Jhon Gobai: Penyebutan "Monyet Papua" Bagian dari Penjajahan Berkepanjangan

Rabu, 21 Agustus 2019 | 22:04 WIB
Jhon Gobai: Penyebutan "Monyet Papua" Bagian dari Penjajahan Berkepanjangan
Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Jhon Gobai (kiri) bersama rekannya. [Dok. pribadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aksi turun ke jalan yang diiringi kerusuhan harus terjadi di beberapa wilayah di Papua dalam beberapa hari belakangan. Dipicu oleh kejadian di wilayah Jawa Timur (Malang dan Surabaya) yang berujung pada pengepungan dan penangkapan di asrama atau Wisma Mahasiswa Papua, insiden yang diwarnai tindakan-tindakan rasialis atau rasisme itu pun direspons dengan aksi massa di Papua.

Berbagai pihak, termasuk pejabat pemerintahan daerah, bahkan hingga Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), pun harus unjuk bicara demi berusaha menenangkan situasi ini. Termasuk di antaranya melalui permohonan maaf secara terbuka yang antara lain disampaikan oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Sejumlah langkah penyelesaian, termasuk pertemuan dan dialog pun digelar, meski belum bisa memastikan situasi mereda.

Terkait rangkaian peristiwa itu, Suara.com pun berkesempatan berkomunikasi dengan Ketua Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Jhon Gobai, demi mendapatkan perspektif maupun sikap mereka terhadap semua ini. Berikut petikan wawancara dengannya:

Sebenarnya apa yang terjadi di Malang dan Surabaya menjelang 17 Agustus lalu? Apa benar seperti yang dituduhkan ormas-ormas bahwa ada pembuangan bendera (Merah Putih)?

Baca Juga: Kisah Mahasiswa Papua di Jakarta: Kami Naik Angkot, Orang Tutup Hidung

Peristiwa itu awalnya terjadi pada tanggal 15 Agustus pagi. Mahasiswa Papua menggelar aksi demonstrasi damai di Kota Malang. Aksi ini mengangkat isu Perjanjian New York tahun 1962, di mana perjanjian itu antara Indonesia, Belanda dan Amerika yang membahas penguasaan Papua. Mahasiswa Papua dalam aksi itu mengungkap sejarah penguasaan Papua oleh Indonesia dengan melanggar perjanjian internasional. Sebab dalam Perjanjian New York, Belanda dan Amerika menyepakati wilayah Papua diserahkan kepada Indonesia untuk menyiapkan proses penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

Ketika itu, massa aksi dari mahasiswa Papua mendapat serangan verbal dan fisik. Mereka dimaki menggunakan nama binatang sekaligus dipukul, dan dilempari oleh ormas reaksioner (Pemuda Pancasila) serta aparat berpakaian preman. Akibatnya, 6 orang terluka parah.

Represivitas (tindakan represif --Red) tidak berhenti di situ. Keesokan harinya, tanggal 16 Agustus 2019 sekitar pukul 16.00 WIB, mahasiswa Papua yang sedang berada di asrama Kamasan Papua, Surabaya, dikepung oleh (oknum personel) TNI/Polri, ormas, dan Satpol PP. Seperti yang terjadi di Malang, mahasiswa juga mendapatkan makian bernada rasis dari massa yang mengepung. Pengepungan juga disertai dengan perusakan fiber penutup pagar Asrama Kamasan Papua. Mereka menuduh mahasiswa Papua telah merusak bendera Merah Putih dan membuangnya ke selokan.

Seiring waktu berjalan, massa yang mengepung bertambah semakin banyak. Mereka meneriakan yel-yel seperti "Usir Papua" dan "Bunuh". Sementara penghuni asrama sebanyak 15 orang harus mengamankan diri ke dalam aula asrama.

Selama berjam-jam mereka terjebak di dalam aula, tanpa ada makanan dan minuman. Pukul 02.00 WIB dini hari, dua orang mahasiswa asal Surabaya berinisial AL dan AR mencoba masuk dan memberikan makanan saat mobilisasi mulai berkurang. Namun setelah makanan sampai, keduanya langsung digelandang oleh kepolisian ke Polrestabes Surabaya.

Baca Juga: Syaiful Arif: Pancasila Harus Dijadikan Pergulatan Intelektual!

Wisma Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Kota Surabaya, Jawa Timur, disambangi sejumlah orang dari organisasi massa karena viral video bendera Merah Putih dibuang ke comberan oleh oknum penghuni asrama tersebut, Jumat (16/8/2019). [Suara.com/Dimas Angga P]
Suasana di Wisma Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Kota Surabaya, Jawa Timur, ketika disambangi sejumlah orang dari organisasi massa karena viral kabar adanya bendera Merah Putih yang dibuang ke selokan, Jumat (16/8/2019). [Suara.com/Dimas Angga P]

Pagi harinya (17 Agustus) sekitar pukul 10.00 WIB, massa kembali berdatangan. Pukul 13.30 WIB, mahasiswa Papua yang tidak tinggal di asrama (sebanyak 28 orang), datang dengan maksud memberikan makanan pada penghuni asrama yang terjebak di dalam.

Keadaan di luar semakin ramai. Yel-yel terus menggema. Sekitar pukul 14.45, polisi dengan bersenjata lengkap berhasil merangsek masuk ke dalam asrama. Mereka berkali-kali menembakkan gas air mata. 42 orang yang berada di asrama diangkut paksa menuju Polrestabes Surabaya menggunakan mobil Dalmas.

Penangkapan ini disertai dengan pemukulan hingga menyebabkan mahasiswa Papua mengalami luka di sekujur tubuhnya. Polisi beberapa kali mengeluarkan suara tembakan, sembari mendorong para mahasiswa untuk segera naik ke atas mobil Dalmas. Pukul 15.50 WIB, mahasiswa Papua tiba di Polrestabes Surabaya dan langsung ditempatkan di salah satu ruangan. Polisi memintai mereka keterangan dan identitas.

Inisial nama-nama mahasiswa yang terluka di Asrama Kamasan Surabaya, antara lain: EW, perempuan (19 tahun), dapat pukulan; NK, laki-laki (24), tangan kanan keseleo akibat didorong untuk tiarap di mobil Dalmas; AU, laki-laki (56), dipopor pada alis mata; K, laki-laki (23), dipukul di pelipis; dan FP, laki-laki (33), kena tembakan gas air mata di kaki.

Ada caci-maki rasialis saat persekusi di Surabaya dan Malang. Apakah itu baru terjadi kali ini, atau sudah berulang kali? Bisa sebutkan contohnya?

Caci-maki rasialis seperti diteriaki "monyet" bukan kali pertama kami alami; sudah berulang kali terjadi. Dulu waktu tahun 2016, asrama mahasiswa Papua di Jogja juga pernah diserang oleh ormas PP, Paksi Katon (ormas pendukung keistimewaan Yogyakarta), polisi, dan ada TNI juga. Waktu itu kami diteriaki "monyet", "usir orang Papua". Selain itu, pada tahun 2015, Luhut Binsar Pandjaitan yang waktu itu menjabat Menko Polhukam juga diskriminatif dan rasialis. Dia mengatakan orang Papua tingal saja di Melanesia, tidak usah tinggal di tanah Papua.

Jadi pola-pola dan caranya dari beberapa kali peristiwa hampir sama. Orang Papua dicaci-maki, diusir, ditangkap, tetapi sumber daya alamnya dikeruk oleh pihak asing yang didukung oleh rezim yang berkuasa.

Lebih jauh cerita Jhon Gobai soal persekusi dan hinaan yang kerap dialami mahasiswa Papua, juga warganya yang sampai kini masih dirasakan terjajah, baca di laman berikutnya...

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI