Memang ada PKS dan PAN yang sementara ini tetap menyatakan mau menjadi oposan, tapi seberapa signifikannya kedua partai itu kalau tetap menjadi oposan?
Ya, saya mengapresiasi saja bekerjanya kekuatan yang menyatakan diri sebagai oposan, dan kita berharap suara itu menjadi suara yang lebih berkualitas, signifikan untuk memperjuangkan kepentingan publik. Tentu dalam demokrasi itu, tidak semuanya diserahkan ke partai politik. Jangan lupa, kedaulatan yang dimiliki itu adalah kedaulatan rakyat. Jadi, suara rakyat juga penting untuk didengar. Kekuatan partai politik yang berseberangan dengan pemerintah atau yang menjadi oposisi juga penting, sekali pun kecil.
Analisis Anda, kalau semua partai besar masuk koalisi pendukung pemerintah, bagaimana situasi politik dan juga program-program pemerintah selama 5 tahun ke depan? Apakah demokrasi dan kebebasan mengkritik bakal terancam?
Kalau lihat perkembangan 5 tahun terakhir, saya khawatir isu perlindungan hak asasi manusia, terutama penyelesaian atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat, itu semakin mandek atau tidak diselesaikan. Yang kedua, itu artinya kalau impunitas itu semakin menguat, maka penegakan hukum akan tetap bekerja secara diskriminatif dan itu mengganggu bekerjanya negara hukum yang demokratis.
Baca Juga: Bivitri Susanti: Pembahasan RKUHP Harus Terbuka dan Libatkan Banyak Pihak
Yang ketiga, bahwa potensi abuse of power atau bekerjanya institusi untuk merepresi rakyat itu akan menjadi tidak terkawal atau tidak terkontrol. Karena pengalaman 5 tahun terakhir, kita menyaksikan begitu banyak kasus kekerasan yang justru sangat bertentangan dengan mandat konstitusi untuk perlindungan hak asasi manusia. Jadi saya sangat khawatir situasi itu terjadi.
Apakah dengan masuknya Gerindra ke koalisi Jokowi, maka DPR justru akan menjadi semacam "lembaga stempel" bagi kebijakan pemerintah seperti era Orba?
Potensinya memang ada, karena kekuatan dominan yang menguasai lembaga negara justru mengonsolidasikan potensinya, yaitu mengondolidasikan oligarki di dalam kebijakan-kebijakan publik. Misalnya di sektor sumber daya alam, di sektor usaha yang selama ini memang agak susah disentuh, karena melibatkan kepentingan-kepentingan politik dominan di Jakarta. Jadi saya sangat khawatir situasi itu, apalagi disertai dengan fakta pelemahan KPK melalui revisi UU KPK maupun proses seleksi calon pimpinan KPK yang kita mencatat ada masalah.
Sebenarnya, seperti apa sih kondisi parpol di Indonesia? Kok seperti cuma transaksional saja parpol-parpol ini, seperti tak ada pertarungan ideologi? Atau justru karena semua ideologi parpol ini sama?
Ya, sebenarnya patron politik clientelism itu kan juga sudah menjadi realitas dalam politik Indonesia, yang (mana) pencerdasan dalam proses politik yang sehat itu kan sangat langka di negeri ini. Jadi partai lebih cenderung berperan secara transaksional atas kepentingan-kepentingan yang singkat atau yang pendek untuk mengegolkan kepentingan-kepentingan yang sebenarnya tidak seluruhnya untuk kepentingan publik. Nah, ini yang saya kira memang menjadi persoalan politik ekonomi yang masih menghambat di dalam upaya pemajuan hak asasi dan demokrasi di Indonesia.
Baca Juga: Ketua BEM UI: Oposisi dan Pemerintah Sama-sama Ngawur!
Apakah dengan tidak adanya oposisi, secara tidak langsung "menihilkan" Pemilu/Pilpres 2019? Artinya, percuma saja ada pemilu karena hasilnya semuanya juga berkuasa? Adakah parpol atau era yang bisa menjadi contoh betapa hidupnya demokrasi jika ada oposisi? Kalau parpol-parpol tidak bisa diharapkan, lantas peluang oposan atau kontrol pemerintah itu ke depan dari mana?