Imdadun Rahmat: Sudah Ketahuan, Narasi Penistaan Agama Tak Lagi Efektif

Selasa, 03 Desember 2019 | 21:10 WIB
Imdadun Rahmat: Sudah Ketahuan, Narasi Penistaan Agama Tak Lagi Efektif
Ilustrasi wawancara. Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute, Imdadun Rahmat. [Foto: Dok. pribadi / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sebuah kegiatan bertajuk Reuni 212 yang identik dengan massa umat Islam dalam jumlah besar, kembali digelar pada Senin (2/12/2019), berpusat di kawasan Monas, Jakarta. Diawali sejak dini hari dengan ibadah salat Tahajud dan kemudian Subuh berjamaah, kegiatan ini menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain mulai dari para tokoh GNPF Ulama, Habib Rizieq Shihab yang berpidato melalui video, hingga Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Meski kenyataannya masih banyak di antara peserta Reuni 212 ini yang rela datang jauh-jauh dari berbagai daerah, bahkan sampai mengambil cuti atau melakukan persiapan khusus, banyak pihak menilai ajang kali ini tidak lagi seakbar yang lalu-lalu --apalagi Aksi 212 aslinya yang terjadi pada 2016 lalu. Hal itu tidak saja sebagaimana disampaikan oleh sebagian warga, oleh netizen di berbagai saluran media sosial, namun juga oleh sejumlah pengamat.

Lantas, akan bagaimanakah kelanjutan gerakan ini? Apa dan bagaimanakah kini peran sosok seperti Habib Rizieq Shihab, juga Prabowo Subianto, di dalamnya? Lebih jauh, bagaimana pula kedudukannya dalam gelombang (gerakan) Islam politik? Apakah ini merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai populisme Islam?

Mencoba mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, berikut petikan wawancara Suara.com dengan Imdadun Rahmat, Direktur Eksekutif Said Aqil Siroj Institute atau SAS Institute, baru-baru ini:

Baca Juga: Wayan Suparta: Iklim dan Cuaca untuk Umat Manusia

Aksi Reuni 212 pada Senin ini, bagaimana Anda melihatnya? Apakah masih kuat, atau sudah bisa dinilai tak lagi masuk hitungan?

Dari luasnya dukungan, sudah sangat jauh merosot. Saya kira itu wajar, sebagai akibat dari proses politik yang berlangsung. Yang pertama soal kesadaran umat Islam, bahwa apa tujuan yang mau dicapai dari demonstrasi itu tidak lagi dipahami sebagai membela Islam.

Kalau 212 dulu begitu masif dukungan dari umat Islam, karena gencarnya kampanye terjadi penistaan terhadap Islam; ketika itu terkait Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) yang menyebut surat Al-Maidah ayat 51. Ketika itu memang kampanyenya berhasil, sehingga menarik dukungan dan simpati dari publik umat Islam yang sangat kuat. Jadi menjadi "korban" dari politisasi agama.

Setelah proses politik berlangsung, maka umat mulai memahami tujuannya apa, yang tidak lain tidak bukan itu tujuannya adalah politik. Sehingga dukungan terhadap 212 dan kelompoknya ini makin kempes, karena publik yang non FPI dan yang non kelompok berkepentingan, artinya publik Islam di luar itu, tidak menganggap ini barang (Reuni 212) dalam rangka membela Islam. Jadi tidak ada lagi simpati yang meluas.

Kedua, momentum politiknya hilang. Dulu Aksi 212 itu didorong oleh kepentingan politik FPI dan partai politik, ada Gerindra, PKS, PAN, Demokrat dan kelompok-kelompok kontra Ahok. Jadi ketika itu, terjadi bertemunya kepentingan partai politik dan ormas Islam. Sekarang dukungan umat Islam dan ormas Islam kempes, dukungan dari partai politik juga kempes. Misalnya Gerindra yang dulu menjadi pendukung utama dari event 212 itu, kini sudah masuk ke pemerintahan. Jadi sudah tidak lagi terjadi "perselingkuhan politik" antara FPI dan kawan-kawan dengan Gerindra dan kawan-kawan.

Baca Juga: Gilang Parahita: Kekerasan terhadap Jurnalis, Apa Negara Tidak Demokratis?

Meskipun kemarin masih muncul sosok-sosok Gerindra, PKS, dan lain-lain, seperti Anies, masih muncul di situ, tetapi tidak sebesar dulu. Dulu kan sumber-sumber pendanaan besar sekali, baik dari partai-partai maupun dari elit politik tertentu dari kelompok itu.

Gelombang Islam politik di Indonesia ini sebenarnya pasangnya sejak kapan, dan kenapa? Apakah saat Pilkada DKI 2017, atau itu adalah "puncak gunung es" saja? Apa yang melatarinya?

Pilkada DKI itu sebenarnya tidak bisa disebut sebagai puncaknya. Saya kira hanya momentumnya saja dapat. Sementara gerakan kebangkitan Islam itu sama seperti semula, artinya, saat ini tidak bisa disebut grafik turun dalam gerakan kebangkitan Islam, dalam pengertian gerakan Islam garis keras.

Sebenarnya ini sudah cukup lama. Embrionya tahun 1980-an, ketika muncul Islamisasi kampus-kampus umum melalui gerakan masjid. Gerakan mahasiswa halaqoh-halawoh, kelompok kecil yang terlihat (sebagai) clandestine movement. Setelah reformasi, mereka punya momentum; dari yang sembunyi di era orde baru, mendapat momentum untuk manifes, untuk terbuka.

Berbagai organisasi Islam garis keras itu mulai terbuka dan berdiri. Seperti HTI, PK (Partai Keadilan, cikal bakal PKS), munculnya MMI, kemudian berkembang menjadi JAT, Forum Umat Islam (FUI), termasuk FPI, muncul semua, dan gerakan bawah tanah terus jalan. Lalu munculnya ormas-ormas berikut kegiatannya. Jadi memang reformasi memberikan peluang bagi gerakan garis keras itu untuk menjalankan misi dan gerakannya.

Anies Baswedan berpidato di acara Reuni 212 di Monas, Senin (2/12/2019). (Suara.com/Stephanus Aranditio)
Anies Baswedan saat berpidato di acara Reuni 212 di Monas, Senin (2/12/2019). (Suara.com/Stephanus Aranditio)

Jadi, Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 itu momentum saja. Kalau ada momentum yang menyamai itu, ya, akan muncul peristiwa yang sama. Cenderung modal sosial dan modal politik kelompok garis keras ini tidak berhasil dibina oleh pemerintah. Ini sih menunggu momentum saja, (masih) akan muncul gerakan-gerakan serupa.

Apa yang melatarinya? Pertama, setelah 1979 pasca momentum revolusi Iran. Nah, revolusi Iran itu di Timur Tengah memunculkan kebangkitan baru yang berefek pada bangkitnya Ikhwanul Muslimin dan varian-variannya termasuk HTI. HTI itu kan pecahan dari Ikhwanul Muslimin.

Di Indonesia, Pak Soeharto begitu kuat, sampai ke kampus-kampus dan kritisisme anak muda tidak tersalurkan melalui gerakan pro-demokrasi. Gerakannya perlawanan ideologis, melawan orde baru tidak dari sisi otoritariannya, tetapi sisi "ini sistem yang tidak Islami", "ini sistem kufur yang harus dilawan". Jadi oposisi yang berwatak ideologis yang terpengaruh Islamisme, tuntutan untuk mendirikan negara Islam, negara khilafah dan penerapan syariat Islam sebagai konstitusi.

Nah, dalam situasi seperti ini, banyak alumni-alumni dari Timur Tengah yang pulang ke Indonesia membawa ide-ide Wahabi, khilafah. Watak yang lebih keras masuk ke Indonesia sebagai pengaruh dari Timur Tengah. Ada PKS di level partai, ada ormas seperti HTI, juga ada kelompok-kelompok keras yang terpengaruh Arab Saudi. Hal itu membuat sebagian orang Indonesia mengeras dari sisi simbolisme, tensi memaksakan kehendak.

Peran dari kelompok-kelompok Islam politik kental mewarnai Pilpres 2019, dan cukup berpengaruh. Apa yang menyebabkan hal demikian?

Politik itu kan siasat untuk meraih kekuasaan. Maka, faktor-faktor yang membuat keuntungan politik bertambah akan dipakai. Salah satunya adalah menguatnya rasa beragama orang Indonesia, khususnya umat Islam. Jadi kebangkitan agama-agama itu tidak hanya Islam saja. Tetapi di konteks Indonesia yang paling fenomenal, ya, Islam. Makanya sentimen agama dipakai.

Untuk apa? Karena ini yang paling mudah untuk meraih kemenangan politik, untuk memukul lawan, dan paling gampang melahirkan kesetiaan kepada kelompoknya. Itulah agama, yang mempunyai kekuatan untuk menolak orang lain dan menguatkan dukungan kepada kepentingan politiknya.

Itulah konteks mengapa politisasi agama begitu menggiurkan. Sampai orang yang berlatar belakang betul-betul sekuler seperti Prabowo, berikut orang-orang yang bergabung di Gerindra, itu kan abangan-sekuler, sedikit yang santri. Tapi mengapa justru mereka yang paling getol memanfaatkan isu agama. Itu, ya, untuk kepentingan politik.

Ciri populisme Islam di Indonesia kini bagaimana? Apakah bisa dikategorikan sebagai gerakan efektif, atau justru terkooptasi dengan elite-elite yang memiliki duit?

Populisme itu kan fenomena politik yang cenderung memanfaatkan; satu keterancaman, ketakutan; kedua sentimen identitas, bisa identitas ras, bisa identitas suku, bisa identitas agama. Yang ketiga, cirinya adalah politik yang menggunakan media sebagai cara untuk memanipulasi opini publik. Untuk membentuk dan memperbesar ketakutan ini dan menolak identitas lain yang bukan identitas dirinya, itu ciri dari politik populisme.

Dalam konteks populisme Islam, diciptakan musuh-musuh Islam. Jadi untuk menciptakan musuh-musuh, maka ada atau tidak adanya musuh harus diciptakan seolah-olah ada. Makanya, kita belum lupa lah, isu Jokowi anti-Islam, anti-syariat, Jokowi anti-azan. Jadi menciptakan narasi-narasi (bahwa) ada musuh membahayakan, sehingga memunculkan ketakutan. Kemudian, karena Ahok non muslim dan etnis China, dinarasikan lah Indonesia di bawah penguasaan "asing-aseng".

Ada juga narasi sekularisme, komunisme, pluralisme, itu terus dinarasikan bahwa umat Islam di tengah ambang kehancuran, sehingga memunculkan keterancaman. Nah, dampaknya apa? Ya, kehancuran sendi-sendi sosial. Karena ini politik adu domba, dampaknya pengkotak-kotakan.

Imdadun Rahmat bicara soal narasi kriminalisasi Habib Rizieq, tentang populisme Islam, serta apakah gerakan Islam harus berpolitik, di laman berikutnya. Simak!

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI