Syaiful Arif: Pancasila Harus Dijadikan Pergulatan Intelektual!

Kamis, 15 Agustus 2019 | 22:53 WIB
Syaiful Arif: Pancasila Harus Dijadikan Pergulatan Intelektual!
Ilustrasi wawancara Syaiful Arif. [Dok. pribadi/Olah gambar Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pancasila seperti apakah yang harusnya diterapkan di Indonesia? Apakah konsepsi Bung Karno? Soeharto? Atau seperti apa?

Begini, Pancasila itu kan ide. Sebagai ide, ada yang mencetuskan. Siapa? Ya, Sukarno. Berarti konsep Bung Karno-lah yang harus dipakai? Ya, tetapi dengan kontekstualisasi. Bukan semata menggunakan konsep yang pernah beliau terapkan di masa Orde Lama, tetapi justru prinsip-prinsip awal pemikirannya sebagaimana disampaikan pada 1 Juni di depan Sidang BPUPKI. Menurut saya, ide Pancasila 1 Juni ialah ide intelektual yang menempatkan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan. Sedangkan Pancasila via Manipol-USDEK di era Orde Lama, sudah menjadi bagian dari ideologi negara, tepatnya upaya Bung Karno mengelola kekuasaan.

Lalu bagaimana dengan konsep Soeharto atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)? Menurut saya, yang bagus dari P4 ialah program pembinaannya yang STM (sistematis, terstruktur dan masif). Kita saat ini perlu mengadakan program nasional seperti itu. Namun kelemahan dari P4 ialah sifatnya yang telah mengalami de-intelektualisasi. Pancasila ala P4 ialah Pancasila tanpa khasanah pemikiran, Pancasila tanpa pergulatan intelektual. Dan itu berbahaya, karena telah mematikan dimensi rasional, keilmuan dan semangat dari ideologi kita itu. Ini akibat fatal dari proyek panjang de-Sukarnoisasi sejak Orde Baru, yang sayangnya belum dicarikan "obatnya", termasuk oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hingga kini, paradigma kita dalam memahami, mensosialisasikan dan mengamalkan Pancasila masih menggunakan paradigma P4 yang anti-intelektual!

Apakah konsepsi yang "benar-benar Pancasila" kini sudah diterapkan?

Baca Juga: Beka Ulung Hapsara: Razia Buku oleh Ormas Itu Tindak Pidana, Melanggar HAM

Saya kira belum ya. Sejak P4 hadir sebagai pedoman Pancasila, saya kira belum. Ya, itu, Pancasila ini kan pengetahuan. Sebagai objek pengetahuan, kita harus runut, artinya historis dan sistematis. Sedangkan Pancasila sendiri sudah mengalami dehistorisasi melalui de-Sukarnoisasi itu. Kita juga belum benar-benar membangun "tubuh pengetahuan" (the body of knowledge) dari Pancasila, sehingga kita tidak berpancasila sesuai dengan prinsip-prinsip pengetahuannya. Saat ini jargon yang kita kembangkan ialah "amalkan Pancasila, amalkan Pancasila". Lho, Pancasila ini kan ideologi politik. Ideologi itu wacana ilmiah. Dipahami dulu struktur pengetahuannya, barulah diamalkan. Jargon "pengamalan Pancasila" itu justru lahir dari konsep Pancasila yang telah dipurifikasi, dibersihkan dari sifat dasarnya yang ilmiah, intelektual.

Bukti bahwa Pancasila itu wacana ilmiah, ya, ketika kita bandingkan dengan ideologi lain: liberalisme, komunisme, Islamisme. Isme-isme itu kan ideologi politik, ilmiah. Pancasila juga ideologi politik, ilmiah. Sebagai bangunan ilmiah, tidak bisa langsung diamalkan, tetapi harus diperdalam dulu pemahaman terhadapnya.

Sosialisme Indonesia katanya menjadi inti dari Pancasila, benarkah itu? Karena kata "sosialisme" sendiri saat ini cenderung turut distigma oleh sejumlah pihak.

Ya, betul, saripati dari Pancasila ialah sosialisme ala Indonesia. Ini bukan hanya ide Bung Karno saja, Sang Penggali yang sosialistik. Tetapi fakta pengetahuan dari struktur Pancasila. Bukankah sila kelima ialah keadilan sosial? Seorang Gus Dur pun punya pandangan ini. Menurut beliau, tanpa sumbangan ide sosialisme, maka sila kelima Pancasila bukanlah keadilan sosial.

Syaiful Arif (kanan) saat berbicara dalam sebuah kegiatan diskusi. [Dok. pribadi]
Syaiful Arif (kanan) saat berbicara dalam sebuah kegiatan diskusi. [Dok. pribadi]

Pertanyaannya, apakah sosialisme Indonesia itu? Jawabannya bisa diambil dari rasionalitas Pancasila itu sendiri. Pertama, sosialisme kita bukanlah komunisme, karena ia lahir dari demokrasi (sila keempat). Jadi dalam menegakkan cita-cita sosialisme, yakni keadilan sosial, strategi yang kita lakukan bukanlah diktatur proletariat, melainkan demokrasi. Sosialisme kita juga tidak berpijak di pertentangan kelas, melainkan kesatuan bangsa yang majemuk (sila ketiga). Kedua, sosialisme Pancasila ialah sosialisme religius, karena ia turun dari nilai-nilai ketuhanan, dari agama. Jadi kalau ada kelompok atas nama agama, lalu menolak sosialisme; maka kelompok itu justru menentang nilai-nilai sosialistik yang ada di dalam al-Qur'an. Bukankah surat al-Ma'un menegaskan, bahwa orang-orang yang tidak memiliki belas kasih kepada kaum miskin adalah para pendusta agama?

Baca Juga: Eks Jubir HTI Ajak Ulama Jauhi Demokrasi, Mendagri Beri Respons Menohok

Marak wacana untuk mengembalikan sistem politik Indonesia ke mekanisme lama. Misalnya, pengembalian GBHN, presiden dipilih MPR, serta MPR jadi lembaga tertinggi negara. Bagaimana Anda menilainya? Karena hal itu diklaim menjadi penerapan Pancasila di bidang politik.

Ini diskusi panjang ya. Tetapi begini. GBHN memang harus direstorasi, sebab ia merupakan "kebijakan dasar pembangunan" yang menjadi praksis normatif dari "hukum dasar" (UUD 1945) dan "norma dasar" (Pancasila). Tanpa GBHN, kita tidak memiliki cetak biru pembangunan yang abadi. Program pembangunan kita ya tergantung dengan pemerintahan terpilih yang silih berganti.

Soal MPR menjadi lembaga tertinggi kembali, ini memang perlu dikaji, sebab terkait dengan pergeseran subjek kedaulatan. Reformasi 1998 mengamanatkan kedaulatan rakyat tidak lagi diwakili lembaga, tetapi konstitusi. Kemajuan ini juga harus dihormati. Namun ada perwakilan di MPR yang memang perlu dihidupkan kembali, yakni Utusan Golongan. Sebab perwakilan ini akan lebih efektif mewakili kepentingan basis yang selama ini belum maksimal dilakukan partai politik. Soal presiden dipilih MPR? Sebaiknya jangan, karena Pilpres langsung merupakan kemajuan demokrasi kita, karena rakyat terlibat langsung menentukan pemimpin nasional.

Ada kritik banyak pihak, aktivis maupun elite politik, bahwa negara Indonesia kini bersistem kapitalistik serta liberal, seperti yang terbaru misalnya diutarakan Surya Paloh. Benarkah itu? Bagaimana sebenarnya pola politik dan ekonomi Pancasila?

Mengutip pandangan Bung Karno, "Demokrasi kita (demokrasi Pancasila) bukanlah demokrasi politik, melainkan demokrasi ekonomi-politik (politiek economische democratie)". Demokrasi politik inilah yang sedang kita rayakan: demokrasi hanya untuk memenuhi hak-hak politik. Kita belum membangun sistem dan praktik demokrasi ekonomi-politik yang menjadikan keadilan sosial sebagai tujuan bernegara. Tetapi semua itu memang harus kita wujudkan secara bertahap, alamiah. Waktu yang akan mematangkan kehidupan berbangsa kita ini. Asalkan itu tadi, dasar negara dan ideologi kita harus dikuatkan, baik struktur pengetahuannya maupun praksis lapangan.

Prinsip demokrasi Pancasila itu sendiri merupakan demokrasi sosial yang diwujudkan melalui politik deliberatif (musyawarah). Namun kultur politik kita juga belum sepenuhnya deliberatif. Akan tetapi, kita tidak boleh pesimis, karena kekuatan masyarakat sipil di negeri ini masih hidup dan terus memperbarui diri. Selama masyarakat sipil masih kuat, selama itu pula demokrasi akan mengalami pendalaman dan pendewasaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI