Suara.com - Keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota Republik Indonesia yang telah sampai pada penentuan calon wilayah ibu kota baru, menuai beragam komentar dan reaksi. Salah satunya adalah terkait potensi bencana di kawasan yang telah diumumkan yaitu di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur.
Soal benarkah kawasan tersebut sama sekali aman atau tidak berpeluang terkena bencana alam, juga sudah banyak yang menyampaikan pandangan dan analisisnya. Sebagian besar memastikan bahwa memang tidak sama sekali aman, termasuk dari BMKG yang menjelaskan bahwa terkait gempa misalnya, kawasan itu setidaknya berhubungan dengan tiga sesar aktif.
Meski begitu, banyak juga di antaranya yang menjelaskan bahwa pada dasarnya potensi bencana di wilayah calon ibu kota baru itu tergolong kecil dan seharusnya bisa diminimalisir, terutama apabila sudah dilakukan kajian, hingga dibuat rancangan dan pengelolaan yang baik sejak awal. Suara.com pun coba meminta pandangan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai ini, melalui Bernardus Wisnu Widjaja M.Sc yang menjabat Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB.
Berikut petikan penjelasan dari Bernardus Wisnu Widjaja terkait analisis kebencanaan di wilayah calon ibu kota baru tersebut.
Baca Juga: Dahlan: Ibu Kota Baru Begitu Cepat, Saya Pembenci Birokrasi Sangat Senang
Bisa Anda jelaskan bagaimana potensi ancaman bencana alam di wilayah calon ibu kota baru?
Kalau kita lihat dari sisi bencana geologi, vulkanologi, tidak ada gunung berapi di wilayah calon ibu kota baru. Gunung ada, tetapi tidak gunung api aktif. Sedangkan dari sisi tektonik, potensi tsunami ada, tetapi rendah, mungkin karena pengaruh aktivitas tektonik pulau di Sulawesi.
Sedangkan dari sisi bencana hidrometeorologi, seperti potensi banjir, ada namun tidak signifikan. Artinya potensi banjir bisa kita kelola risikonya dengan mematuhi rencana tata ruang. Kita ikuti saja aturan, sesuai sepadan sungai. Semua daerah pasti ada risiko bencana. Kalau bisa dikurangi risikonya. Jadi secara umum wilayah calon Ibu Kota baru itu aman.
Bencana hidrometeorologi adalah bencana alam yang terjadi sebagai dampak dari fenomena iklim dan cuaca, seperti angin kencang, hujan lebat dan gelombang tinggi, sehingga menimbulkan banjir.
Jadi seharusnya tidak ada itu bencana alam. Bencana itu terjadi kan karena manusianya yang men-trigger.
Baca Juga: Jhon Gobai: Penyebutan "Monyet Papua" Bagian dari Penjajahan Berkepanjangan
Di mana saja titik yang berpotensi banjir di wilayah ibu kota baru itu?
Titiknya ada di perbatasan antara Penajam dan Kutai Kartanegara. Wilayahnya itu dekat pantai. Jadi yang perlu diperhatikan ke depan dalam pembangunan ibu kota baru ini adalah tata ruangnya. Jadi harus dibedakan antara banjir dan bencana banjir. Bencana banjir itu kan disebabkan karena perilaku manusianya. Jadi nanti di ibu kota baru itu, perlu diedukasi juga masyarakatnya, jangan ada lagi perilaku membuang sampah sembarangan dan tidak ramah lingkungan.
Jadi ini kesempatan sangat bagus, bagaimana kita mendesain ibu kota yang menjadi acuan oleh negara-negara di dunia, ibu kota yang ramah lingkungan. Citra ini yang kita bangun dalam pembangunan ibu kota baru. Akan sangat bagus lagi nanti dibangun hutan kota di sana. Hutan kota yang ditanami tanaman dan pohon-pohon asli Kalimantan, seperti Eboni, Ulin dan sebagainya.
Ada tiga hal dalam mitigasi bencana. Pertama, perlu mencegah risiko baru. Kedua, risiko yang sudah ada dipetakan tadi, mesti dikurangi risikonya dengan cara tidak ditempati untuk pemukiman atau lainnya. Kita tata sungai-sungainya dan edukasi perilaku orang-orangnya. Ketiga, dibangun ketangguhan ketahanan masyarakat dari potensi bencana. Orang-orangnya harus diedukasi perilakunya agar ramah lingkungan.
Bisa Anda jelaskan keunggulan dan kelemahan wilayah calon ibu kota baru ini?
Nanti bisa dilihat detailnya di web inarisk.bnpb.co.id. Ini yang mengisi datanya berbagai institusi, lembaga. Kami menyediakan platformnya. Di sana terlihat jelas peta potensi bencananya daerah di seluruh Indonesia, termasuk (daerah calon) ibu kota baru.
Bisa Anda jelaskan ketersediaan air tanah di sana? Apakah sudah layak untuk sebuah ibu kota atau bagaimana?
Di sana debit air tanah tidak terlalu besar. Di sana wilayahnya dekat dengan pantai. Di atas, (di) wilayah pegunungan, ada debit air, tapi tidak terlalu besar. Menurut saya kita ambil air permukaan.
Jadi untuk air di sana, masyarakat jangan menggunakan air tanah. Jadi pemerintah lah yang harus mengelola dan menyediakan air untuk masyarakat. Bisa dari air PDAM.
Bagaimana dengan transportasinya, seperti penerbangan dan pelayaran. Apakah bandara dan pelabuhan di sana sudah cukup memadai untuk sebuah ibu kota negara?
Di wilayah ibu kota baru ini ada dua bandara yang letaknya berdekatan. Kedua bandara itu, (yaitu di) Balikpapan dan Samarinda, cukup aktif penerbangannya. Mungkin tinggal diperluas saja. Begitu juga dengan pelabuhannya, di sana pelabuhannya juga aktif.
Ancaman karhutla (kebakaran hutan dan lahan) di sana, bagaimana?
Kita lihat dari posisinya (daerah untuk pembangunan infrastruktur), di lahan gambut atau bagaimana. Sekarang hampir di mana-mana negara di dunia mengalami kebakaran hutan, bahkan di Amazon juga mengalami kebakaran hutan. Jadi di sana, wilayah ibu kota baru itu tanahnya lebih banyak tanah mineral, bukan tanah gambut. Potensi banjir banyak di wilayah lahan gambut.
Jadi menurut saya, tempat ini sangat ideal dari sisi kebencanaan untuk menjadi ibu kota negara. Sebab di sana tidak ada gunung berapi. Sedangkan patahannya banyak yang tidak aktif. Saat ini, dari sisi tektonik, (wilayah itu) paling stabil di seluruh Indonesia.