Suara.com - Menjabat sebagai Bupati Bantul mungkin tidak sempat dibayangkan oleh Suharsono dulunya, apalagi di masa mudanya. Ya, apalagi ketika lelaki kelahiran 26 Maret 1957 itu kemudian masuk ke jalur kepolisian, berdinas selama lebih dari dua dasawarsa --termasuk di Polda Metro Jaya dan Polda Banten-- dengan pangkat terakhir Kombes (Komisaris Besar).
Tapi itulah kemudian jalan hidup Suharsono, tepatnya setelah resmi terpilih dalam Pemilukada Bantul akhir 2015 lalu. Hingga kini, alumnus Universitas Gadjah Mada ini pun sudah memasuki tahun keempatnya sebagai pemimpin daerah Bantul, tanah kelahirannya sendiri yang berbatasan dengan laut, di tengah Provinsi DI Yogyakarta.
Suharsono pun tampaknya tidak main-main dengan tugasnya sebagai Bupati. Mengedepankan ketegasan dalam bersikap namun juga senantiasa terbuka untuk diskusi, sosok yang berasal dari Partai Gerindra ini memiliki beberapa terobosan gaya memimpin yang menurutnya cukup efektif sejauh ini. Apa saja itu?
Baca Juga: Herlambang Wiratraman: Tanpa Penyeimbang, Potensi Otoritarianisme Menguat
Ketika ditemui Suara.com di tempat kerjanya, Senin (21/10/2019), Suharsono menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan dengan penuh semangat dan percaya diri. Berikut petikan wawancara dengan sosok Bupati Bantul tersebut.
Tampaknya ada satu sisi cukup menarik dalam pemerintahan Anda, yaitu terkait contoh bagaimana mengelola keberagaman agama. Bisa diceritakan sedikit mengenai itu?
Saya menjabat tahun pertama itu banyak didemo, banyak (juga ditemui) wartawan dari Jakarta sampai Australia, karena masalah agama itu tadi. Yang penting saya bekerja sesuai dengan aturan yang ada. Salah satunya, saya mengangkat pejabat yaitu seorang camat tapi non-Muslim, padahal di situ daerah Muslim. Ya, ternyata yang komplain bukan masyarakat situ, justru malah dari luar.
Ya, saya tunjukkan, (bahwa) saya mengangkat kan atas dasar tes. Yang paling atas nomor satu, itulah yang saya pilih. Nah, saya tidak melihat, waktu saya seleksi itu agamanya apa sih? Tidak. Saya berdasarkan hasil tes, enggak melihat agama atau apa.
Itu diprotes, disuruh ganti. Sebelum saya juga pernah. Hanya satu minggu, karena tekanan dari masyarakat, langsung diganti. Oh, saya tidak. Saya hadapi. Kita coba satu tahun, dan ternyata dia bekerja bagus di situ, bisa memajukan masyarakatnya, dekat dengan masyarakat. Pembangunan-pembangunan banyak yang bagus, padahal itu non-Muslim. Kegiatan agama juga dia saya suruh ikut walaupun hanya duduk. Jadi, saya tidak melihat faktor agama atau apa, yang penting diakui legalitasnya oleh pemerintah.
Baca Juga: Bak Negeri Sakura, Begini Cantiknya Kalinampu Natural Park di Bantul
Yang saya lakukan sesuai aturan, bisa saya tunjukkan. Ini syaratnya tidak ada yang "tidak boleh pejabat non-Muslim." Tidak ada di sini. Ya, pokoknya kita kerja sesuai aturanlah. Jadi ada dasar hukumnya, ada payung hukumnya manakala ada komplain dari masyarakat dari siapa pun. Pokoknya enak kerja sesuai aturan.
Ya, karena jabatan saya jabatan politis kan, ya banyak macam-macam. Emangnya gue pikirin. Santai aja. Ada komplain, silakan. Diskusi, tanya langsung sama saya. Saya tantang. Jangan main isu-isu dan lain sebagainya. Tapi ya, masih ada saja. Tapi ya, tambah sabarlah. Saya itu termasuk orang sabar. Tidak bisa marah, saya itu orangnya. Tapi ya, menjabat di jabatan politis, tambah sabar saya.
Saya jadi polisi belum pernah marah-marah, (tidak) mukul anak buah sekali pun. Kalau ada yang salah, saya ajak diskusi di meja saya. Padahal kalau di ABRI, di polisi, kan biasa emosi dalam apel. Pukul boleh, enggak apa-apa. Tapi saya enggak. Walaupun dia anak buah, kan punya perasaan dan harga diri. Kalau saya jatuhkan di depan umum, kan dia juga malu. Makanya kalau ada sesuatu yang kurang, saya panggil, saya ajak diskusi. "Kalau yang kamu lakukan salah, jangan diulangi. Kalau tiga kali melakukan kesalahan yang sama, kamu enggak bisa kerja sama saya, tidak bisa membantu saya. Silakan keluar. Mau minta di mana?" Salah saja masih (ditawarkan) minta di mana, saya bantu. Mau di mana, di dekat rumah, saya bantu. Padahal itu jelas-jelas salah.
Saya orangnya seperti itu, enggak bisa marah. Tapi kalau ditantang, saya enggak mundur satu langkah pun. Itu karakter saya seperti itu.
Lantas selain itu, apa saja kira-kira pencapaian yang bisa disampaikan selama Anda memimpin Bantul sejauh ini?
Sesuai dengan visi misi saya, pertama adalah sehat, kedua cerdas, ketiga sejahtera. Jadi sudah saya sampaikan, bahwa program saya yang sudah saya lakukan, tadi saya bekerja dengan staf saya semuanya, yaitu sistemnya adalah kerja kelompok. Jadi permasalahan yang ada di wilayah saya, ayo kita pikirkan sama-sama, yaitu sistem teamwork yang kita gunakan. Ya, alhamdulillah dengan kebersamaan kita selama ini menjabat hampir empat tahun jalan, mendapat banyak penghargaan-penghargaan, baik dari menteri, dari Presiden, bahkan dari KPK.
Ya, karena background saya penegak hukum, jangan sampai aneh-aneh. Karena sebelum saya kan banyak lurah-lurah, Sekda saja (sampai) masuk penjara. Ini saya ancam. Kalau aneh-aneh, enggak usah nunggu KPK, saya tangkap sendiri. Berlaku untuk semuanya, termasuk saya. Tolong diawasi. Bupati itu kan hanya jabatannya, tapi tolong saya diawasi, dikontrol. Kalau salah, ya diluruskan. Makanya kerja sama, ayo, jangan sampai aneh-aneh, atau jangan sampai korupsi.
Itu yang saya lakukan selama ini. Alhamdulillah. Bukan satu-satunya tujuan saya memperoleh penghargaan. Tidak. Tapi kita selalu kerja yang terbaiklah. Alhamdulillah yang saya lakukan selama ini, kurang lebih jalan empat tahun, seusai dengan harapan kita. Walaupun belum maksimal, tapi sudah diakui baik dari pemerintah provinsi maupun dari pemerintah pusat. Itu yang saya lakukan.
Soal potensi lain daerahnya, juga bagaimana ia mengarahkan generasi milenial, apa kata Bupati Bantul Suharsono? Simak di laman berikutnya!