Suara.com - Wayan Suparta, ilmuan di bidang aplikasi penginderaan satelit jarak jauh untuk studi cuaca antariksa dan iklim, bencana alam, fisika terestrial, dan pemodelan gangguan satelit. Dia adalah ilmuwan Indonesia pertama yang melakukan penelitian tentang Meteorologi Ruang Angkasa di Benua Kutub, yaitu Antartika dan Artik.
Lewat penelitiannya, Wayan Suparta memberikan pemahaman ke khalayak dunia jika iklim dan cuaca bagian tak terpisahkan dari manusia. Iklim dan cuaca menentukan hajat hidup umat manusia.
Tak banyak yang sadar, tokoh sentral dalam pengembangan konferensi IconSpace dan Konferensi Internasional Teknologi Sains dan Teknologi 2016 itu membuat teknologi jauh lebih maju untuk memprediksi cuaca dan iklim. Bahkan alat yang diciptakan lebih canggih dari alat peramal cuaca Badan Meteorilogi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG.
Alat apa itu? Kepada Suara.com, Wayan Suparta akan mengulasnya.
Baca Juga: Wayan Suparta Bicara Tentang Perubahan Iklim yang Melanda Indonesia
Suara.com menemui Wayan Suparta di Perpustakaan Universitas Pembangunan Jaya, Tangerang, Banten. Kini, Wayan pulang ke Indonesia setelah puluhan tahun berkarier di Malaysia. Profesor fisika elektro yang menemukan alat parameter cuaca itu juga bercerita di balik cuaca ekstrem di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di Jakarta.
Berikut wawancara lengkapnya:
Isu perubahan iklim belakangan menguat kembali di Indonesia, terutama di Jakarta karena kasus pencemaran udara dan suhu panas di musim kemarau. Sebenarnya, apa itu perubahan iklim?
Kalau melihat di daerah tropis, masyarakat memandang seperti tidak ada perubahan iklim. Kecuali kalu mereka memaang sudah merasakan sesak napas, dehidrasi, dan kena penyakit diare. Baru mereka merasakan akibat dari pemanasan yang ada. Kalau kita melihat perubahan iklim, itu sebenarnya adalah perubahan cuaca jangka panjang.
Baca Juga: Aktivis Lingkungan Desak Pemerintah Atasi Perubahan Iklim
Jadi perubahan lokal dari beberapa tempat itu bisa menyebar ke kawasan lain yang nantinya bisa mempengaruhi bagian lainnya. Jadi perubahan iklim itu dipengaruhi suhu dan kelembaban.
Di Indonesia bukan dipengaruhi oleh suhu, tapi kelembaban atau hujan. Di situlah yang paling menariknya.
Kalau di bagian negara Eropa, suhu yang mempengaruhi mereka. Mungkin ini dikarenakan kita mempunyai 2 iklim; kemarau dan hujan. Tapi mereka di sana memiliki 4 musim. Jadi kalau dihubungkan dengan kualitas udara, perubahan iklim memang salah satu penyebabnya. Jadi ada pergerakan udara yang dibuat oleh manusia maupun pergerakan udara yang secara alami.
Apakah perubahan iklim ini sudah terjadi di dunia?
Perubahan iklim sudah terjadi.
Buktinya ada gelombang panas tapi belum menjalar ke Indonesia, karena Indonesia terletak di garis ekuator. Jadi karena kita di sini menerima panas yang merata sepanjang tahun. Jadi kita seolah-olah tidak merasakan gelombang panas. Tapi kalau di India, terutama bagian selatan, mereka sampai kulitnya hitam itu karena di sana ada penguapan yang terlalu tinggi.
Kita melihat orang Tamil kulitnya hitam. Itu sebenarnya memang alamnya seperti itu, sebenarnya mereka sudah ada gelombang panas di situ tapi suhunya 50-60 derajat celcius. Contohnya yang paling nyata tentunya di kutub. Di kutub sekarang tiap tahun hampir terjadi kenaikan suhu 1 derajat celcius.
Kalau ini dibiarkan terus memang akan berbahaya. Tapi bagaimana pun perubahan iklim atau kenaikan suhu terus berjalan tiap tahun. Itu malah bukan linear ya, eksponensial. Jadi naiknya lebih, 2 – 3 kali nya.
Kalau di Indonesia sendiri, berarti perubahan iklim ini belum terjadi?
Sebenarnya sudah, contoh perubahan iklim yang sering kita rasakan yang mungkin orang belum merasakan yaitu terlambatnya datangnya hujan. Atau musim kemarau yang terlalu panjang. Kalau musim kemarau yang terlalu panjang, maka musim hujam semakin pendek. Itu dari segi meteorologi. Kalau dari astronomi kita bisa lihat, sekarang perubahan iklim ini membawa pada pergeseran astronomi contohnya zodiak atau bintang-bintang.
Kemudian kebakaran, kebakaran di Indonesia yang sampai membawa asap ke Malaysia itu kan susah dibendung sampai sekarang. Asap-asap itulah yang bisa menyebabkan partikel-partikel di udara menjadi lebih berat dan bisa menghantui tranportasi di udara.
Perubahan iklim terjadi jika suhu sampai meningkat 2 derajat, kapan ini akan terjadi?
Kalau di Indonesia saya belum melihat apakah, kita negara membangun ya, apakah kita sudah mencapai sampai 2 derajat atau belum. Karena kalau perjanjian Paris kan kita harus menjaga 1,5 sampai 2 jangan sampai lebih dari itu kenaikan suhunya.
Jadi kalau sudah lebih dari 2 derajat berarti kualitas udaranya sudah buruk dan itu nanti penyakit akan semakin banyak. Saya belum sampai ke sana, belum meneliti sampai ke Indonesia, apalagi kita mau membangun, kita masih banyak memerlukan industri, pabrik-pabrik, kilang-kilang, dan sebagainya.
Kita tidak bisa menentukan kapan akan berakhirnya perubahan iklim selagi pembangunan itu masih ada, dan manusia masih ingin mencapai sesuai target,. Di situlah tetap akan kenaikan.
Kecuali kalau negara-negara yang sudah stabil sudah membangun, sudah established, seperti Belanda, Jepang, itu mereka bisa mnegurangi kadar penurunan CO2 atau karbondioksida. Ditambah lagi mereka mengadakan program-program, mengendalikan manusia dengan beberapa regulasi seperti naik sepeda.
Naik sepeda itu salah satu program yang paling mudah yang bisa dilakukan orang untuk meredam kenaikan CO2, untuk mengurangi bahan bakar fosil. Atau kalau mau menggunakan kendaraan, gunakan bahan bakar matahari kalau mau aman. Selagi kita menggunakan bahan bakar fosil, maka karbondioksida atau gas rumah kaca itu akan selalu naik.
Isu pencemaran udara menjadi headline di media massa belakangan. Jakarta menjadi kota di dunia paling tercemar udara. Apakah ini ada hubungannya dengan perubahan iklim?
Kalau suhu panas kemarin itu kan berifat lokal. Hanya beberapa daerah di Jabodetabek, Sulawesi, Palembang, Bali, Nusa Tenggara, Semarang, dan Solo. Kalau kita lihat itu kan kota-kota besar.
Kalau saya melihat analisa saya itu adalah karena pembangunan contoh di Ciputat, ini daerah membangun sekali; banyak membuat jalan tol, dan terlihat beberapa pohon juga kurang. Ketika matahari memancarkan cahayanya, tapi tidak ada pohon langsung ke daratan, tidak ada yang menyerap, maka kita kena cuaca panas gitu. Jadi, itulah salah satu sebab mengapa kita melihat suhu itu meningkat, itu satu.
Yang kedua perairan di permukaan laut. Ini mereka mengalami pendinginan. Kalau permukaan laut dingin maka mereka akan menguapkan alirannya ke darat, ini di siang hari, nah ini yang menyebabkan panas. Jadi panasnya bertambah. Mengapa di permukaan itu panas, karena di bawahnya itu dingin. Ini namanya ada sirkulasi.
Kalau kita mempelajari Enso, El Nino, nanti dia ada proses lagi. Kalau di dalam laut itu dingin, maka di permukaan akan panas. Di permukaan akan panas, dia akan menyebar ke daratan. Nah ini yang salah satunya.
Jadi, sebenarnya keadaan ini tergantung pada wilayah topografi dan geografi. Kita geografinya kebetulan rentan, karena kebetulan kita dilingkari oleh gunung api. Kalau di Eropa, Belanda, mereka jauh dari hal-hal seperti itu. Seperti Jepang kan mereka dilewati gunung api, sabuk api. Jadi wajar.
Apakah suhu panas tinggi kemarin bisa berulang?
Bisa saja berulang, karena kalau di ekuator itu panas itu mengalami perubahan. Jadi perubahannya nanti bisa turun bisa naik. Saya juga mendengan BMKG mengatakan ini kejadian 10 tahun berulang. Tapi menurut saya bukan, saya baru mendengar 10 tahun, 10 tahun sebelumnya mana? Tidak ada.
Jadi panasnya ini bukan serta merta dari iklim?
Betul.
Iklim itu sebenarnya dari matahari, iklim itu sumbernya dari matahari. Kita harus paham bahwa sumber iklim itu adlah matahari. Jadi matahari itu adalah sebagai pemancar energi segala hal. Bisa energi yang positif bisa energi yang negatif. Seperti itu.
Tapi orang melihatnya yang negatifnya. Tapi panas yang dipancarkan itu mungkin lapisan ozon di atas itu berkurang sehingga dia terjangan ke bawah itu tinggi. Jadi ketika musim kemarau itu kan lapisannya tipis di atas situ, maka kesempatan dia turun itu dahsyat sekali. Bagaimana kita bisa menjga di atmosfer itu tetap dingin, stabil, nah itu masalahnya. Kita tidak bisa menjaga itu, kecuali dengan cara mengontrol industri yang ada di bawah (bumi) yang mengeluarkan asap, dari pabrik atau kebakaran.
Tahun 2020 besok, pemerintah sudah mulai disibukkan dengan proyek pemindahan ibu kota Negara ke Kalimantan. Sementara Kalimantan menjadi pusat paru-paru dunia yang diandalkan untuk mengurangi emisi karbon. Analisa Anda, apakah perpindahan ibu kota Negara ini akan berdampak buruk untuk iklim dan lingkungan?
Betul.
Seperti saya katakan, misal di daerah Ciputat ini kan daerah membangun, sama, di daerah membangun itu pasti akan ada peningkatan kualitas udara, maksudnya kualitas udaranya akan berkurang.
Nah tidak terkecuali di daerah ibu kota baru, pasti ada perubahan cuaca di sana. Karena semua sumber, pohon-pohon akan ditebang, kemudian sumber alam digali dan sebagainya.
Ada banyak aspal nanti yang akan memancarkan cahaya lebih banyak ke atas, dan ini tentu akan menjadi lebih panas.
Tentunya pemerintah juga saya rasa mereka pasti akan menyiapkan sesuatu untuk mengurangi itu. Tidak mungkin mereka hanya membangun kemudian mereka tidak melakukan, katakanlah, setelah pembangunan melakukan penanaman kembali, reboisasi, dan sebagainya. Apalagi sekarang ada istilah smart city. Dengan smart city mereka pasti memerhatikan aspek lingkungan, amdalnya seperti apa, dan sebagainya.
Saya rasa pasti mereka melihat itu. Sudah ada pengalaman Jakarta panas, saya rasa tidak mungkin di ibu kota baru mereka mengulangi lagi apa yang terjadi di Jakarta. Seperti itu.
Anda ilmuwan pertama asal Indonesia yang melakukan penelitian di Antartika. Tidak banyak orang yang melakukan penelitian di sana.
Betul, tapi kalau orang berwisata tentu banyak. Untuk yang meneliti, tidak banyak.
Memulai penelitian pakai data-data Antartika tahun 2003, ketika saya masuk S3 di Universitas Kebangsaan Malaysia. Tapi saya baru berhasil ke Antartika itu ketika akan lulus tahun 2007. Itu karena memang Malaysia sedang memperhitungkan perubahan iklim. Jadi kuncinya mereka adalah sedang mempertimbangkan perubahan iklim. Jadi bagaimana nanti mereka mengadopsi perubahan iklim yang ada di kutub itu, nanti dimasukkan ke dalam model iklim di Malaysia.
Dengan memasukkan beberapa komponen itu, nanti prediksi iklim ini semakin akurat. Saya terlibat meneliti itu memang kebetulan saya sebagai fellow, sebagai mahasiswa sebelumnya untuk S3, saya sebagai fellow itu adalah peneliti, ketika saya langsung bekerja di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) itu.
Bagaimana proses keberangkatannya ke sana?
Kalau berangkatnya itu biasanya, saya pertama kali berangkat ke Antartika melalui New Zealand. Memang ada tim dari Malaysia sudah berkolaborasi dengan New Zealand, karena kita di sana kan istilahnya menumpang ya. Malaysia pun belum bisa membangun stasiun, jadi kita menggunakan stasiunnya New Zealand untuk melakukan penelitian. Jadi mereka berkolaborasi, setelah itu kita scientist-scientist diundang untuk mengajukan proposal, mau meneliti apa, dan sabagainya.
Biaya ke antartikanya sudah ditanggung yang dikelola oleh Akademis Sains Malaysia. Mereka tidak memberikan kita dana itu, tapi mereka simpan, ketika kita akan pergi mereka yang bayarkan gitu.
Jadi saya tidak tau persis berapa biayanya itu berapa. Itukan berarti tiket ditambah dengan membayar sewa di sana, bus kan, makannya, tinggal di kalikan saja seperti hotel, saya tidak bayar itu, saya langsung naik saja, tapi yang bayar akademi.
Antartika adalah kawasan yang dingin dan hampir tidak ada kehidupan di sana, bagaimana Anda melatih fisik?
Kalau untuk ke Antartika lewat New Zealand itu tidak ada, tapi kita dites kesehatan. Mereka ambil borang ke Malaysia, kita harus pergi ke rumah sakit yang direkomendasikan dari sana dites ambil darah, fisik, jantung, mata, dan sebagainya. Kalau semuanya ada yang tidak lulus, kita tidak boleh pergi walaupun kita ada projek.
Selain itu, ketika kita di sana, baru dilatih, bagaimana kalu kita haus dan lapar. Nanti kita disediakan kompor khusus untuk daerah dingin. Ambil air bagaimana, ambil air tinggal kita belah es saja. Nanti kita masukkan ke dalam ceret nanti kita masak. Koreknya pun lain, bukan korek yang kita pakai untuk merokok, memang khusus kan daerah dingin.
Apa yang Anda teliti di sana?
Saya biasanya memonitor cuaca. Bidang saya adalah sensor GPS. Bagaimana saya menggunakan sensor GPS ini untuk memonitor suhu, kelembaban, hujan, yang saya teliti itu adalah presipitasi. Presipitasi itu adalah uap air.
GPS itu bisa mengukur uap air. Di situlah saya menyusun alat. Waktu itu saya susun alat di Malaysia, setelah jadi kita bawa ke sana. Kita tidak mungkin menyusun alat di sana. Dingin tempatnya. Kita mau memasang kabel saja sudah gemetar apalagi menyusun alat.
Dengan peralatan yang saya buat itu, saya bisa melihat bahwa benar atau teruji bahwa di Antartika kalau musim dingin itu suhunya turun, ketika dia musim panas, suhunya naik. Itu satu. Yang kedua, ketika musim dingin itu hampir tidak ada uap air, kemudian ketika musim panas atau summer itu ada uap air. Uap air itu artinya di sini berpotensi ada hujan. Di Antartika tidak ada hujan ya, tapi ada uap air kecil-kecil, jumlahnya kecil. Ada titik-titik air kecil yang bisa basah.
Kemudian selain itu saya juga bisa memprediksi hubungan antara cuaca di bumi dengan cuaca di matahari. Karena studi saya memang matahari sebenarnya. Jadi bagaimana matahari memengaruhi parameter di bumi, misalnya suhu atau kelembaban, seperti itu. Jadi ada hubungannya.
Saya juga punya sensor yang bisa mendeteksi kilat. Kalau ada kilat berarti berpotensi untuk hujan, kan gitu. Memang benar, di kawasan Antartika Peninsula itu memang ada hujan, tapi hujannya tidak seperti di sini (Indonesia), memang ada hanya sedikit, tapi ada hujan. Kalau di Antartika yang di New Zealand itu memang tidak ada hujan. Selama lima kali ke sana tidak ada hujan.
Apakah dari serangkaian penelitian yang di hasilkan, apakah sudah ada yang di terapkan di Indonesia?
Penerapan secara langsung itu belum ya, karena itu sifatnya masih konsep. Tapi kalau dalam bentuk policy atau kebijakan itu sudah ya. Tapi kalau dalam bentuk produk atau paten itu belum. Saya memang belum mematenkan semua hasil yang saya peroleh di sana karena agak rumit.
Karena saya memikirkan kenapa saya tidak patenkan, karena kalau saya patenkan, karena saya di situ sifatnya kontrak, kalau saya pergi juga, saya tidak bawa apa-apa. Akhirnya beberapa hasil itu saya tidak patenkan, tapi saya cuma publish dalam beberapa jurnal, buku, company proceeding, itu saja yang saya lakukan untuk mengabadikan hasil penelitian. Seperti wawancara di koran-koran, seperti itu saja.
Apakah suatu saat alat itu bisa dipakai di Indonesia atau di Malaysia?
Bisa, karena penelitian itu masih di luar jangkauan. Maksudnya masih belum nyambung dengan yang ada sekarang. Itu terlalu ke depan. Contohnya, bagaimana kita mengukur uap air dengan GPS, itu kan terlalu ke depan.
Sementara GPS digunakan untuk mencari lokasi. Bagaimana kita bisa aplikasikan ke dalam perubahan iklim. Kan jarang. Padahal sinyal GPS itu gratis sebenarnya, kita tinggal menyediakan alat penerimanya saja. Dan itu murah.
Tapi di sini, ada jenisnya ada yang meneliti itu. Teman saya dari ITB memang ada yang meneliti. Biasanya hal-hal seperti ini diperlukan oleh BMKG, tapi kalau BMKG tidak memerlukan , yasudah. Tapi kalau BMKG memerlukan untuk mengimprove, atau memperbaiki, atau mengupdate dia punya model mungkin bisa di pakai.
Apakah teknologi BMKG sudah menjangkau ke situ?
Belum, kita di sini masih kopensional dan beberapa sekarang sudah mengarah ke artificial intelligence (AI) sudah mulai sekarang, jadi mereka sekarang namanya sudah kena revolusi industri 4.0 ya. Mau tidak mau mereka harus berubah. Tidak terpaku pada metode kopensional. Kan sekarang ini beberapa tempat masih menggunakan metode kopensional.
Jadi misalkan mengukur hujan, kan mestinya menggunakan takungan seperti itu, berapa mili. Sekarang kita sudah menggunakan GPS, tidak lagi menggunakan seperti itu.
Bidang Anda kan Iklim dan cuaca, ini bidang yang sebenarnya “tidak laku” di industri, mengapa Anda mau menggeluti bidang perubahan iklim?
Memang bidang perubahan iklim bukan bisnis ya, tapi biasanya lebih kepada policy, kebijakan. Jadi saya mempunyai talenta seperti ini; kalau kita bisa memprediksi cuaca atau iklim dengan tepat, maka nelayan, petani, pilot, atau beberapa agency-agency lain bisa memperhatikan namanya early warning system, sistem peringatan dini. Saya sebenarnya fokusnya di early warning system, peringatan dini, sebelum itu terjadi. Itu konsep yang ingin saya fokuskan sebenarnya.
Jadi sebelum terjadi marilah kita menyiapkan sesuatu dengan, contohnya saya meneliti cuaca, kalau sudah terjadi kan bagaimana, kan sudah terjadi, beda kan, kita harus mempersiapkan sebelum terjadi. Misalnya kebakaran, bagaimana kita mempersiapkan sesuatu sebelum terbakar, sama, bagaimana kita mempersiapkan sesuatu sebelum terjadi bencana. Ini hubungannya dengan bencana sebenarnya kalau perubahan iklim. Bencana buatan mau pun bencana yang tidak buatan seperti gelombang panas, tsunami, banjir itu kan bukan buatan.
Tapi ada juga banjir itu karena buatan, nah ini bagaimana kita mengantisipasi. Dan yang paling penting sebenarnya dengan temuan-temuan saya itu bagaimana menyadarkan masyarakat, mind set dia, terhadap perubahan cuaca. Misalnya gini, masyarakat dilarang pergi kesuatu tempat karena tempat itu panas, itu satu, tapi mereka ngeyel pergi.
Kemudian nelayan dilarang menangkap ikan di perairan ini, karena perairan ini lagi panas, tapi karena mereka tidak punya pengetahuan, mereka pergi saja kan?
Akhirnya pergi tidak dapat ikan, kenapa? Ikannya memang jauh, karena itu panas, menjauh, dia ke lokasi lain. Kalau dia mengikuti saran kita, maka mereka akan hemat bensin tidak pergi kan. Hemat bensin, hemat tenaga, hemat waktu, nah nanti kita juga meramalkan ‘oh di tempat-tempat sana itu ada ikan’ mereka terus pergi ke sana dengan GPS, jadi mereka mereka bisa melakukan itu dengan bensinnya dapat, ikannya dapat, contohnya itulah aplikasinya.
Jadi paling tidak bisa membuat kesadaran, jadi menurut saya ini penting, kenapa ini penting karena kalau di Indonesia ini mereka meremehkan cuaca. Tapi kalau di Eropa, mereka tuh rajin sekali mendengarkan radio; nanti ini hujan, nanti ini mendung, nanti ini badai. Masyarakat itu aware sekali, jadi ‘oh nanti ada hujan’, mereka tidak jadi pergi, kan gitu. ‘Di sini nanti ada macet’, mereka tidak pergi, gitu loh. Tapi di sini (Indonesia) mereka ngeyel. Nah itulah namanya mentalitas, mentalitas masyarakatnya itu perlu disadarkan. Memang tidak secara langsung, tapi itulah kuncinya sebenarnya.
Biografi singkat Wayan Suparta
Wayan Suparta lahir di Klungkung, Bali. Sejak 2012 dia menjadi Associate Professor di Space Science Centre (ANGKASA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Sejak 4 April 2017 sampai 16 Juni 2017 dia diangkat sebagai profesor penuh de facto di sana. Kini, Wayan pulang ke Indonesia dan berkarir menjadi pengajar di Univestitas Pembangunan Jaya.
Wayan merupakan tokoh sentral dalam pengembangan konferensi IconSpace dan Konferensi Internasional Teknologi Sains dan Teknologi 2016 tentang Perubahan Iklim (STACLIM) sepanjang karirnya di UKM.
Mantan guru fisika di Malang dan Bandung itu menyelesaikan program diploma pendidikan fisika di IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta tahun 1991, lalu meneruskan program sarjananya di kampus yang sama. Tahun 2000, Wayan mendapatkan gelar master of science di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan minat yang sama, fisika. Sembari berkarier sebagai ilmuwan, Wayan menyelesaikan gelar doctoral (PhD) di Universiti Kebangsaan Malaysia. Kariernya sebagai ilmuan fisika elekto moncer di sana.
Wayan merupakan ilmuan di bidang aplikasi penginderaan satelit jarak jauh untuk studi cuaca antariksa dan iklim, bencana alam, fisika terestrial, dan pemodelan gangguan satelit. Dia adalah ilmuwan Indonesia pertama yang melakukan penelitian tentang Meteorologi Ruang Angkasa di Benua Kutub (Antartika dan Artik).
Wayan merupakan anggota profesional internasional dari Lembaga Geospasial dan Penginderaan Jauh Malaysia (IGRSM), Program Antartika Nasional di Program Riset Antartika Malaysia (MARP), Asosiasi Internasional Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (IACSIT), Institut Teknik Elektro dan Elektronika (IEEE), serta Anggota Senior Masyarakat Teknik Kimia, Biologi & Lingkungan Asia-Pasifik (APCBEES).
(Fransiska Ditha/Pebriansyah Ariefana)