Imdadun Rahmat: Sudah Ketahuan, Narasi Penistaan Agama Tak Lagi Efektif

Selasa, 03 Desember 2019 | 21:10 WIB
Imdadun Rahmat: Sudah Ketahuan, Narasi Penistaan Agama Tak Lagi Efektif
Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute, Imdadun Rahmat, dalam sebuah acara. [Dok. pribadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Saat ini persoalan-persoalan dugaan penistaan agama dan kepulangan Rizieq (Shihab) misalnya, masih jadi jualan. Efektifkah? Ataukah ini mencerminkan hal lain, yakni gerakan populisme Islam di Indonesia sebenarnya tak terkait kondisi ekonomi sosial rakyat kebanyakan?

Terkait iya, dengan soal ekonomi (yang) melemah, pembangunan tidak begitu menggembirakan, dan ini terjadi tidak hanya Indonesia. Nah, ini dimanfaatkan, mau dicoba dibakar dengan tambahan narasi-narasi Habib Rizieq dikriminalisasi, dicekal, dan sebagainya. Lalu diciptakanlah isu penistaan agama, karena ini terbukti pada zaman Ahok mampu memunculkan perlawanan begitu besar kepada pemerintah. Nah, makanya dinaikkanlah isu Fatmawati, dinaikkanlah isu Gus Muwafiq. Hal-hal yang kecil diperbesar untuk memunculkan kemarahan massa, dengan narasi yang sama yaitu penistaan agama. Mereka mau mengulang kesuksesan waktu Ahok.

Nah, apakah ini efektif? Saya kira tidak seefektif dulu, karena sudah ketahuan. Jadi semua narasi penistaan agama ini ujung-ujungnya adalah kepentingan politik. Masyarakat sudah tidak gampang lagi dibodohi dengan narasi-narasi politik. Itu dugaan saya.

Kedua, bagian dari faktor penting yang membuat keberhasilan dulu, kan Pak Prabowo dan kawan-kawannya yang menyediakan dukungan politik dan menyediakan dana. Nah, Pak Prabowo sekarang sudah menjadi orangnya pemerintah.

Baca Juga: Wayan Suparta: Iklim dan Cuaca untuk Umat Manusia

Apakah di tengah koalisi besar yang digalang Jokowi, maka kelompok-kelompok populisme Islam itu bisa menjadi oposisi efektif? Atau justru tidak?

Kalau yang disebut oposisi di dalam konsep demokrasi, itu kan oposisi kebijakan politik. Kebijakan politik ini menyangkut kepentingan rakyat, sehingga demokrasi (adalah) perwujudan kedaulatan milik rakyat. Jadi, yang begini ini nggak ada kaitannya dengan kepentingan negara demokrasi atas kekuatan oposisi, baik di parlemen maupun non parlemen. Tapi ini kan, oposisinya, oposisi ideologi yang tidak menghendaki sistem demokrasi yang mensyaratkan oposisi. Jadi dia menjadi sesuatu yang dia haramkan sendiri. Jadi ini (gerakan populisme Islam) soal keamanan, kestabilan negara, karena ini menyangkut soal anti-sistem.

Sebenarnya, apa yang bisa dikategorikan sebagai benar-benar populisme Islam yang berwatak progresif?

Populisme Islam itu tidak ada yang berwatak progresif. Populisme apa pun itu, tidak ada yang berwatak progresif, karena mereka selalu ingin membawa kejayaan masa lalu. Contoh, populisme Amerika yang dibawa oleh Donald Trump. Itu kan ingin kembali ke masa lalu, (make) Amerika great again. Dulu pernah jaya, maka mau dibikin jaya lagi.

Nah, populisme Islam itu, ya begitu. Pada zaman khilafah dulu itu umat Islam pernah jaya, maka mau kembali ke masa lalu. Nah, untuk kembali ke masa lalu, mana ada progresifnya? Mana ada majunya? Jadi tidak ada yang bisa diharapkan dari populisme.

Baca Juga: Gilang Parahita: Kekerasan terhadap Jurnalis, Apa Negara Tidak Demokratis?

Lantas apa sih, populisme Islam itu sendiri?

Populisme Islam itu tidak ada. Ini kan istilah yang dipakai, istilah dari negara Barat. Ini istilah yang digunakan oleh para ahli gerakan sosial terhadap, satu, fenomena kemenangan Trump, dan kedua, fenomena kemenangan Brexit di Inggris. Yang dua-duanya menggunakan cara yang sama seperti yang saya sampaikan di atas, yaitu ketakutan, politik identitas, dan propaganda media untuk menyebarkan ketakutan dan politik identitas.

Nah, apa yang dipakai oleh (tim) pemenangan Trump dan yang dipakai Brexit di Inggris, dipakai di Indonesia yang mayoritas umat Islam. Lalu muncullah populisme Islam. Ini pengalaman pertama dalam umat muslim, politik dengan menggunakan strategi populisme. Nggak ada populisme Islam yang genuine. Ini kan strategi orang lain yang dipakai (oleh) kekuatan Islam di Indonesia. Jadi tidak ada presedennya di dunia Islam.

Ribuan massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan organisasi kemasyarakatan lainnya memadati Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Jumat (14/10/2016). [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Ribuan massa dari Front Pembela Islam (FPI) dan organisasi kemasyarakatan lainnya saat memadati Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Jumat (14/10/2016). [Suara.com/Kurniawan Mas'ud]

Seperti apa seharusnya gerakan Islam politik di Indonesia, sehingga bisa memainkan peran penting dalam dunia politik?

Saya tidak menampik bahwa umat Islam harus berpolitik. Saya tidak menampik (bahwa) dalam ajaran Islam ada ketentuan-ketentuan berpolitik, apa itu, (tentang) ditekankannya nilai-nilai keadilan dalam bernegara, kejujuran dalam berpemerintahan. Orientasi pembangunan ke arah kemaslahatan bersama itu ada dan harus diperjuangkan, dan untuk memperjuangkan itu, tidak boleh tidak, harus melalui jalur politik. Baik politik formal maupun politik non formal, sebagai partai, harus.

Dalam berbagai forum, termasuk dalam buku saya tentang PKS, saya katakan, menjadi partai itu pilihan baik bagi penganut ideologi ikhwan yang ada di Indonesia. Kan waktu itu mereka membuat jajak pendapat di kalangan kader, antara menjadi partai atau menjadi gerakan non partai, (maka) lahirlah PK. Itu menurut saya pilihan yang tepat, pilihan yang lebih baik. Mengapa? Karena dengan menjadi partai, mereka bisa berkontribusi mewujudkan pikiran-pikiran, ideologi mereka, dalam kerangka legal formal yang diatur sebuah sistem.

Keuntungannya apa? Satu, gagasan-gagasan itu disalurkan dalam saluran yang legal formal. Jadi tidak memunculkan distabilitas politik. Yang kedua, dengan masuk dalam politik formal, gerakan akan sustainable. Karena apa? Karena tidak bisa dilarang, tidak bisa diberantas. Kemudian yang ketiga, dengan menjadi partai politik, setidaknya terjadi proses moderasi. Karena dalam praktik politik kan di sana ada negosiasi, ada pengalaman bertemu dengan ideologi-idologi lain untuk dialog, ada saling mempengaruhi. Itu menyebabkan ideologinya tidak mengetat, kemudian longgar.

Bagi organisasi gerakan Islam yang non partai, saran saya, mereka akan punya masa depan lebih baik apabila mereka melakukan adaptasi dengan konteks ke-Indonesiaan. Kalau makin jauh dari konteks ke-Indonesiaan, dia akan mati dengan sendirinya, karena kekuatan budaya dan konteks ke-Indonesiaan ini sudah mapan dan susah diubah secara drastis.

Semakin radikal suatu kelompok, maka semakin membuat mereka kuat akan terjadi konflik internal. Makin radikal suatu kelompok, berbeda sedikit mereka sebut kafir, dan kalau sudah kafir (artinya) musuh. Jadi, makin radikal sebuah organisasi, akan semakin mudah pecah dan hancur. Bisa dilihat, misalnya kelompok mana yang paling radikal. Kelompok JI, siapa? Ya, Ustadz Abu Bakar Baasyir. Dari MMI pecah menjadi JAT, lalu pecah menjadi JAD, dan seterusnya. Perpecahan-perpecahan itu akibat sempitnya pandangan politik mereka. (Sebaliknya jika) Makin moderat, makin panjang umur.
***

Dr M Imdadun Rahmat MSi adalah sosok kelahiran Rembang, 6 September 1971. Mendapatkan gelar Sarjana Agama dari Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Al Aqidah, Jakarta, dia meraih gelar S2 dan S3-nya di Universitas Indonesia. Sebelum ini dia sempat duduk sebagai anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2012-2017, bahkan sempat menjabat Ketua Komnas HAM di tahun terakhirnya.

Sedangkan Said Aqil Siroj Institute atau SAS Institute adalah lembaga nirlaba yang disebut memiliki kepedulian terhadap pengembangan nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan (nasionalisme), antara lain patriotisme, persatuan, persaudaraan, inklusifitas, toleransi, budaya dialog, dan anti kekerasan. SAS Institute yang juga diakui concern terhadap isu-isu keadilan dan pemberdayaan masyarakat, dibidani oleh tokoh-tokoh nasional angkatan muda lintas kelompok, agama, dan lintas partai, yang disebut dipertemukan oleh kesamaan keprihatinan atas berbagai persoalan dan tantangan kebangsaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI