Ya mas, ini disebabkan oleh sistem pemilu kita yang terperangkap oligarki, sehingga berpotensi melahirkan karakter otoritarian.
Saya tak terkejut (dengan) fenomena merapatnya Gerindra ke kekuasaan. Karena saya sudah prediksi di 2018, berbasis pada riset soal sistem pemilu yang memungkinkan politik elektoral yang begitu memberi ruang transaksional.
[Lebih jauh menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Herlambang lantas merujuk pada salah satu makalah yang ditulisnya pada akhir 2018, berjudul "Pemilu dan Neo-Otoritarianisme" yang antara lain memuat beberapa kutipan paparan berikut:]
"Ketika Soeharto jatuh dan reformasi bergulir, termasuk reformasi dalam bidang politik dan hukum, desain ketatanegaraan yang mengemuka dalam kurun waktu itu adalah menandingi wacana dominan otoritarianisme agar tak berulang di Indonesia. Rumusan pemilu kepresidenan yang hanya memungkinkan sebatas dua kali periode, merupakan babak awal upaya memangkas bekerjanya dominasi otoritarianisme yang berada dalam pucuk kuasa negara.
Baca Juga: Bivitri Susanti: Pembahasan RKUHP Harus Terbuka dan Libatkan Banyak Pihak
Sejumlah perubahan terjadi, secara bertahap, dari proses pemilihan langsung, hingga meliberalisasi sistem kepartaian maupun pemilu itu sendiri. Pemilu, diupayakan politik hukum regulasinya dalam rangka memangkas bekerjanya oligarki kekuasaan yang selama ini memanfaatkan pemilu sebagai instrumen politik melegitimasi jalannya kuasa politik-ekonomi.
Sekalipun demikian, instrumentasi politik kelembagaan negara diupayakan untuk memperkuat sistem presidensiil, dengan mekanisme politik ketatanegaraan yang berupaya mendekonstruksi relasi kuasa dominan dan menyeimbangkannya dalam model yang lebih menguatkan pola relasi politik kewargaan. Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung adalah salah satu kunci perubahan besar dalam konteks Indonesia.
Hingga pada akhirnya mendapati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 yang memberikan jalan bagi penyelenggaraan Pemilu secara serentak, khususnya di tahun 2019. Atas dasar Putusan MK tersebut, lahir Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Tentunya, 20 tahun pasca Soeharto tumbang, perkembangan hukum Pemilu mendapati situasi yang kian terkonsolidasi dalam sistem politik yang jauh lebih baik dibandingkan Pemilu masa Orde Baru.
Demokratisasi politik melalui instrumentasi hukum pemilu yang telah mengalami sejumlah perubahan lebih baik, pada kenyataannya tidak banyak mengubah kontestasi politik kartel, yang bekerja di dalam sistem ketatanegaraan itu sendiri. Oligarki kekuasaan politik-ekonomi rupanya secara rapi bermanuver melalui instrumentasi hukum untuk merawat relasi kuasanya. Sehingga, dalam perkembangannya, pemilu lagi-lagi memperlihatkan pesta elit, yang memang tak lagi tersentralisasi layaknya masa rezim otoritarian Soeharto, melainkan elit-elit politik ekonomi yang bekerja di sejumlah lapisan, di pusat dan daerah, berkompetisi sekaligus merawat relasi kuasanya (bahkan dengan oposisi), dengan partai dan instrumen pemilunya (Slater 2018)."
...
"Pengalaman Pemilu 2014 dan 2019, hanya melahirkan dua pasang calon presiden/wakil presiden. Realitas politik yang saling berhadap-hadapan (head to head) tersebut dari sudut pandang realisme politik, justru menebalkan praktik koalisi politik pragmatisme. Bila dibandingkan dengan konteks politik pemilu di Amerika Serikat, tentu berbeda situasi dan karakternya, terutama dikaitkan dengan absennya pertarungan politik yang lebih ideologis. Indonesia, praktek pemilu yang 'head to head', justru lebih menampilkan karakter 'politik keroyokan' (gang politics), daripada karakter 'politik ideologis' (ideological politics).
Baca Juga: Ketua BEM UI: Oposisi dan Pemerintah Sama-sama Ngawur!
Bahaya lain, yang sangat mungkin terjadi akibat 'politik keroyokan' adalah dimungkinkannya partai-partai yang kesulitan mendapatkan koalisi tidak lagi berkemampuan mengusung calon presiden/wakil presiden. Dilema tentunya buat partai politik yang persentase perolehan suara dan atau kursinya sedikit. Abstain, tentu bukan pilihan. Menjadi oposisi pun tak berdaya dalam sistem politik. Karena, dalam ketentuan pasal 235 (5) UU Pemilu, "Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya."