Kalau alasan dari Disdik yang bilang alasannya salah ketik, itu bisa diterima, tidak?
Nah, gini lho. Menilai itu masuk akal atau tidak adalah dengan menyatakan kepada dia, kok banyak sekali temuan yang kita temukan. Apakah ini salah ketik semua? Nggak masuk akal dong. Dan sekaligus itu membuka aib sendiri, (bahwa) berarti selama ini (mereka) tidak cermat, main-main. Ini uang rakyat, jangan coba main-main. Apalagi salahnya sampai Rp 82 miliar. Itu bukan hitungan kecil, bukan satu-dua juta salahnya. Salahnya sampai Rp 82 miliar. Coba biarkan masyarakat menilai, itu beneran salah ketik atau bukan? Kalau dari saya itu saja.
Selain lem Aibon, bolpoin, ada yang lainnya itu bagaimana? Bisa dijelaskan lagi?
Misalnya dari temuan yang tadi, ya, itu selain itu misalnya ada pengadaan komputer di SMK Negeri oleh Dinas Pendidikan itu Rp 123 miliar. Jadi dia (disebutkan) membeli 7.313 unit. Jadi kalau kita bagi, per-unitnya itu harga komputernya Rp 15 juta, untuk kegiatan belajar-mengajar doang. Jadi buat murid-murid belajar. Komputer apa sih yang mau dibeli, sampai secanggih itu, sampai Rp 15 juta (per unit)? Mungkin (harga) Rp 5-8 juta sudah cukup menurut saya. Jadi coba jelaskan lagi, apakah ini salah ketik lagi Rp 15 juta?
Baca Juga: Sekjen KPA Dewi Kartika: Reforma Agraria, Kami Akan Tagih Presiden
Terus misalnya bolpoin, bolpoin di SDN Jaktim Rp 123,8 miliar. Ini Jaktim doang lho. Di Suku Dinas Pendidikan Wilayah 1 Kota Jaktim dia membeli bolpoin sebanyak 932 ribu unit untuk setahun, dan kalau kita pecah, satu piece-nya itu Rp 125 ribu. Wajar nggak, harga satu piece untuk bolpoin itu Rp 125 ribu, dengan total Rp 123,8 miliar? Itu bolpoin.
Yang terakhir ini, kita juga temukan misalnya server Jakarta Smart City. Jakarta Smart City itu di bawah Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik, itu ada kegiatan namanya pengembangan infrastruktur Jakarta Smart City. Itu kan general banget kan. Itu kegiatan begitu, ada judulnya pengembangan Jakarta Smart City. Nah, pas kita lihat level komponennya, apa sih maksudnya pengembangan infrastruktur? Ternyata dia membeli smart storage 4 unit, harga satunya Rp 12 miliar, total Rp 53 miliar. Tambah dia beli storage server 10 unit, satunya Rp 1,2 miliar, totalnya Rp 12,9 miliar. Jadi sekitar Rp 65 miliaran tuh untuk pengembangan infrastruktur Jakarta Smart City (JSC).
Kalau buat JSC ini, saya pernah berkunjung ke sana, berbicara, berdiskusi, dan kami tampaknya tidak perlu ada tambahan data. Data apa sih yang mau disimpan lagi, pakai membeli smart storage lagi dengan harga fantastis, satu unit harganya Rp 12 miliar? Nah, apakah ini perlu atau tidak? Untuk mengetahui perlu atau tidak, dibuka dong anggarannya, biar publik juga bisa mempelajari, ini perlu nggak sih? Ahli-ahli, ahli komputer, bisa ikut nimbrung juga kan. Bisa mengkritisi juga, perlu atau enggak. Kalau selama ini tertutup, cuma dikasih di hari-H doang datanya. Ya, pembahasannya jadinya kita cuma bisa nanya-nanya yang general-general doang, nggak bisa dalam.
Terus, sekarang harapannya apa?
Jadi memang harapan saya adalah hari ini, atau paling lambat minggu ini, Pak Gubernur Anies Baswedan harus melakukan pernyataan resmi kepada publik. Jangan dinasnya lho ya, yang pasang badan. Tapi Pak Gubernur Anies Baswedan yang dipilih oleh rakyat langsung, menyatakan kepada publik kenapa selama ini dokumen-dokumen APBD 2020 tidak diunggah ke website. Kenapa masyarakat tidak boleh melihat untuk apa uangnya digunakan.
Baca Juga: Bupati Bantul Suharsono: Soal Agama Camat Disuruh Ganti, Saya Hadapi!
Kenapa Anda begitu gencar menyoroti soal anggaran ini? Kenapa, dan apakah ada tujuan Anda secara pribadi?
Tujuan saya itu, ya, seperti yang tadi saya bilang. Saya itu anggota DPRD, saya punya fungsi budgeting, punya fungsi pengawasan. Ya, saya jalankan saja fungsi saya itu. Penyisiran anggaran itu kan hal yang wajar, (pekerjaan) standar yang sangat wajar untuk anggota DPRD.
Atau memang Anda sebelum masuk DPRD sudah punya sorotan juga terhadap anggaran (DKI)?
Ya, sebenarnya pada saat kampanye, salah satunya saya (sudah) berkomitmen mau menjaga APBD, mengawal APBD. Dan itu menurut saya harus menjadi sebuah janji kampanye anggota DPRD, (yaitu) mengawal anggaran. Karena itu memang secara nature, secara konstitusional, memang itulah tugas utama dari anggota DPRD, mengawal anggaran. Memang itu eksistensi dari adanya anggota DPRD, ya mengelola anggaran, mengawasi pemerintahan, dan membuat peraturan daerah. Kalau dia tidak bisa melaksanakan itu, ya nggak bisa jadi anggota dewan.
Apa memang (Anda) melihat APBD ini sudah bermasalah dari sebelumnya?
Sudah lihat. Jadi kami sebelum dilantik itu kan sudah coba-coba pelajari kan. Dan kami waktu itu sebelum dilantik kan sempat pelajari, kok belum di-upload-upload, gitu kan. Belum dilantik saya itu, tapi kami kan sudah bersurat, faktanya bersurat. Dan kami akhirnya (merasa), ya, anehlah ini semua.
Bagaimana dengan tujuan politik? Ini (PSI) kan terlihat cukup gencar, apalagi anggaran ini hal yang krusial. Di medsos juga, sudah beberapa kali viral dari PSI. Apa ada tujuan untuk bisa menaikkan elektabilitas dari PSI sendiri, untuk tahun 2024 misalnya?
Kami nggak memikirkan itu ya. Mungkin ya, (bisa) menaikkan elektabilitas, (tapi) itu kan dampak yang tidak langsung. Kami cuma mau kerja yang benar saja, kami ingin menjadi anggota legislatif yang ideal. Masyarakat kan selama ini merindukan anggota DPRD yang bisa kerja, yang bisa transparan, dan lain sebagainya. Kami cuma mau nunjukin itu aja. Kami cuma mau kerja, dan salah satunya menyisir anggaran itu kerjaan kami memang. Jadi buat (kepentingan) elektoral dan lain sebagainya, (itu) terlalu jauh. Dan bukan kapasitas saya juga untuk ngomong soal itu. Itu kan DPP (secara) nasional yang memikirkan strategi politik. Kalau saya anggota DPRD, kan cuma kerja doang kerjanya mas. Saya nggak memikirkan soal itu.
Atau mungkin Anda pribadi, punya rencana nggak untuk jadi Gubernur?
Saya itu nggak pernah berencana terlalu panjang. Saya itu cuma mengikuti alur saja. Mengalir aja saya orangnya tuh. Saya menjadi anggota DPRD juga nggak pernah memikirkan (hal-hal lain). Mungkin kalau nggak ada PSI juga saya nggak akan nyaleg. Kebetulan aja tiba-tiba PSI buka caleg terbuka, saya ikut, ikut proses segala macam. Saya kan bukan pengurus, saya itu dari eksternal. Saya nggak pernah jadi pengurus PSI. Jadi benar-benar mengalir (saja).
Berarti nanti kalau ada kesempatan (ikut Pilkada misalnya), mau?
Kita lihatlah (nanti). Kita nggak tau lah, masih sangat panjang. Saya masih umur 23 tahun, masih sangat jauh. Jadi kalau menurut saya, ya, saya jalani saja tugas selama 5 tahun ini. Saya belum pernah kepikiran jadi Gubernur segala macam. Saya belum beranilah berpikir begitu. Kepilih (jadi) anggota DPRD periode berikutnya saja kan belum tentu kepilih lagi.
PSI disebut-sebut menekankan budaya disiplin. Di sini (DPRD) masih berjalan nggak?
Jalan. Kita tuh sekarang lagi memformulasikan tata tertib fraksi. Mungkin ini salah satu yang pertama di Indonesia, fraksi itu ada tata tertibnya sendiri. Tata tertib kan (biasanya) DPRD-nya saja. Ini kita biar disiplin, biar datang tepat waktu, biar kerjanya terus amanah. Soal kehadiran, soal tepat waktu, tentang bagaimana kita melaporkan kepada publik, laporan kinerja kita harus transparan, dan lain sebagainya, ini akan kelihatan semua di situ.
Tapi belum jadi (tatib itu)?
Belum jadi. Sebentar lagi mungkin, bulan Desember.
Itu untuk Fraksi PSI sendiri?
(Iya, untuk) Fraksi PSI. Kami nggak bisa menuntut fraksi lain buat tatib dong. Cuma bisa (untuk) kita doang paling.