada. Makanya, kita belum lupa lah, isu Jokowi anti-Islam, anti-syariat, Jokowi anti-azan. Jadi menciptakan narasi-narasi (bahwa) ada musuh membahayakan, sehingga memunculkan ketakutan. Kemudian, karena Ahok non muslim dan etnis China, dinarasikan lah Indonesia di bawah penguasaan "asing-aseng".
Ada juga narasi sekularisme, komunisme, pluralisme, itu terus dinarasikan bahwa umat Islam di tengah ambang kehancuran, sehingga memunculkan keterancaman. Nah, dampaknya apa? Ya, kehancuran sendi-sendi sosial. Karena ini politik adu domba, dampaknya pengkotak-kotakan.
Imdadun Rahmat bicara soal narasi kriminalisasi Habib Rizieq, tentang populisme Islam, serta apakah gerakan Islam harus berpolitik, di laman berikutnya. Simak!
Saat ini persoalan-persoalan dugaan penistaan agama dan kepulangan Rizieq (Shihab) misalnya, masih jadi jualan. Efektifkah? Ataukah ini mencerminkan hal lain, yakni gerakan populisme Islam di Indonesia sebenarnya tak terkait kondisi ekonomi sosial rakyat kebanyakan?
Terkait iya, dengan soal ekonomi (yang) melemah, pembangunan tidak begitu menggembirakan, dan ini terjadi tidak hanya Indonesia. Nah, ini dimanfaatkan, mau dicoba dibakar dengan tambahan narasi-narasi Habib Rizieq dikriminalisasi, dicekal, dan sebagainya. Lalu diciptakanlah isu penistaan agama, karena ini terbukti pada zaman Ahok mampu memunculkan perlawanan begitu besar kepada pemerintah. Nah, makanya dinaikkanlah isu Fatmawati, dinaikkanlah isu Gus Muwafiq. Hal-hal yang kecil diperbesar untuk memunculkan kemarahan massa, dengan narasi yang sama yaitu penistaan agama. Mereka mau mengulang kesuksesan waktu Ahok.
Nah, apakah ini efektif? Saya kira tidak seefektif dulu, karena sudah ketahuan. Jadi semua narasi penistaan agama ini ujung-ujungnya adalah kepentingan politik. Masyarakat sudah tidak gampang lagi dibodohi dengan narasi-narasi politik. Itu dugaan saya.
Kedua, bagian dari faktor penting yang membuat keberhasilan dulu, kan Pak Prabowo dan kawan-kawannya yang menyediakan dukungan politik dan menyediakan dana. Nah, Pak Prabowo sekarang sudah menjadi orangnya pemerintah.
Apakah di tengah koalisi besar yang digalang Jokowi, maka kelompok-kelompok populisme Islam itu bisa menjadi oposisi efektif? Atau justru tidak?
Kalau yang disebut oposisi di dalam konsep demokrasi, itu kan oposisi kebijakan politik. Kebijakan politik ini menyangkut kepentingan rakyat, sehingga demokrasi (adalah) perwujudan kedaulatan milik rakyat. Jadi, yang begini ini nggak ada kaitannya dengan kepentingan negara demokrasi atas kekuatan oposisi, baik di parlemen maupun non parlemen. Tapi ini kan, oposisinya, oposisi ideologi yang tidak menghendaki sistem demokrasi yang mensyaratkan oposisi. Jadi dia menjadi sesuatu yang dia haramkan sendiri. Jadi ini (gerakan populisme Islam) soal keamanan, kestabilan negara, karena ini menyangkut soal anti-sistem.
Sebenarnya, apa yang bisa dikategorikan sebagai benar-benar populisme Islam yang berwatak progresif?
Populisme Islam itu tidak ada yang berwatak progresif. Populisme apa pun itu, tidak ada yang berwatak progresif, karena mereka selalu ingin membawa kejayaan masa lalu. Contoh, populisme Amerika yang dibawa oleh Donald Trump. Itu kan ingin kembali ke masa lalu, (make) Amerika great again. Dulu pernah jaya, maka mau dibikin jaya lagi.
Nah, populisme Islam itu, ya begitu. Pada zaman khilafah dulu itu umat Islam pernah jaya, maka mau kembali ke masa lalu. Nah, untuk kembali ke masa lalu, mana ada progresifnya? Mana ada majunya? Jadi tidak ada yang bisa diharapkan dari populisme.
Lantas apa sih, populisme Islam itu sendiri?
Populisme Islam itu tidak ada. Ini kan istilah yang dipakai, istilah dari negara Barat. Ini istilah yang digunakan oleh para ahli gerakan sosial terhadap, satu, fenomena kemenangan Trump, dan kedua, fenomena kemenangan Brexit di Inggris. Yang dua-duanya menggunakan cara yang sama seperti yang saya sampaikan di atas, yaitu ketakutan, politik identitas, dan propaganda media untuk menyebarkan ketakutan dan politik identitas.
Nah, apa yang dipakai oleh (tim) pemenangan Trump dan yang dipakai Brexit di Inggris, dipakai di Indonesia yang mayoritas umat Islam. Lalu muncullah populisme Islam. Ini pengalaman pertama dalam umat muslim, politik dengan menggunakan strategi populisme. Nggak ada populisme Islam yang genuine. Ini kan strategi orang lain yang dipakai (oleh) kekuatan Islam di Indonesia. Jadi tidak ada presedennya di dunia Islam.
![Ribuan massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan organisasi kemasyarakatan lainnya memadati Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Jumat (14/10/2016). [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2016/10/14/o_1av13jdr21uj0do78smck411uar.jpg)
Seperti apa seharusnya gerakan Islam politik di Indonesia, sehingga bisa memainkan peran penting dalam dunia politik?
Saya tidak menampik bahwa umat Islam harus berpolitik. Saya tidak menampik (bahwa) dalam ajaran Islam ada ketentuan-ketentuan berpolitik, apa itu, (tentang) ditekankannya nilai-nilai keadilan dalam bernegara, kejujuran dalam berpemerintahan. Orientasi pembangunan ke arah kemaslahatan bersama itu ada dan harus diperjuangkan, dan untuk memperjuangkan itu, tidak boleh tidak, harus melalui jalur politik. Baik politik formal maupun politik non formal, sebagai partai, harus.
Dalam berbagai forum, termasuk dalam buku saya tentang PKS, saya katakan, menjadi partai itu pilihan baik bagi penganut ideologi ikhwan yang ada di Indonesia. Kan waktu itu mereka membuat jajak pendapat di kalangan kader, antara menjadi partai atau menjadi gerakan non partai, (maka) lahirlah PK. Itu menurut saya pilihan yang tepat, pilihan yang lebih baik. Mengapa? Karena dengan menjadi partai, mereka bisa berkontribusi mewujudkan pikiran-pikiran, ideologi mereka, dalam kerangka legal formal yang diatur sebuah sistem.
Keuntungannya apa? Satu, gagasan-gagasan itu disalurkan dalam saluran yang legal formal. Jadi tidak memunculkan distabilitas politik. Yang kedua, dengan masuk dalam politik formal, gerakan akan sustainable. Karena apa? Karena tidak bisa dilarang, tidak bisa diberantas. Kemudian yang ketiga, dengan menjadi partai politik, setidaknya terjadi proses moderasi. Karena dalam praktik politik kan di sana ada negosiasi, ada pengalaman bertemu dengan ideologi-idologi lain untuk dialog, ada saling mempengaruhi. Itu menyebabkan ideologinya tidak mengetat, kemudian longgar.
Bagi organisasi gerakan Islam yang non partai, saran saya, mereka akan punya masa depan lebih baik apabila mereka melakukan adaptasi dengan konteks ke-Indonesiaan. Kalau makin jauh dari konteks ke-Indonesiaan, dia akan mati dengan sendirinya, karena kekuatan budaya dan konteks ke-Indonesiaan ini sudah mapan dan susah diubah secara drastis.
Semakin radikal suatu kelompok, maka semakin membuat mereka kuat akan terjadi konflik internal. Makin radikal suatu kelompok, berbeda sedikit mereka sebut kafir, dan kalau sudah kafir (artinya) musuh. Jadi, makin radikal sebuah organisasi, akan semakin mudah pecah dan hancur. Bisa dilihat, misalnya kelompok mana yang paling radikal. Kelompok JI, siapa? Ya, Ustadz Abu Bakar Baasyir. Dari MMI pecah menjadi JAT, lalu pecah menjadi JAD, dan seterusnya. Perpecahan-perpecahan itu akibat sempitnya pandangan politik mereka. (Sebaliknya jika) Makin moderat, makin panjang umur.
***
Dr M Imdadun Rahmat MSi adalah sosok kelahiran Rembang, 6 September 1971. Mendapatkan gelar Sarjana Agama dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Al Aqidah, Jakarta, dia meraih gelar S2 dan S3-nya di Universitas Indonesia. Sebelum ini dia sempat duduk sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2012-2017, bahkan sempat menjabat Ketua Komnas HAM di tahun terakhirnya.
Sedangkan Said Aqil Siroj Institute atau SAS Institute adalah lembaga nirlaba yang disebut memiliki kepedulian terhadap pengembangan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan (nasionalisme), antara lain patriotisme, persatuan, persaudaraan, inklusifitas, toleransi, budaya dialog, dan anti kekerasan. SAS Institute yang juga diakui concern terhadap isu-isu keadilan dan pemberdayaan masyarakat, dibidani oleh tokoh-tokoh nasional angkatan muda lintas kelompok, agama, dan lintas partai, yang disebut dipertemukan oleh kesamaan keprihatinan atas berbagai persoalan dan tantangan kebangsaan.