Suara.com - Butuh beberapa menit menunggu jawaban konfirmasi dari Nanang Farid Syam, pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkatan pertama yang saat ini juga berposisi sebagai Penasihat Wadah Pegawai KPK, pagi itu, Jumat (13/9/2019). Wajar, jika mengingat itu masih di jam-jam awal masuk kantor; meski tampaknya ada alasan lain.
"Saut (Situmorang) mundur. (Ini) Saya sedang nyari (beliau)," sebuah jawaban muncul di layar aplikasi perpesanan, sejurus kemudian, dari sosok yang bertugas di Direktorat Pembinaan Jaringan dan Kerja Sama antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK itu.
Kabar pagi itu memang sudah terpantau Suara.com dan beberapa media online lain pada menit hampir bersamaan. Kabar yang menyusul terpilihnya lima pimpinan baru KPK di DPR RI, lewat voting Jumat dini hari, alias hanya beberapa jam sebelumnya. Masalahnya, pimpinan terpilih termasuk Irjen Pol Firli Bahuri yang dipilih sebagai Ketua KPK, termasuk yang dipersoalkan bahkan ditolak oleh KPK berikut sejumlah besar pegawainya, bersama antivis antikorupsi, akademisi, mahasiswa, dan kalangan masyarakat sipil lainnya sejak beberapa waktu belakangan.
Nyatanya, setelah Presiden Jokowi juga menyetujui diprosesnya nama-nama calon saat itu, DPR akhirnya memang segera memilih lima di antara mereka, yang pada Senin (16/9) siang ini pun resmi ditetapkan lewat rapat paripurna DPR. Termasuk Firli Bahuri yang Jumat dini hari itu di Komisi III DPR sudah terpilih dengan suara bulat (56) untuk menjadi Ketua KPK.
Baca Juga: Jokowi: Pemerintah Sedang Bertarung Memperjuangkan Substansi RUU KPK
Akan halnya Saut yang sempat menyatakan mundur melalui kiriman email ke seluruh jajaran KPK pada Jumat pagi, akhirnya muncul lagi ke hadapan publik pada malam harinya, mendampingi dua pimpinan KPK lainnya yakni Agus Rahardjo dan Laode M Syarif, saat menyampaikan pernyataan pengembalian mandat pemberantasan koruspi kepada Presiden Jokowi. Belakangan, Senin (16/9), setelah pertemuan khusus di Gedung Merah Putih KPK, beberapa pihak yang concern termasuk para mantan pimpinan KPK sebelumnya, menyatakan bahwa tidak (jadi) ada pimpinan KPK saat ini yang mundur.
Di jajaran pegawai KPK sendiri, Nanang Farid Syam bersama Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap dan rekan-rekannya, memang termasuk yang juga bersuara keras sejak awal, terhadap dua peristiwa bersamaan yang dianggap akan melemahkan KPK. Selain pemilihan pimpinan baru KPK dengan calon-calon yang dinilai bermasalah, satu hal lagi adalah revisi Undang-Undang KPK (UU KPK) yang kelanjutan prosesnya juga sudah disetujui Presiden Jokowi.
"Disayangkan sebenarnya, karena Pak Jokowi ini kan adalah (salah satu) penerima Bung Hatta Award (penghargaan antikorupsi yang diterima Jokowi pada 2010 ketika menjabat Wali Kota Solo --Red)," keluh Nanang, Jumat (13/9) siang.
Lebih jauh, obrolan sekaligus wawancara dengan Nanang Farid Syam pun berlanjut siang itu, di mana ia antara lain menjelaskan sikap dan pandangan para pegawai KPK, sekaligus membantah berbagai tudingan yang dialamatkan ke mereka selama ini. Di satu kesempatan, obrolan sempat dihadiri Yudi Purnomo dan rekan pegawai KPK lain yang biasa menyapa Nanang dengan sebutan Uda --pria Minangkabau pemilik bakat seni yang sejak SMA memang nyaris tak berubah dengan jiwa kuat pencinta alam dan karakter blak-blakannya itu. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana situasi di kalangan kawan-kawan pegawai KPK saat ini (per Jumat siang 13 September 2019 --Red)?
Baca Juga: Bupati Penajam Paser Utara: Akan Jadi Tinta Emas Pak Jokowi untuk Indonesia
Secara pekerjaan rutin, pegawai tetap bekerja seperti biasa, karena memang pegawai KPK itu rata-rata orang taat azas. Tapi kalau situasi kebatinan, psikologis, tentu terganggu. Kenapa? Ibarat commuter line, jalan yang sudah dibangun lurus, kemudian keretanya sudah bagus, (itu sekarang) listriknya mau dimatikan ini. Jadi, bagaimana orang-orang di dalamnya bisa nyaman dan menikmati perjalanan, kalau listriknya malah mau dimatikan?
Walaupun memang, proses yang terjadi di Pansel (Capim KPK) sejak awal, itu sudah kita duga, dengan (hasilnya adalah) keputusan DPR tadi malam. Sudah kita dugalah hasilnya akan seperti apa. Tapi tentu, pegawai KPK dengan semangat yang sama akan tetap berkiprah, (dengan keyakinan) bahwa pemberantasan korupsi itu salah satu risikonya, ya, seperti kejadian akhir-akhir ini.
Ada suara-suara, termasuk dari netizen yang sinis dengan pegawai KPK, bahwa akan banyak yang mundur, atau malah resign massal. Itu bagaimana?
Belum, belum ada (informasi soal itu). Kita mungkin (malah) nggak bakalan menyerah dengan situasi, karena risiko seperti ini sudah kita mitigasi, (bahkan) sejak KPK berdiri. Karena dulu kan waktu ICAC (Komisi Independen Antikorupsi Hong Kong) hingga berdiri, kan kejadiannya sama seperti ini. Cuma kan, Hong Kong dipimpin oleh seorang gubernur yang konsisten dan kuat membela lembaganya. Dan (ICAC) Hong Kong sukses hari ini.
Sayangnya di republik kita, lembaga antikorupsinya tidak boleh kuat. Jadi, KPK ini sudah berkali-kali diganggu. Bagaimana pegawai bisa bekerja dengan tenang, bagaimana kita mau berantas korupsi, kalau setiap yang dilakukan KPK itu dituduh sebagai.. macam-macam kan tuduhannya. Menghambat pembangunan lah, tidak bisa melakukan pencegahan lah. Padahal sebenarnya penangkapan-penangkapan dan OTT itu adalah bagian penting dari pencegahan itu sendiri.
Nah, soal penilaian kurangnya program pencegahan. Itu sebenarnya karena memang tidak banyak orang tahu, atau jarang dilaporkan, atau bagaimana?
Sebenarnya bukan tidak banyak (orang) tahu. Karena kan KPK itu minimal sekali sebulan dipanggil RDP oleh DPR. (Terus) Tiap minggu (KPK) menyampaikan laporan oleh juru bicara di depan pers. Di website KPK juga di-update terus (soal) kegiatan-kegiatan pencegahan itu. Cuma memang, (soal) pencegahan ini tidak "seksi".
Terkait Wadah Pegawai atau WP KPK sendiri, ini belakangan juga termasuk banyak disorot, dan banyak juga tudingan terhadapnya. Ada penjelasan?
Jadi, Wadah Pegawai itu sebenarnya menjaga ruh integritas yang dititipkan di dalam gerakan antikorupsi. Jadi kalau nggak, tidak ada yang jaga. Lembaga ini kan digerakkan oleh orang-orang, (yang) di dalamnya ada pegawai. Nah, pegawai ini bersepakat menjadikan wadah ini sebagai elemen untuk menjaga sistem yang ada di internal. Karena lima orang pimpinan (KPK) ini kan salah satu kontrol check and balances-nya adalah pegawai. Melalui apa? Melalui Wadah Pegawai.
Jadi kami itu sudah puas-lah dengan tuduhan dan fitnah. Jadi sejak KPK berdiri itu, dulu kita menangkap koruptor dituduh antek Zionis. Kemudian belakangan dituduh atheis, bahkan ada yang nuduh komunis. Sudah, kita udah kenyang lah. Jadi, ketika pegawai KPK menjalankan agamanya dengan taat, dituduh Taliban. Segala tuduhan itu sudah kenyang (kita), jadi ndak ada masalah.
Padahal juga, kalau kita pakai indikator tuduhan radikal itu (misalnya), memberantas korupsi itu memang harus radikal. Karena musuh kita siapa? Mafia, oligarki. Jadi memang harus radikal. Radikal dalam hal apa? Dalam memberantas korupsi; itu (memang) melawannya harus radikal. Dan kalau (soal) sikap personal, ini (kami) orangnya humanis semua. Mungkin orang-orang yang mengatakan itu nggak pernah bergaul dengan orang KPK.
Baca di laman berikutnya, bantahan atas beragam tudingan lain menyangkut Wadah Pegawai KPK, juga komentar menohoknya terhadap pemerintah...
Tapi ada juga tudingan lain, bahwa WP atau Wadah Pegawai KPK konon sampai bisa mengendalikan pimpinan KPK. Itu bagaimana?
Pasti enggak lah, itu hoaks. Yang mengendalikan KPK itu adalah pimpinan yang lima (orang). Karena secara hukum, secara undang-undang, lima pimpinan itulah yang memutuskan segala sesuatunya di KPK.
Ada juga berita WP KPK katanya sempat "mencegat" Saut Situmorang demi pernyataan pers capim KPK bermasalah, tempo hari. Benarkah?
Ya, itu kan pemberitaan memang (judulnya) dibuat bombastis ya. Padahal, yang namanya anak pasti mengadu ke bapak. Jadi, pegawai itu saking sayangnya dengan lembaga ini, tentu kalau ada kejadian-kejadian luar biasa, pasti ngadu ke bapak (pimpinan). Jadi kadang-kadang, dibuat analogi-analogi kaya (peristiwa) Rengasdengklok (oleh media), biar heroik aja kesannya. Padahal enggak. Ini anak ngadu ke bapak, "Yuk bapak, ini kita harus berjuang sama-sama." Kira-kira begitu.
Bahkan dulu pernah juga ada "bapak" yang sempat dilawan pegawainya kabarnya, ya? Sampai sempat ada SP3 (Surat Peringatan)?
Iya, karena kita sayang sama bapak kita. Jadi kalau bapak salah, kita ingatkan. Nah, itulah integritas itu. Jadi di KPK itu (kita) tidak melihat siapa, tapi melihat apa yang dilakukan.
Anda kan termasuk generasi atau angkatan pertama di KPK. Bisa ceritakan sedikit kenangan atau situasi saat itu, soal prosesnya, juga mungkin refleksinya terhadap kondisi saat ini?
Jadi, sebagian besar pegawai yang bergabung di Indonesia Memanggil (IM) pertama itu adalah orang yang sudah mapan di pekerjaan profesional masing-masing. Karena waktu itu rekrutmennya memang ada dua jalur, jalur profesional dan jalur pilihan yang kemudian sebagian dari mereka itu disekolahkan di Akpol. Jadi saya termasuk yang jalur profesional yang langsung kerja. Jadi, introduksi 1 bulan langsung kerja. Di dalam satu bulan itu kita diajarkan berbagai teori dan praktik modern pemberantasan korupsi. Ke mana kita berkiblat waktu itu? Karena kita negara Asia, kita berkiblat ke Malaysia (Malaysian Anti-Corruption Commission/MACC), Singapura (Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB), sama ICAC Hong Kong.
Jadi cerita-cerita tentang perjuangan ICAC Hong Kong itu membuat kami meyakini bahwa melawan korupsi itu pasti akan menghadapi situasi-situasi seperti hari ini. Jadi, ketika "Cicak vs Buaya 1", "Cicak vs Buaya 2", "Cicak vs Buaya 3", dan mungkin teman-teman sudah dengar juga berita soal "Cicak vs Buaya 4.0" itu, bagi kami ini memang sudah diprediksi. Karena apa? Karena pasti, mereka yang berkuasa, mereka yang punya modal, mereka yang terganggu dengan kerja-kerja hebat KPK, pasti bersatupadu juga untuk membunuh KPK.
Nah, inilah yang kami rasakan selama lebih kurang 15 tahun di KPK. Jadi, situasi seperti ini sebenarnya sudah didengungkan sejak awal. Cuma, kita kan masih berharap nih, ada orang-orang baik yang jadi elite politik, yang kemudian memimpin negara... (Presiden) Jokowi ini kan penerima Bung Hatta Award. Dan banyak sekarang, kalau saya lihat di media sosial, yang kecewa dengan sikapnya yang dinilai tidak lagi mampu memimpin negaranya dalam pemberantasan korupsi.
Apakah itu artinya, dengan modal awal pengetahuan dan gambaran seperti itu, optimisme di teman-teman KPK sejauh ini masih cukup kuat?
Kuat. Jadi, yang perlu digarisbawahi mungkin, kalau banyak orang yang sinis ke KPK, (menyebut) bahwa itu sedang memperjuangkan asap dapurnya, sedang memperjuangkan periuk nasinya, itu sah-sah saja mereka menuduh begitu. Yang namanya orang bekerja pasti ada harapan lah, ndak ada yang gratis. Tapi, yang mereka tidak sadari adalah, orang yang bekerja di KPK itu sudah melewati suatu fase. Kan tadi di awal saya sudah bilang. Mereka (pegawai KPK) itu ibaratnya orang bekerja, gaji pertama yang diterima di KPK itu "terjun payung". Jadi, turun drastis. Dulu ada direktur utama perusahaan multinasional gabung KPK. Direktur perusahaan-perusahaan swasta dan perbankan yang sudah mapan secara eknomi, itu gabung KPK. Niatnya apa? Mereka mau berantas korupsi. Dan memang waktu itu, salah satu syarat mutlak untuk menjadi pegawai KPK waktu itu adalah integritas. Jadi tidak lihat latar belakang sekolahnya apa, tidak lihat IPK-nya berapa waktu itu. Tapi, mau nggak berantas korupsi? Ayo gabung! Nah, itulah yang membuat KPK sampai hari ini bisa bertahan.
Nah, cuma memang, segala daya upaya koruptor untuk "memasuki" KPK, ya akhirnya terbukti hari ini. Legislatif itu berkali-kali ingin merevisi UU KPK. Padahal Undang-Undang itu sudah efektif menurut kita, walaupun tidak ada yang sempurna ya. Kemudian sekarang, Presiden yang di tangannya masih ada jejak Bung Hatta Award itu, tidak mengambil sikap yang tegas terhadap apa yang seharusnya menjadi momentum dia untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia adalah pemimpin besar perang melawan korupsi.
Ada juga tudingan bahwa terhadap poin (revisi UU KPK) soal akan berstatus ASN, itu pegawai KPK menolaknya karena selama ini sudah enak. Bagaimana itu?
Ya, balik lagi ke sejarah berdirinya KPK. Makanya orang di luar kan nggak paham. Sejarah berdirinya KPK itu dulu, supaya orang KPK itu tidak memikirkan lagi hal-hal di luar pekerjaannya, misalnya nih, anak sakit udah ditanggung oleh kantor. Jadi mereka, KPK itu, kami itu bisa dikatakan sudah mandiri (secara tunjangan). Makanya dari sisi pendapatan, ya, kita sudah nggak bisa nyari sampingan. Dan itu salah satu indikator yang dibangun oleh pemerintah pada waktu itu, bahwa pegawai KPK ini gajinya harus tinggi. Supaya apa? (Supaya) Dia bisa menjaga (dari) godaan-godaan yang mungkin terjadi di dalam proses dia melakukan pemberantasan korupsi.
Jadi memang, segala macam tudingan yang dialamatkan ke KPK itu mereka cari-cari saja. Kan tadi juga saya sudah gambarkan, orang yang gabung KPK (sejak awal) itu orang yang sudah mapan secara ekonomi. Jadi, kalau jadi ASN, kita bayangkan, ini sebenarnya negara sedang mengambil alih independensi yang seharusnya bukan karena faktor ASN atau tidak ASN. Mereka ingin mengambil alih kontrol sebenarnya. Kalau mau lihat kajian-kajian akademiknya, banyak itu pakar-pakar yang sudah bicara tentang ini.
Bahkan (lucunya), ASN yang bergabung ke KPK itu, akan balik lagi jadi ASN. Coba bayangin itu. Lucu aja kan? Mereka mau gabung KPK karena mereka melihat ASN itu tidak independen selama ini. Sekarang mau dikembalikan. Inilah yang saya maksud (juga) sebagai bagian dari pelemahan itu. Dan ini sistematis.