JJ Rizal: Politik Kita Ini adalah Politik Penggede, Oposisi Hanya Tipuan

Rabu, 24 Juli 2019 | 14:41 WIB
JJ Rizal: Politik Kita Ini adalah Politik Penggede, Oposisi Hanya Tipuan
Ilustrasi sejarawan JJ Rizal. [Istimewa/Olah gambar Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apakah kaum oposan di Indonesia pada era terdahulu sama seperti era kekinian, semisal menggunakan diksi-diksi politik identitas, dan lain sebagainya?

Munculnya pertama kali oposisi dalam sejarah kekuasaan kita yang dimulai oleh Sjahrir terhadap Sukarno itu menunjukkan bahwa oposisi lahir dari pikiran dan wawasan moral.

Sampai di sini ada yang bilang, adanya oposisi serupa setan baik atau serupa kekuatan moral dan etik superego yang mengendalikan dorongan naluriah dan realitas untuk dapat dipercaya penguasa akan menjalankan kekuasaan secara lebih benar.

Harapan demokrasi terhadap oposisi yang tangguh tentu saja [adalah] menjalankan fungsi check and balance untuk memastikan kekuasaan tetap berjalan pada rel yang benar dan tidak terseret pada kecenderungan alamiah penguasa untuk memperluas kekuasaannya serta menyelewengkan penggunaan kekuasaan.

Baca Juga: Analis: PKS Jelas Oposisi, Gerindra, PAN dan Demokrat Tidak Jelas

Sjahrir menjalankan fungsi oposisi untuk itu. Hatta mendukung, dan Sukarno meskipun keberatan dengan beberapa catatan, tetapi menerima, mau mendengar dan memberi kesempatan.

Ini bukan saja menjelaskan bahwa kekuasaan presiden harus menghargai kritik, tetapi juga punya wawasan menimbang kemungkinan menjawab tantangan krusial sezaman akan demokrasi, sehingga memungkinkan kita punya pengalaman sejarah sebuah sistem parlementer multipartai dan—seperti dikatakan Adnan Buyung Nasution—kesempatan memiliki konstitusi yang lebih sempurna melalui lembaga konstituante.

Apakah dalam sejarah Indonesia, kaum oposan selalu mencari cara untuk mendeligitimasi kekuasaan atau bahkan meruntuhkan kekuasaan?

Oposisi [adalah] barisan demokratis, sebab sifat dasar kekuasaan yang cenderung korup. Oposisi adalah syarat demokrasi yang waras.

Tanpa oposisi untuk mengkritik dan mengoreksi kebijakan pemerintah, bagaimana menjamin kepentingan dapat perlindungan dan pengawalan dari pemerintahan yang otoriter.

Baca Juga: Ghufron Mabruri: Periode Pertama Jokowi, Isu HAM Tak Cukup Dapat Perhatian

Jika oposisi lemah, bisa dipastikan kebijakan pemerintah sulit dikoreksi. Pada akhirnya, rakyatlah yang menanggung akibat dari kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat.

Hatta pernah menyatakan dalam sebuah eseinya yang menantang pada 1930an: "Kita tunduk kepada kekuasaan, tetapi tidak kepada kelaliman". Ini basis berpikir bandul gerak oposisi.

Jika usaha kritik dan koreksi demi koreksi menemui jalan buntu, maka kekuasaan telah menjelma menjadi kelaliman dan upayanya adalah delegitimasi dan pengambilan kekuasaan. Pendek kata seperti ungkap Widji Thukul: "Lawan... kami siapkan pemberontakan".

Dari konteks sejarah ungkapan Hatta menjelaskan bahwa ia dan partainya PNI-Pendidikan saat itu adalah oposisi terhadap negara Hindia Belanda yang bukan kekuasaan tetapi kelaliman.

Sebab itu aktivitasnya adalah mendelegitimasi kekuasaan, menumbangkan kelaliman Hindia Belanda.

Oposisi bisa mencontoh Hatta dalam soal sejauh mana bergerak, apakah yang dihadapi sudah sampai pada taraf kekuasaan yang lalim?

Dalam sejarah politik Indonesia, siapa oposisi yang paling baik menurut Anda? Bisa dijelaskan alasannya?

Hatta, saya pikir sedikit—kalau tidak bisa dianggap satu-satunya—figur yang paling serius membahas dan mencontohkan bagaimana menjadi serta menumbuhkan oposisi di dalam demokrasi Indonesia.

Ia malah mengingatkan bahwa oposisi adalah syarat tegaknya Pancasila. Negara harus mengakui oposisi sebagai sendi negara, dengan harapan oposisi menjadi anasir konstruktif dalam pembentukan undang-undang dan jalannya pemerintahan.

Untuk ini, dia merujuk sistem di Inggris, negara yang menghormati bahkan menggaji pihak oposisi serta mengundangnya dalam acara-acara kenegaraan.

Mohammad Hatta atau Bung Hatta. [Wikimedia Commons]

Pada era Bung Karno, apakah benar kubu oposisi itu dilandasi karena perbedaan ideologi? Apakah sama seperti saat ini? Atau justru saat ini Anda melihat kaum oposan itu cuma karena pragmatisme politik?

Demokrasi Terpimpin Sukarno adalah platform politik untuk mengelola anasir ideologi politik yang dikategorikan dalam kelompok agama, nasionalis dan komunis (Nasakom).

Dalam konteks ini, Sukarno mengarahkan kepada perbedaan ideologi untuk bukan menjadi oposisi pemerintah, tetapi untuk gotong-royong di bawah satu tema sentral memperjuangkan sosialisme Indonesia.

Sebab itu oposisi tidak tumbuh, dan memang Sukarno bukan hanya tidak menaruh perhatian besar bagi oposisi dalam demokrasi terpimpin, tetapi juga ia menuntut kesatuan irama untuk menjalankan revolusi menuju sosialisme Indonesia. Ini pula yang menjadi kritik Hatta.

Demokrasi Terpimpin baginya tanpa oposisi akan menjelma sebagai otoriterianisme. Sebab itu partai-partai berlomba-lomba untuk terlihat sosialis dan tidak mengidap komunisto phobi.

Dalam situasi ini, oposisi yang lahir adalah gerakan perseorangan, seperti yang ditunjukkan oleh Hatta. Ia misalnya, menulis sikap oposannya secara personal melalui surat-surat pribadi maupun terbuka dengan buku Demokrasi Kita.

Hendropriyono sempat menegaskan [bahwa] tak ada oposisi dalam sistem demokrasi Pancasila? Benar seperti itu? Bagaimana sejarahnya?

Keliru Pak Hendro itu. Demokrasi Pancasila yang tidak memasukkan oposisi maka dalam berdemokrasi akan kehilangan kesempatan mendapat anasir konstruktif.

Berkaca dari sejarah, kelompok manakah yang seharusnya menjadi kaum oposan di Indonesia, sehingga benar-benar memenuhi kriteria oposisi? Apakah gerakan rakyat, parpol dan kaum elite, atau bagaimana?

Dalam sejarah kelompok pemuda, kampus dan LSM, organisasi massa, pers serta cendekiawan adalah oposisi yang efektif.

Meskipun mereka tidak punya kekuatan untuk melakukan impeachment, tetapi kritik mereka sebagai oposan membuat demokrasi sehat dan darah kehidupan kebangsaan hangat.

Sayang, mobilisasi besar-besaran kekuasaan untuk menjadi penguasa tunggal yang berimplikasi pada mobilisasi pemuda, kampus, LSM, pers, organisasi massa, cendekiawan, telah membuat banyak sekali hal yang berlainan malah bertentangan dengan demokrasi.

Apa pula yang seharusnya menjadi titik tekan dari kaum oposan saat ini? Apakah memakai politik identitas? Harus ekonomi, atau apa?

Karena klaim pemerintah sekarang adalah "Aku Pancasila", artinya jadikan saja Pancasila sebagai titik ukurnya. Sejauh mana dan seserius apa pemerintah dengan kemanusiaan, keadilan sosial-hukum-ekonomi-budaya-lingkungan, kedaulatan rakyat, pemertahanan persatuan, budaya berketuhanan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI