Suara.com - Bulan Agustus ini, Republik Indonesia (RI) kembali berada di momentum refleksi kemerdekaannya, tepatnya dengan memperingati proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 untuk yang ke-74 kalinya. Sebagaimana biasa, momen HUT RI kali ini pun di berbagai tempat, dalam maupun luar negeri, telah dan masih akan diisi dengan berbagai kegiatan, baik seremonial hingga yang bersifat hiburan.
Namun yang kerap jadi pertanyaan mungkin, apakah makna peringatan Hari Kemerdekaan saban tahun ini sudah memberi sesuatu secara filosofis kepada segenap elemen bangsa, baik rakyat maupun pejabatnya? Lebih jauh lagi, apakah masyarakat Indonesia benar-benar bersyukur telah puluhan tahun hidup sebagai bangsa yang merdeka, dan apa kaitannya dengan Pancasila baik sebagai dasar negara maupun sebagai ideologi?
Mencoba mendapatkan pandangan mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut, Suara.com baru-baru ini menanyai Syaiful Arif, Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila (PSPP) yang juga adalah mantan Tenaga Ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Penulis buku Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (Elexmedia, 2018) dan sejumlah buku lainnya itu pun secara gamblang menuturkan pendapatnya, termasuk kritikan, salah satunya bahwa ada "dosa" terbesar bangsa ini karena belum merumuskan bangunan pengetahuan dari ideologi Pancasila.
Berikut petikan wawancara khusus Suara.com dengan Syaiful Arif:
Baca Juga: Beka Ulung Hapsara: Razia Buku oleh Ormas Itu Tindak Pidana, Melanggar HAM
Apa sebenarnya makna kemerdekaan RI pada era kekinian? Apakah cuma seremonial belaka, ataukah ada hal filosofis yang seharusnya bisa diresapi oleh rakyat Indonesia?
Terima kasih. Peringatan Kemerdekaan itu kan ungkapan rasa syukur kita atas nikmat kemerdekaan yang diperoleh bangsa ini sejak 17 Agustus 1945. Sebagai ungkapan rasa syukur, ya harus disertai dengan kesadaran, pemahaman dan kehendak untuk berbuat baik. Kebaikan yang harus kita lakukan, ya menjadi warga negara yang baik. Seperti apa? Seperti digariskan oleh nilai-nilai di dalam dasar negara, Pancasila.
Seremonial? Itulah problemnya. Lembaga kenegaraan kita, juga lembaga pendidikan tidak serius menggunakan momen ini sebagai proses penguatan kesadaran berbangsa. Kita hanya merayakan "Agustusan" ini seperti perayaan hari-hari besar lainnya: minus refleksi, minim edukasi.
Apa saja tantangan besar secara politik, ekonomi, maupun sosial-budaya pada saat ini, tepatnya ketika HUT ke-74 Kemerdekaan RI?
Ya, saya kira kita harus optimis ya. Pemerintahan Presiden Joko Widodo, sebagai pemerintahan yang bekerja, saya kira sudah berbuat maksimal. Hanya saja memang perlu lebih dioptimalkan, terutama di soal pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Ini yang luput dari periode pertama Pak Jokowi. Akibatnya, radikalisme menguat, intoleransi merebak. Kecintaan pada nilai-nilai kebangsaan memudar, penolakan terhadap Pancasila menanjak. Setelah Republik berusia 74 ini, semangat untuk merawat keindonesiaan harus menjadi prioritas kita.
Baca Juga: Eks Jubir HTI Ajak Ulama Jauhi Demokrasi, Mendagri Beri Respons Menohok
Kalau secara ideologi, bagaimana konsepsi Pancasila setelah 74 tahun RI berdiri? Apakah banyak distorsi?
Apakah Pancasila sudah kita rumuskan menjadi ideologi? Saya kira belum. Dan inilah "dosa" terbesar bangsa ini: kita belum merumuskan bangunan pengetahuan dari ideologi Pancasila. Mengapa? Kompleks persoalannya. Tapi salah satu sebabnya ialah kita tidak terbiasa menempatkan Pancasila sebagai diskursus ilmiah, wacana intelektual. Pancasila lebih sering kita bicarakan sebagai dasar negara yang legalistik, atau nilai-nilai normatif yang kosong konsepsi. Padahal Pancasila itu kan ideologi politik. Sebagai ideologi, ia adalah pergulatan pemikiran.
Apa yang bisa dijadikan sebagai hal kebaruan dari Pancasila di era kekinian? Terutama kalau dihadapkan dengan problem sikap serta aksi intoleran yang semakin marak?
Saat ini, kita harus memperbarui cara baca kita terhadap Pancasila. Akibat "pemurnian Pancasila" yang dilakukan Orde Baru, ideologi kita ini telah lama bersifat bebas nilai. Tidak ada preskripsi ideologis yang khas, dilengkapi oleh kandungan intelektual yang mendalam. Sila-sila Pancasila kita baca, pinjam istilah Sutan Takdir Alisjahbana, "secara bercerai-berai". Setiap sila terpisah dari sila-sila lainnya, menjadi urutan kalimat yang hanya dihapal secara numerik.
Kini, kita harus lepas dari cara baca yang bebas nilai itu, dengan membaca Pancasila sebagai kesatuan nilai integral yang "saling mengandaikan dan mengunci". Dalam hal ini, pandangan pemikir Pancasila, Prof. Notonagoro, penting kita pakai. Yakni membaca Pancasila secara piramidal. Hanya saja Notonagoro menggunakan piramida terbalik, di mana sila keadilan sosial menjadi pucuk piramid yang mengkhususkan nilai-nilai umum di atasnya. Ketuhanan dalam piramida terbalik ini justru berada di lantai, bukan di mahkota.
Nah, Bung Hatta membaca secara piramidal juga tetapi dengan posisi ketuhanan di pucuk hirarki. "Di bawah terang nilai ketuhanan, sila-sila di bawahnya mendapatkan dimensi religius dan etik", demikian ungkap karib Bung Karno ini. Dengan "piramida ketuhanan" ini, maka Pancasila adalah dasar negara, ideologi dan pandangan hidup yang religius, teologis. Inilah cara baca yang penting kita kembangkan, di tengah menguatnya penolakan terhadap Pancasila atas nama Tuhan. Lho, gimana menolak Pancasila karena Tuhan, wong di dalam Pancasila (justru sebenarnya) Tuhan dinomorsatukan?
Oleh karenanya, saya punya pandangan, kelompok yang menuduh Pancasila sebagai ideologi sekular, sebenarnya telah menerapkan sekularisasi atas Pancasila. Mereka yang sekular, karena faktanya, Pancasila adalah ideologi ketuhanan!
Ke depan, pemahaman Pancasila sebagai ideologi ketuhanan yang mencerminkan nilai-nilai tauhid dan maqashid al-syar'i inilah yang wajib kita kembangkan untuk mengikis kesalahpahaman umat.
Soal konsep Pancasila-nya Bung Karno, hingga era Soeharto dan sekarang, juga tentang "sosialisme" sebagai inti dari Pancasila, baca di laman berikutnya!
Pancasila seperti apakah yang harusnya diterapkan di Indonesia? Apakah konsepsi Bung Karno? Soeharto? Atau seperti apa?
Begini, Pancasila itu kan ide. Sebagai ide, ada yang mencetuskan. Siapa? Ya, Sukarno. Berarti konsep Bung Karno-lah yang harus dipakai? Ya, tetapi dengan kontekstualisasi. Bukan semata menggunakan konsep yang pernah beliau terapkan di masa Orde Lama, tetapi justru prinsip-prinsip awal pemikirannya sebagaimana disampaikan pada 1 Juni di depan Sidang BPUPKI. Menurut saya, ide Pancasila 1 Juni ialah ide intelektual yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan. Sedangkan Pancasila via Manipol-USDEK di era Orde Lama, sudah menjadi bagian dari ideologi negara, tepatnya upaya Bung Karno mengelola kekuasaan.
Lalu bagaimana dengan konsep Soeharto atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)? Menurut saya, yang bagus dari P4 ialah program pembinaannya yang STM (sistematis, terstruktur dan masif). Kita saat ini perlu mengadakan program nasional seperti itu. Namun kelemahan dari P4 ialah sifatnya yang telah mengalami de-intelektualisasi. Pancasila ala P4 ialah Pancasila tanpa khasanah pemikiran, Pancasila tanpa pergulatan intelektual. Dan itu berbahaya, karena telah mematikan dimensi rasional, keilmuan dan semangat dari ideologi kita itu. Ini akibat fatal dari proyek panjang de-Sukarnoisasi sejak Orde Baru, yang sayangnya belum dicarikan "obatnya", termasuk oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hingga kini, paradigma kita dalam memahami, mensosialisasikan dan mengamalkan Pancasila masih menggunakan paradigma P4 yang anti-intelektual!
Apakah konsepsi yang "benar-benar Pancasila" kini sudah diterapkan?
Saya kira belum ya. Sejak P4 hadir sebagai pedoman Pancasila, saya kira belum. Ya, itu, Pancasila ini kan pengetahuan. Sebagai objek pengetahuan, kita harus runut, artinya historis dan sistematis. Sedangkan Pancasila sendiri sudah mengalami dehistorisasi melalui de-Sukarnoisasi itu. Kita juga belum benar-benar membangun "tubuh pengetahuan" (the body of knowledge) dari Pancasila, sehingga kita tidak berpancasila sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuannya. Saat ini jargon yang kita kembangkan ialah "amalkan Pancasila, amalkan Pancasila". Lho, Pancasila ini kan ideologi politik. Ideologi itu wacana ilmiah. Dipahami dulu struktur pengetahuannya, barulah diamalkan. Jargon "pengamalan Pancasila" itu justru lahir dari konsep Pancasila yang telah dipurifikasi, dibersihkan dari sifat dasarnya yang ilmiah, intelektual.
Bukti bahwa Pancasila itu wacana ilmiah, ya, ketika kita bandingkan dengan ideologi lain: liberalisme, komunisme, Islamisme. Isme-isme itu kan ideologi politik, ilmiah. Pancasila juga ideologi politik, ilmiah. Sebagai bangunan ilmiah, tidak bisa langsung diamalkan, tetapi harus diperdalam dulu pemahaman terhadapnya.
Sosialisme Indonesia katanya menjadi inti dari Pancasila, benarkah itu? Karena kata "sosialisme" sendiri saat ini cenderung turut distigma oleh sejumlah pihak.
Ya, betul, saripati dari Pancasila ialah sosialisme ala Indonesia. Ini bukan hanya ide Bung Karno saja, Sang Penggali yang sosialistik. Tetapi fakta pengetahuan dari struktur Pancasila. Bukankah sila kelima ialah keadilan sosial? Seorang Gus Dur pun punya pandangan ini. Menurut beliau, tanpa sumbangan ide sosialisme, maka sila kelima Pancasila bukanlah keadilan sosial.
Pertanyaannya, apakah sosialisme Indonesia itu? Jawabannya bisa diambil dari rasionalitas Pancasila itu sendiri. Pertama, sosialisme kita bukanlah komunisme, karena ia lahir dari demokrasi (sila keempat). Jadi dalam menegakkan cita-cita sosialisme, yakni keadilan sosial, strategi yang kita lakukan bukanlah diktatur proletariat, melainkan demokrasi. Sosialisme kita juga tidak berpijak di pertentangan kelas, melainkan kesatuan bangsa yang majemuk (sila ketiga). Kedua, sosialisme Pancasila ialah sosialisme religius, karena ia turun dari nilai-nilai ketuhanan, dari agama. Jadi kalau ada kelompok atas nama agama, lalu menolak sosialisme; maka kelompok itu justru menentang nilai-nilai sosialistik yang ada di dalam al-Qur'an. Bukankah surat al-Ma'un menegaskan, bahwa orang-orang yang tidak memiliki belas kasih kepada kaum miskin adalah para pendusta agama?
Marak wacana untuk mengembalikan sistem politik Indonesia ke mekanisme lama. Misalnya, pengembalian GBHN, presiden dipilih MPR, serta MPR jadi lembaga tertinggi negara. Bagaimana Anda menilainya? Karena hal itu diklaim menjadi penerapan Pancasila di bidang politik.
Ini diskusi panjang ya. Tetapi begini. GBHN memang harus direstorasi, sebab ia merupakan "kebijakan dasar pembangunan" yang menjadi praksis normatif dari "hukum dasar" (UUD 1945) dan "norma dasar" (Pancasila). Tanpa GBHN, kita tidak memiliki cetak biru pembangunan yang abadi. Program pembangunan kita ya tergantung dengan pemerintahan terpilih yang silih berganti.
Soal MPR menjadi lembaga tertinggi kembali, ini memang perlu dikaji, sebab terkait dengan pergeseran subjek kedaulatan. Reformasi 1998 mengamanatkan kedaulatan rakyat tidak lagi diwakili lembaga, tetapi konstitusi. Kemajuan ini juga harus dihormati. Namun ada perwakilan di MPR yang memang perlu dihidupkan kembali, yakni Utusan Golongan. Sebab perwakilan ini akan lebih efektif mewakili kepentingan basis yang selama ini belum maksimal dilakukan partai politik. Soal presiden dipilih MPR? Sebaiknya jangan, karena Pilpres langsung merupakan kemajuan demokrasi kita, karena rakyat terlibat langsung menentukan pemimpin nasional.
Ada kritik banyak pihak, aktivis maupun elite politik, bahwa negara Indonesia kini bersistem kapitalistik serta liberal, seperti yang terbaru misalnya diutarakan Surya Paloh. Benarkah itu? Bagaimana sebenarnya pola politik dan ekonomi Pancasila?
Mengutip pandangan Bung Karno, "Demokrasi kita (demokrasi Pancasila) bukanlah demokrasi politik, melainkan demokrasi ekonomi-politik (politiek economische democratie)". Demokrasi politik inilah yang sedang kita rayakan: demokrasi hanya untuk memenuhi hak-hak politik. Kita belum membangun sistem dan praktik demokrasi ekonomi-politik yang menjadikan keadilan sosial sebagai tujuan bernegara. Tetapi semua itu memang harus kita wujudkan secara bertahap, alamiah. Waktu yang akan mematangkan kehidupan berbangsa kita ini. Asalkan itu tadi, dasar negara dan ideologi kita harus dikuatkan, baik struktur pengetahuannya maupun praksis lapangan.
Prinsip demokrasi Pancasila itu sendiri merupakan demokrasi sosial yang diwujudkan melalui politik deliberatif (musyawarah). Namun kultur politik kita juga belum sepenuhnya deliberatif. Akan tetapi, kita tidak boleh pesimis, karena kekuatan masyarakat sipil di negeri ini masih hidup dan terus memperbarui diri. Selama masyarakat sipil masih kuat, selama itu pula demokrasi akan mengalami pendalaman dan pendewasaan.