Gilang Parahita: Kekerasan terhadap Jurnalis, Apa Negara Tidak Demokratis?

Rabu, 13 November 2019 | 10:28 WIB
Gilang Parahita: Kekerasan terhadap Jurnalis, Apa Negara Tidak Demokratis?
Ilustrasi wawancara. Peneliti dan akademisi UGM, Gilang Parahita. [Foto: Novian Ardiansyah / Olah gambar: Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Meski era reformasi di Indonesia sudah berjalan lebih dari 21 tahun, ancaman atau kekerasan terhadap jurnalis ternyata masih menjadi salah satu "penyakit" yang seakan susah dicarikan obatnya. Tidak saja dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari di berbagai pelosok Nusantara, pada momen atau peristiwa besar yang menjadi sorotan jutaan orang pun, jurnalis yang notabene adalah penyampai informasi bagi kepentingan publik masih kerap menjadi korban.

Dalam momentum rangkaian aksi unjuk rasa di berbagai kota sepanjang akhir September 2019 lalu saja misalnya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat setidaknya ada 10 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sebagaimana sempat diutarakan dalam pertemuan di LBH Pers beberapa waktu lalu, empat di antara kasus itu dialami jurnalis Jakarta dari aparat saat meliput aksi di depan Gedung DPR, sementara enam lainnya terjadi di Makassar dan Jayapura.

Faktor apa sebenarnya yang menyebabkan kasus-kasus seperti ini masih saja terjadi, serta bagaimana upaya yang mesti dilakukan dalam mengatasinya? Lebih jauh, bagaimana seharusnya posisi pemerintah dalam hal ini? Mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, belum lama ini Suara.com berbincang dengan Gilang Parahita, akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) selaku salah seorang yang concern terhadap persoalan ini. Berikut petikan wawancara dengannya:

Bagaimana Anda melihat masih maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis sejauh ini? Bagaimana polanya?

Baca Juga: Eksekutor dan Otak Pembunuh 2 Jurnalis di Labuhanbatu Terancam Hukuman Mati

Sebetulnya pola ancaman kekerasan terhadap jurnalis ini tidak banyak berubah, ya. Secara tradisional tetap yang menjadi pelaku utama itu adalah aparat; birokrasi, militer, maupun kepolisian. Begitu. Namun dari segi bentuk, kami melihat bahwa jurnalis (kini juga) kerap mengalami kekerasan melalui teknologi online, entah dia mengalami doxing, bullying, secara online; atau bahkan institusi medianya itu mengalami sejenis hacking begitu.

Nah, kalau melihat bahwa bentuk kekerasan itu berubah, atau bergeser atau berkembang, hal ini menunjukkan aktornya itu sendiri semakin beragam, tidak hanya negara melainkan juga aktor non-negara. Bisa itu masyarakat biasa ataupun warga yang tergabung dalam ormas yang menggunakan identitas agama tertentu.

Kita menemukan itu dari segi persepsi jurnalis, begitu ya. Real-nya memang, data-data sudah dikumpulkan oleh teman-teman AJI, dan itu cocok bahwa pelaku kekerasan itu secara tradisional masih dari negara. Walaupun tidak menutup kemungkinan jika memperhitungkan bentuk-bentuk kekerasan online, maka pelaku non-negara ini juga makin banyak begitu.

Aksi Jurnalis Surabaya tolak kekerasan yang terjadi di beberapa wilayah oleh aparat kepada peliput aksi damonstrasi di beberapa kota. [Suara.com/Dimas Angga P]
Aksi Jurnalis Surabaya menolak kekerasan yang terjadi di beberapa wilayah oleh aparat kepada peliput aksi demonstrasi di beberapa kota. [Suara.com/Dimas Angga P]

Faktor apa menurut Anda yang menyebabkan jurnalis masih kerap menjadi korban kekerasan oleh aparat?

Sebenarnya faktor utamanya adalah (bahwa) profesi jurnalis ini kurang dihormati oleh aktor-aktor negara, sehingga masyarakat kita menirunya. Meskipun secara internal jurnalis itu merasa terhormat dengan profesinya, sebab mereka patuh terhadap prinsip-prinsip profesionalisme jurnalisme, namun negara itu masih meremehkan hal-hal itu.

Baca Juga: William Aditya Sarana: Tugas Kami Mengawasi Anggaran, Sesederhana Itu

Buktinya adalah saya menemukan Sustainable Development Goals (SDGs) yang sudah diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan sudah dikeluarkan juga Peraturan Presiden terkait SDGs di Indonesia tahun 2017, nyatanya belum menguatkan sisi pilar hukum dan HAM dan kelembagaan terkait hukum dan HAM. Hal itu menunjukkan bahwa persoalan HAM, apalagi persoalan kekerasan terhadap jurnalis, itu masih belum didukung oleh negara, begitu. SDGs-nya secara formalnya iya, sudah diakui oleh negara kita, tetapi pilar-pilarnya ternyata tidak secara total dijalankan, terutama pilar hukum dan HAM.

Nah, kita menginginkan bahwa negara itu harus konsisten terhadap pernyataan politiknya melindungi HAM, dan kemudian menempatkan keselamatan terhadap jurnalis ini, perlindungan anti kekerasan terhadap jurnalis ini ada (menjadi) prioritas setiap kelembagaan pemerintah. Artinya, di level pusat sampai level daerah, mereka harus punya aware, bagaimana menghadapi jurnalis tanpa menggunakan pendekatan yang berindikasi kekerasan apa pun bentuknya.

Jadi, terkesan pemerintah masih tidak menghormati profesi jurnalis? Apa ini karena faktor jurnalis yang terlalu mengkritisi pemerintah sehingga pemerintah tidak suka dan memandang tidak hormat terhadap jurnalis, atau seperti apa?

Tugas jurnalis itu memang untuk mengkritisi. Jadi kalau pemerintah merasa risih dengan itu, artinya pemerintah masih belum mengakui adanya kebebasan pers dan independensi pers. Pers di era reformasi itu punya peran sangat berbeda dibandingkan pers era Orde Baru. Di era reformasi, pers memang harus memerankan fungsi check and balances terhadap tugas-tugas pemerintah. Dari situlah sebetulnya warga masyarakat itu bisa terinformasi dengan baik, termasuk soal program-program pemerintah baik kelebihannya maupun kekurangannya. Tanpa adanya pers yang baik, maka bagaimana mungkin kita bisa memilih, katakanlah calon bupati, calon wali kota, gubernur hingga presiden, dengan pertimbangan pertimbangan yang rasional, begitu.

Bagaimana harusnya sikap aparat dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis, juga langkah perusahaan pers dan jurnalis itu sendiri, diungkap Gilang Parahita di laman berikutnya...

Artinya, dengan masih maraknya kekerasan terhadap jurnalis, berarti masih ada upaya pembungkaman terhadap kebebasan pers itu sendiri?

Artinya, kekerasan terhadap jurnalis ini yang dilakukan oleh aparat negara, menunjukkan negara tidak sepenuhnya demokratis. Salah satu ciri demokrasi itu adalah ketika persnya itu dilindungi, dijamin independensinya. Jika tidak dilakukan, maka negara tidak demokratis, artinya otoritarian.

Nah, kita maunya ke mana, apakah mau ke otoritarianisme atau demokratisasi? Walaupun jurnalis masih harus meningkatkan profesionalismenya, namun ketika jurnalis sudah berada di lapangan dan dia menggunakan sejumlah peralatan, dia punya hak untuk mendapatkan informasi kepada siapa pun, dan dilindungi oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, baik itu warga masyarakat, baik itu mungkin adalah petugas humasnya, maupun aparat. Itu hak.

Jadi jangan dibilang keselamatan jurnalis itu hanya tanggung jawab jurnalis. Tidak. Itu tanggung jawab seluruh elemen di masyarakat, termasuk perusahaan media. Perusahaan media juga tidak bisa lepas di sini, karena jurnalis ini adalah aset. Ketika jurnalis dianggap aset, maka dia harus dilindungi dong. Harus diberi training tentang keselamatan, bagaimana misalnya ada kemungkinan datang ke suatu tempat akan terjadi kerusuhan, atau akan terjadi bencana alam dan sejenisnya. Itu harus dilakukan.

Untuk jurnalis sendiri, bagaimana pencegahan agar tidak sampai menjadi korban kekerasan?

Sebetulnya yang pertama itu (memang) dari jurnalisnya itu sendiri. Jurnalisnya itu sendiri harus paham bahwa dia ketika melakukan liputan akan memasuki wilayah-wilayah yang memang terholong rawan. Bisa jadi itu wilayah bencana, atau bisa jadi itu wilayah yang dia tidak terlalu kenal. Misalnya dia dikirimkan ke kota yang berbeda, nah, dia harus memahami bahwa di kota tersebut ada budaya tertentu yang dia harus juga hormati, agar dia tidak mendapatkan resistensi dari masyarakat. Jadi yang pertama adalah jurnalisnya itu sendiri.

Yang kedua adalah perusahaan media. Perusahaan media, seperti sudah saya sampaikan, harus kemudian menjamin keselamatan dan (memberi) perlindungan terhadap jurnalis, sekaligus memberikan kompensasi apabila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dialami oleh jurnalis itu. Kemudian yang ketiga adalah asosiasi jurnalis, baik asosiasi profesi ataupun asosiasi sebagai pekerja, harus kemudian menumbuhkan solidaritas positif antarjurnalis. Jadi meskipun medianya berbeda, sesama mereka yang masih sama-sama jurnalis, mereka harus saling melindungi.

Yang keempat, tentu saja negara, baik aparat birokrasinya, militer maupun kepolisian, harus menjadi bagian dari (perlindungan) itu. Mungkin bahkan ketika tes CPNS, tes Polri, tes menjadi siswa Akmil, Akpol, itu harus masuk begitu, tentang kesadaran melindungi profesi jurnalis.

Akademisi UGM, Gilang Parahita, saat berbicara dalam seminar Mengakhiri Impunitas Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis, di kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta, Sabtu (2/11/2019). [Suara.com / Novian Ardiansyah]
Akademisi UGM, Gilang Parahita, saat berbicara dalam seminar Mengakhiri Impunitas Kasus Kekerasan terhadap Jurnalis, di kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta, Sabtu (2/11/2019). [Suara.com / Novian Ardiansyah]

Lantas jika pencegahan sudah dilakukan, namun ternyata masih terjadi juga bentuk kekerasan, apa yang seharusnya atau bisa dilakukan jurnalis, selain melapor ke aparat, sementara diketahui adalah personel aparat itu sendiri yang melakukan kekerasan?

Ya, sepertinya sudah menjadi hal yang standar, ketika jurnalis itu mendapat (kekerasan), melakukan visum terlebih dahulu atas luka-luka atau mungkin kekerasan mental yang mereka alami, sebagai bukti (untuk) disampaikan ke kepolisian, begitu. Dan ketika menyampaikan ke kepolisian, harus didampingi oleh rekan jurnalisnya yang lain, maupun dari perusahaan media tersebut. Jadi di sini, perusahaan media juga tidak bisa lepas tangan.

Nah, dari situ, kita dorong pihak kepolisian itu untuk mengusut tuntas. Penting bagi kepolisian untuk mengusut tuntas kekerasan terhadap jurnalis, agar kewibawaan atau trust masyarakat terhadap kepolisian itu meningkat. Yang terjadi selama ini kan, banyak pembiaran kasus kekerasan terhadap jurnalis, (itu) kontraproduktif dengan trust yang dibutuhkan oleh Polri. Jadi mestinya memang, kita semua sama-sama lah melangkah. Ketika ada kasus kekerasan, ya, Polri karena sudah punya MoU dengan Dewan Pers, harus menyelesaikan persoalan itu.

Jadi polisi diminta jangan takut untuk membuka kasus (kekerasan terhadap jurnalis oleh personelnya)?

Iya. Walaupun yang (nantinya) dihukum adalah aparatnya sendiri. Tapi itu kan menunjukkan bahwa kepolisian kita itu profesional dan terpercaya, mengayomi masyarakat. Begitu.

Artinya, dengan penindakan terhadap oknumnya itu, akan bisa meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada aparat?

Iya, seperti itu.

Dari data hasil penelitian terkait jurnalis yang menerima kekerasan, kira-kira sejauh ini kebanyakan di daerah mana saja?

Kalau berapa jumlah dan wilayahnya, itu sebetulnya AJI yang punya data yang empiris ya. Kalau saya kan datanya data persepsi begitu. Tapi bisa dikatakan, semua jurnalis itu pernah mengalami kekerasan, baik itu (termasuk) hanya kekerasan mental. Apalagi di daerah-daerah, terutama itu kekerasan fisik. Misalnya dia mendapatkan pemukulan, itu banyak terjadi, karena di daerah ini kan spotlight dari pusat itu sangat rendah. Isu-isu dari daerah itu spotlight-nya sangat rendah di pusat, sehingga jurnalis jadi malah (lebih sering) ditekan kalau di daerah-daerah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI