Suara.com - “Tut...tut...tut..tut...” nomor telepon yang saya hubungi via pemanggilan suara WhatsApp menunjukkan nada sang empu sibuk, tengah menerima telepon lain.
Saya memutus pemanggilan itu. Selang dua menit, saya kembali mencoba menelepon. Lagi-lagi saya menerima nada ponsel yang sibuk.
Kali ketiga saya mencoba, akhirnya terdengar suara seorang lelaki di ujung sambungan telepon, Senin (2/9/2019) bakda Magrib, pukul 18.26 WIB.
“Is this really Benny Wenda?” kata saya.
Baca Juga: Benny Wenda Tepis Tuduhan Wiranto soal Jadi Dalang Kerusuhan Papua
“Yes, that's right. Who is this?”
“From Suara.com, in Jakarta. Can we interview for a minute?”
Kami menerima informasi Benny Wenda saat itu sedang bersiap diwawancarai sejumlah media luar negeri.
"Suara.com? In Jakarta? Okay," kata Benny Wenda.
“Can we talk in Bahasa?”
Baca Juga: Sebut Benny Wenda Provokator, Wiranto: Seakan Kita Telantarkan Papua
“Ya, why not,” jawabnya.
Saya lega, karena bahasa Inggris saya masih belepotan.
Benny Wenda menjadi sosok yang dicari-cari pemerintah Indonesia sejak Senin (2/9) awal pekan ini.
Dia adalah sosok misterius, karena jarang sekali masuk dalam pemberitaan media-media massa di Indonesia.
Tapi ketika dia menjadi subjek pemberitaan, sudah pasti menjadi kontroversi. Lelaki kelahiran Papua, 17 Agustus 1974 itu kekinian berdomisili di Oxford, Inggris.
Dia berada di Inggris, setelah didakwa atas tuduhan mengerahkan massa membakar kantor polisi tahun 2002. Kala itu ia berhasil melepaskan diri dan mengungsi ke Papua Nugini. Setelahnya, Benny mendapat suaka dari Inggris tahun 2003.
Dari Inggris, Benny Wenda melancarkan kampanye agar Papua diberikan hak referendum. Dia bahkan pernah bertemu Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa.
Pemerintah negara Vanuatu menjadi fasilitator Benny Wenda dalam pertemuan Komisi Tinggi HAM PBB, 25 januari 2019. Belakangan, pertemuan itu menjadi polemik.
Pada tahun yang sama, 17 Juli, Benny Wenda mendapat penghargaan Oxford Freedom of the City Award dari Dewan Kota Oxford.
Penghargaan itu diberikan kepada Benny yang dianggap berjasa dalam kampanye damai untuk demokrasi. Namun, pemerintah indonesia mengecam penghargaan itu.
Kekinian, Benny Wenda kembali menjadi buah bibir. Itu setelah Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan Benny adalah provokator kericuhan di Papua.
Berikut wawancara Suara.com dengan Benny Wenda:
Pemerintah Indonesia menyatakan Anda adalah dalang kerusuhan di Papua, bagaimana?
Ya, tuduhan ini, siapa melontarkan? Anda bisa nilai sendiri. Lagi pula, tuduhan ini bagi saya, bukan hal baru. Ini tuduhan sudah sejak dulu. Tapi, yang jadi pertanyaan, kenapa sekarang mereka berani terbuka menuduh saya? Ada apa di baliknya?
Maksud Anda?
Orang yang menuduhkan saya ini mungkin lupa... Orang yang menuduh saya itu pernah melakukan genosida di Timor Leste.
Ya, Wiranto kan yang menuduh saya? Wiranto yang melakukan aksi bumi hangus dan genosida rakyat Timor Leste.
Wiranto yang punya pengalaman di Timor Leste. Dia juga berpengalaman menciptakan milisi-milisi sipil untuk mengubah perjuangan rakyat untuk referendum menjadi konflik horizontal, rakyat versus rakyat.
Dia harus tanggung jawab. Dia wanted man di UN (United Nations; PBB) soal Timor Leste.
Kami ingin mengonfirmasi, apa yang terjadi sehingga kini ada bentrok warga non-Papua dan Papua?
Bisa dicek, bentrokan itu ada setelah siapa yang datang ke Papua? Wiranto.
Jadi, menurut Anda, tak ada yang ‘menunggangi’ aksi anti-rasis di Papua?
Oke, saya balik bertanya, umpatan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, tanggal 16 – 17 Agustus 2019, apa terjadi spontan? Tidak! Ada orang-orang di balik ormas-ormas reaksioner yang mengepung asrama mahasiswa kami.
Nah, diskriminasi rasialis seperti itu sebenarnya bukan kali pertama terjadi, tapi sudah berulang-ulang sejak dulu.
Karenanya, aksi anti-rasis oleh rakyat Papua adalah respons spontanitas terhadap diskriminasi tersebut. Puncak dari amarah rakyat Papua terhadap diskriminasi rasialis.
Aksi itu sendiri berjalan damai. Rakyat Papua bukan monyet, tapi manusia! Rakyat Papua keluar dari rumah-rumah, turun dari pegunungan secara damai untuk melawan rasisme.
Itu spontanitas. Kalau kami dianggap sebagai monkey, monyet, artinya kami tak bisa hidup dalam bingkai negara Indonesia. Kami ingin referendum.
Apa sikap Anda terhadap diskriminasi rasialis?
Saya sebagai pemimpin politik, Ketua United Liberation Movement for West papua (ULMWP), mengutuk keras diskriminasi rasialis. Tak hanya terhadap bangsa Papua, tapi semua bangsa kulit berwarna, termasuk terhadap bangsa Indonesia.
Kami di Papua sudah bertahun-tahun lalu hidup bersama migran-migran secara damai.
(Benny Wenda memakai istilah ‘migran’ untuk warga non-Papua yang tinggal di Papua).
Kami tidak pernah berperilaku rasis. Tapi perlakuan pemerintah kolonial terhadap bangsa Papua ini berbeda. Kami didiskriminasi, dikriminalisasi, dipenjarakan, karenanya sejak dulu kami menyatakan mau keluar dari Republik Indonesia.
Apa dasar argumentasi Anda untuk mendapatkan referendum?
Petama, secara historis, keberadaan tentara Indonesia di Tanah Papua sejak tahun 1960-an adalah ilegal. Sila cek berkas-berkas sejarah.
Kedua, secara ras, geografis, kebudayaan, bahasa, kami bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia. Hal ini mutlak dalam teori nasionalisme.
Ketiga, di balik narasi pembangunan infrastruktur yang sebenarnya tak menguntungkan rakyat Papua, ada diskriminasi dan pembantaian bangsa kami.
Apa tak lagi bisa berdamai dengan Indonesia?
Bisa… bisa, kami bisa hidup secara damai, ko-eksistensi secara damai dengan Indonesia dalam bingkai sama-sama negara merdeka dan berdaulat.
Jadi harus berpisah dulu?
Ya. Selama ada militer Indonesia di tanah Papua, artinya okupasi tanah, perampasan tanah, invasi kolonial masih ada, tak pernah berhenti.
Dulu, penjajah Belanda membangun banyak infrastruktur di Indonesia, apa bangsa Indonesia mau berdamai? Tidak kan? Tetap Indonesia mau merdeka, baru bisa damai berdampingan dengan Belanda.