Suara.com - Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih hasil Pilpres 2019 akhirnya terjadwal digelar pekan ini, tepatnya pada 20 Oktober 2019. Banyak orang sudah menunggu terlaksananya momen ini, terutama dari kalangan pendukung pasangan presiden-wapres terpilih, selain juga mungkin sebagian besar rakyat Indonesia --baik yang berpartisipasi sebagai pemilih maupun tidak pada Pilpres lalu.
Di luar seremoni pelantikan, yang juga banyak ditunggu sebenarnya adalah komposisi pemerintahan kali ini, khususnya di jajaran eksekutifnya, atau terutama mengarah pada apa yang dilabeli sebagai "Kabinet Jokowi" kedua. Sampai titik ini (jelang pelantikan), memang belum ada daftar pasti mengenai itu.
Namun yang jelas, berbicara kabinet tersebut, tidak bisa tidak juga lazimnya akan bicara mengenai koalisi partai-partai politik (parpol) pendukung Jokowi-Ma'ruf, yang notabene dalam perkembangan terakhir tampaknya kian "gemuk". Ini terutama terlihat dengan indikasi merapatnya sejumlah parpol dari kubu kontestan pesaing pada Pilpres 2019 lalu, utamanya Partai Demokrat dan Gerindra.
Lantas, akan bagaimana komposisi kabinet Jokowi sekaligus keberadaan koalisi dalam pemerintahan kali ini, terutama dalam hubungannya dengan hasil Pemilu 2019, dan pengaruhnya pada kebijakan pemerintah, hingga kekuasaan yang nyaris tanpa oposisi (jika benar terjadi)? Mencoba menganalisa situasi ini, berikut petikan wawancara Suara.com dengan Herlambang Wiratraman, dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Airlangga:
Baca Juga: Bivitri Susanti: Pembahasan RKUHP Harus Terbuka dan Libatkan Banyak Pihak
Setelah Prabowo menyatakan Gerindra tidak oposisi, bagaimana analisis Anda? Apakah hal ini membawa pengaruh negatif terhadap demokrasi di Indonesia? Semacam "demokrasi mati", begitu?
Jadi pertama, saya kira ini memang akan mengganggu proses berdemokrasi yang lebih sehat, karena kita khawatir proses partisipasi publik menjadi terhambat oleh bekerjanya kekuatan yang dominan di kekuasaan. Tentu ini akan menjadi berbahaya ketika kekuasaan itu kemudian menghendaki kebijakan-kebijakan tanpa ada penyeimbang dalam proses berdemokrasi di negara kita ini, kalau misalnya kekuatan oposisi itu tidak ada. Nah, yang kita khawatirkan adalah kalau penyeimbang itu tidak ada, tentu potensi menjadi otoritarianisme akan menguat.
Jokowi adalah kader PDIP, tapi tak memiliki jabatan apa-apa di PDIP. Apakah ada kemungkinan bahwa dengan merangkul Gerindra, sebagai strategi untuk menetralisir ataupun sebagai perimbangan kekuatan dalam koalisi itu sendiri, agar tak ada yang dominan?
Saya tidak punya preferensi pikiran. Tetapi yang bisa saya sampaikan, bahwa kecenderungan untuk produk hukum yang berperspektif anti-demokrasi atau terbatas kepeduliannya terhadap publik, itu akan besar terjadi ketika kekuasaan itu tidak ada kontrolnya.
Apakah oposisi itu saklek diperlukan untuk menjaga demokrasi tetap hidup? Bagaimana di negara-negara lain?
Baca Juga: Ketua BEM UI: Oposisi dan Pemerintah Sama-sama Ngawur!
Ya, saya kira memang oposisi yang efektif adalah pemerintah yang selalu dikawal oleh partisipasi politik kewargaan maupun kelembagaan yang mencegah absolutisme di dalam pemerintahan. Selain itu, kekuatan oposisi juga diperlukan dalam rangka memastikan bahwa ruang-ruang demokrasi itu selalu terbuka bagi suara lain, suara yang memberi perspektif lebih kuat, lebih beragam, dan tentunya lebih peka terhadap kepentingan publik. Kan ada idiom, power tends to corrupt. Jadi misalnya kalau power itu tidak ada kontrol, kan kekhawatirannya (ada) potensi masuk dalam strategi otoritarianisme.